Merantau di Mainz,Jerman

Olga Florentyna-Schneider

Halo mamarantau di seluruh penjuru dunia! Perkenalkan, namaku Olga. Ibu dan ayahku asli Minang, Sumatra Barat. Aku sendiri lahir dan besar di Jakarta tapi lai pandai mangecek baso awak hehe. Pada tahun 2014, aku memutuskan untuk merantau ke Bonn, Jerman – aslinya demi mengejar cinta. Aku dan mantan pacar (yang sekarang jadi suami), menjalani LDR sejak 2009. Dikarenakan kami masih muda dan merasa belum mengenal satu sama lain dengan baik, kami pada saat itu belum mau menikah. Jadi aku pun pergi ke Jerman berbekal visa studi untuk menjalani program master di Bonn. 

Kami menikah tahun 2016 di Jerman, saat aku telah menyelesaikan tesis master. Setelah studi, aku tinggal dan bekerja di Bonn sebagai management consultant di salah satu perusahaan konsultan kecil di sana. Di tengah carut marut pandemi, April 2020- putra kami Kayo lahir dan di bulan Agustus di tahun yang sama, kami harus pindah ke kota Mainz dikarenakan suami memutuskan untuk membuka kantor konsultan pajak bersama partnernya di kota ini. Jadi kalau ada mamarantau dari Jerman yang butuh Steuerberater atau konsultan pajak, jangan segan-segan hubungi aku yah 😀 #teteppromo.

Oh iya, saat ini aku sibuk jadi 80% stay at home mom, dan 20% nya aku mengerjakan proyek kecil di bidang foreign direct investment sebagai freelancer (yang benernya aku kerjakan hanya saat Kayo tidur siang). Sebelum aku aktif jadi freelancer seperti sekarang, aku sempat jadi vlogger di YouTube karena I love being a storyteller! Bisa dicek juga di https://www.youtube.com/oflorentyna.

Christmas 2021

Pengalaman Mencari Daycare

Selanjutnya, aku akan berbagi pengalaman dan dramaku dalam mencari daycare di Mainz, Rhineland Palatinate (Jerman: Rheinland-Pfalz) – dikarenakan setiap sistem dan peraturan bisa berbeda di setiap Bundesland/ provinsi di Jerman, jadi jangan dipukul rata yah, anak-anak dapat masuk daycare (Krippe) mulai umur 1 tahun. Mulai 2 tahun itu sudah memenuhi syarat untuk masuk TK (Kindergarten). Rata-rata memang sangat sulit sekali untuk mendapatkan daycare di kota besar di Jerman. Belum lagi pengalaman dramaku ketika berhadapan dengan petugas administrasi dari kota Mainz.

Posisi Rhineland – Palatine dalam peta

Pihak Krippe telah menghubungiku kalau tempat telah tersedia untuk Kayo – aku senang sekali! Akhirnya aku bisa lebih fokus kerja dan mungkin mengelola YouTube ku lagi. Pihak Krippe meminta surat konfirmasi dari pihak admin kota. Akupun menghubungi pihak kota TAPI kemudian pihak kota tidak tahu menahu soal itu. Aku dipingpong sampai akhirnya aku kehilangan slot di Krippe tersebut. Aku hanya bisa menangis pada saat itu 😥

Di kotaku, daycare jumlahnya sedikit sekali dibandingkan peminatnya. Yang aku tahu memang Jerman kekurangan tenaga pengasuh profesional. Aku iri sekali dengan kondisi teman-teman di Jakarta karena masalah ini bisa lebih mudah diselesaikan dengan uang. Atau mudah sekali punya babysitter menginap karena affordable (sebagaimana punya asisten rumah tangga). Atau ada anggota keluarga yang bisa dititipkan kalau mama lagi capeee banget sehingga butuh isi tangki kekuatan untuk menghadapi kerasnya dunia (ceilah). Bukan lagi rahasia kalau menjadi mamarantau itu diharuskan untuk dobel kuatnya karena apa-apa harus dihadapi sendiri. Solusinya adalah private daycare, tapi pada saat itu aku tidak menemukannya di radius 30km di rumahku. Kupikir, udah harus bayar mahal dan jalan jauh ke sana, sangat tidak worth it. Jadilah aku memutuskan untuk tetap mengurus anak sendiri di rumah sampai Kayo mendapatkan tempat di Kindergarten pada saat dia berusia 2 tahun. Rencanaku yang lain harus kukesampingkan.

Sudut Kota Mainz

Dukungan Finansial dari Pemerintah Jerman

Positifnya dalam membesarkan anak di Jerman adalah biaya sekolah negeri ‘gratis’ dan dukungan finansial yang bernama Kindergeld dari pemerintah Jerman sampai anak tersebut berusia 25 tahun. Di provinsiku besarannya €200 per bulan per anak. Makin banyak anak, makin besar juga Kindergeld yang didapat. Semua pernyataanku ada disclaimer nya yah. Gratis yang dimaksud adalah tanpa uang sekolah yang besar di sekolah negeri, misal harus bayar uang buku atau dalam perkuliahan hanya harus bayar 250-500 euro per semester. Semesteran ini juga benernya bukan uang kuliah melainkan hanya untuk mengcover biaya tiket kendaraan umum mahasiswa, jadi mereka bisa ke mana-mana gratis di satu kota/propinsi. Ada juga sekolah/universitas privat dan internasional yang bayarnya bisa 30.000€ per tahun. Semuanya dibalikin ke masing-masing orang tua hehe.

Infografis Kindergeld (sumber dari sini)

Aku pernah dapet komentar dari Instagramku, “Kok kayanya seneng-seneng mulu sih Ga, ga pusing apa biaya sekolah anak?” oh ya jangan sampai kamu ngga bisa senang-senang lagi dong kalau punya anak hehe. Atas saran suamiku yang memang hobi mengatur finansial, kami selalu menyisihkan €100 per bulan untuk biaya pendidikan tinggi Kayo. Usia sekolah kan Kayo masih tinggal bersama orang tua. Akan berat saat dia mulai kuliah misalnya. Tergantung dia kuliah di kota apa, Kayo harus membayar uang sewa dan biaya hidupnya saat dia berkuliah. Ini tidaklah murah, tergantung kota. Kami sebagai orang tua beritikad untuk memudahkan hidupnya, supaya pada saat Kayo kuliah, dia bisa fokus belajar tanpa cape mikirin besok bayar sewa pakai apa kayak mama papa nya dulu hehe. Biaya hidup pas-pasan jaman aku studi dulu sih berkisar €700-1000 per bulan yah. Kalo Kayo mau lebih-lebih, di sini selalu ada kesempatan buat kerja saat student. Jadi tolong ya nak, kalo mau yang mewah-mewah– kerja! Jangan minta-minta aja bisanya (mama galak haha). Kalau ada asumsi lain “kalo Kayo mau kuliah di Harvard gimana Ga?” ya, usaha dong cari beasiswa. Kalau ngga bisa, ya artinya emang ngga mampu kuliah di sana, udah bagus dimodalin (mama galak lagi xD).

Gimana caranya? Yuk kita mulai itungan matematikanya.

Jadi Kayo kan menerima 200€ / bulan sejak dia lahir. €100 untuk ditabung biaya kuliahnya. Dia akan menerimanya selama 25 tahun. Jadi bertotal: 100×12 = 1200, 1200×25 = €30.000

Keliatannya banyak yah hehe, tapi jangan lupa inflasi. Jika inflasi 5% per tahun (kita ambil paling jeleknya aja ya), selama 25 tahun, itu uang 30.000 nilainya bakal cuma jadi €9.000. Ini bisa dicek pake kalkulator online. Yah, ini mah ngga nyampe biaya hidup setahun bundpap :(( 

Kontrak Investasi Kolektif

Nah mas suamiku yang cerdas itu (ngefans sama suami sendiri haha) menginvestasikan uang ini ke ETF. ETF adalah Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. Meskipun ETF pada dasarnya adalah reksa dana, produk ini diperdagangkan seperti saham-saham yang ada di bursa efek. ETF merupakan penggabungan antara unsur reksa dana dalam hal pengelolaan dana dengan mekanisme saham dalam hal transaksi jual maupun beli (Source: https://www.idx.co.id/produk/exchange-traded-fund-etf/). Aku ngga mau jelasin panjang lebar, nanti space nya ngga cukup. Siapa pun yang telah berinvestasi dalam indeks ekuitas Dunia MSCI global dengan ETF selama 20 tahun dapat mencapai pengembalian rata-rata sekitar 8% antara tahun 2000 dan 2020. Tergantung pada waktu pembelian dan penjualan, pengembalian tahunan berfluktuasi antara 14% dalam kasus terbaik dan 5% dalam kasus terburuk (Source: https://www.weltsparen.de/geldanlage/etf/etf-rendite/).

Jadi, bisa dihitung sendiri. ETF ini gunanya menjaga uang dari inflasi dan untung tipis-tipis-kalo beruntung. Supaya Kayo cukup bekalnya untuk dia kuliah nanti. Jika dia mau kuliah. Di Jerman banyak jalan menuju Roma – individual ngga harus kuliah setinggi-tingginya untuk mencapai kesuksesan. Misal di Jerman ada program Ausbildung, Dual Studium, daln lain-lain. Kalo Kayo ngga mau kuliah, mungkin uangnya bisa die kelola sendiri biar makin banyak hehe.

Sekian cerita, polemik dan trik aku dalam hal sekolah anak! Jika dirasa berguna, tolong dishare yah! Buat mamarantau yang mau silaturahmi, aku sekarang lebih aktif di Instagram @oflorentyna, karena aku belum ada waktu buat edit video di YouTube.

Yuk mari saling menyapa di @oflorentyna, siapa tau aku ketemu temen baru yang like-minded. Syukur-syukur tinggalnya deket Mainz juga. Sampai ketemu lagi yah di cerita selanjutnya! 😀

Advertisement

Merantau di Fulda

Jolla Riza Jollanda – Hallo! Namaku Jolla, usia 31 tahun. Ibu dari 3 anak laki-laki (2 adalah kembar) yang sangat AKTIF sekali. Hehehe. Aku lulusan dokter di Universitas Andalas, Padang.

Dari sebelum menikah, aku sudah mempunyai cita-cita untuk melanjutkan spesialisku di Eropa. Entah itu yg namanya takdir Tuhan, aku bertemu suamiku saat aku menjalankan student exchange di Wina, Austria. Dia orang Indonesia yg sedang menjalankan pendidikan dokter di Wina. Ya, itulah yg namanya jodoh, cinta pada pandangan pertama dan akhirnya berjodoh dengannya 😄 .

Kami sekeluarga sekarang tinggal di Fulda, kota kecil berpenduduk hanya 68ribu. Letaknya sekitar 100km dari kota Frankfurt, Jerman. Suamiku melanjutkan pendidikan spesialisnya di sini maka dari itu akupun ikut suami dari tahun 2015.

Bagi kami yg biasa tinggal di Jakarta, Fulda hanyalah kota kecil yang jauh dari kata modern. Tapi dari awal tinggal di sini, dan sekarang sudah hampir 4 tahun, kami merasa suka dan nyaman tinggal di Fulda. Selain semua kebutuhan kami terpenuhi, di kota ini masih banyak penghuni asli orang Jerman, jadi dengan bahasanya pun kami bisa cepat belajar. Dan jika kami ingin lebih ke “kota“ kami langsung ke Frankfurt yang hanya 1 jam perjalanan. .

Oh ya, di Fulda setiap 1 tahun sekali juga diadakan yg namanya “Schützenfest“ waaahhh ini acara yang sangat ditunggu-tunggu! Lalu ketika musim dingin tiba, kami selalu menyempatkan main ski di Wasserkuppe (puncak tertinggi di Fulda)- dan jika musim panas tiba juga ada tempat wahana bermain untuk keluarga.

Being a mamarantau is not so easy, I gotta tell you hahahaha! Tapi aku belajar banyak sekali hal yang tidak aku dapatkan jika menetap di Jakarta. Dan setelah hampir 4 tahun menjadi ibu rumah tangga, akhirnya Tuhan menjawab doaku dan bulan depan aku akan melanjutkan spesialisku di Fulda 🖤 .

Ohya! Kami hobi sekali jalan-jalan. Mempunyai anak yang masih kecil tidak menyurutkan niat kami untuk explore kota dan negara lain ⛴️✈️

Merantau di Berlin

Afifah Shihab – Ibu dari 2 anak perempuan dan sekarang menetap di Berlin, Jerman. Bukan tipe ibu penyabar dan kreatif, tapi belajar setiap hari untuk lebih baik.

Pertama kali saya datang ke Berlin, Jerman 6,5 tahun (2010) yang lalu karena ikut suami yang bekerja sebagai Engineer di bidang konstruksi automotif.  Awal datang, penyesuaian yang sulit selain cuaca yang dingin adalah bahasa. Bahasa Jerman termasuk bahasa yang sulit mulai dari Pronunciation apalagi Gramatik. Di Jerman, mengikuti kursus bahasa Jerman menjadi program Integrasi Republik Jerman bagi pendatang yang akan bermukim di sini.

WhatsApp Image 2017-07-05 at 14.56.50

Untuk mendapatkan visa tinggal bersama keluarga, saya harus mengikuti sertifikasi ujian A1 di Goethe Institute Jakarta. Sesampainya di Berlin, melanjutkan sampai B1 sebagai program integrasi. Sekarang ini saya baru saja menyelesaikan ujian B2 setelah sebelumnya vakum melahirkan dan mengurus dua anak selama 3,5 tahun. Biaya yang dibayarkan untuk mengikuti kursus bahasa sampai tingkat B1 waktu itu dibiayai setengahnya oleh Badan Imigrasi.  Masih ingat waktu itu masih takut untuk ke supermarket atau ke dokter sendiri, karena takut tidak mengerti bahasa mereka dan tidak bisa berkomunikasi.  Karena beberapa pengalaman pertama saya, beberapa orang Jerman entah karena enggan atau apa, tidak mau menggunakan bahasa Inggris. Dan first impression saya waktu itu orang Jerman agak dingin dan kurang begitu ramah dengan pendatang.

Pengalaman melahirkan

Ibu hamil memeriksa kandungannya di klinik dokter kandungan, untuk melahirkan mendaftar di RS lain sesuai pilihan. Selain itu, ibu yang akan melahirkan mendapatkan bidan khusus yang akan datang kerumah untuk memeriksa kesehatan ibu dan bayi mulai dari sebelum melahirkan sampai pasca melahirkan.

Waktu itu pengalaman yang bikin agak kaget karena waktu itu bayangan saya, yang ganti popok di hari hari pertama di RS adalah suster, tapi ternyata semua dikerjakan ibu atau ayahnya sendiri, jadi biasanya di sebelah kamar inap tersedia kamar khusus yang menyediakan perlengkapan bayi lengkap mulai dari popok ganti, baju, jumper, popok kain, tisu basah, dll. Awalnya ngerasa repot dan masih sakit. tapi justru itu yang membuat kita sebagai orangtua baru jadi percaya diri dan kuat untuk mengurus bayi sendiri mulai dari mengganti popok sampai mengukur temperatur bayi.  Bukan hanya itu, makan pagi pun kita harus ambil sendiri di kafetaria RS, jadi waktu itu ke kafetaria yang letaknya di lantai yang sama sambil dorong bayi, makan pagi pun ditemani bayi karena memang para suami tidak boleh menginap di RS.

By the way, di sini, selimut dan bantal diwanti-wanti agar tidak dipakai untuk bayi. mereka sangat memperhatikan keselamatan bayi ketika tidur, karena bisa tertutup selimut/bantal. Sebagai gantinya, mereka memakai schlafsack (kantung tidur). Di RS umum seperti tempat saya melahirkan kantung tidur ini diberikan secara percuma dari awal bayi dilahirkan.

Kantung tidur (schlafsack) pengganti selimut

Mencari berbagai informasi tentang mengasuh bayi di Berlin, bagaimana merawat kesehatan bayi dll saya dapatkan secara gratis dari berbagai tempat; mulai dari flyer, situs online, majalah-majalah gratis yang ada di klinik, apotek, hingga  ke sentra keluarga tempat bertemunya komunitas keluarga. Sayangnya memang semua dalam bahasa Jerman. Selain itu, kita juga bisa bertanya dengan bidan yang datang ke rumah. Tugas utama bidan yang datang ke rumah adalah memeriksa kondisi ibu dan bayi, dan beberapa kali mengajarkan ibu cara memandikan bayi, membersihkan bekas tali pusar, mengajarkan cara menyusui, memberi obat jika ada luka menyusui, dan sebagainya. Bidan biasanya datang selama 2 minggu sampai 1 bulan, tergantung kebutuhan, tapi biasanya setelah 1 bulan ibu-ibu sudah ahli mengurus anaknya 😉

WhatsApp Image 2017-07-05 at 14.526.50.jpg

Selain bidan, yang membuat saya juga terkesan adalah badan sosial keluarga di Jerman yang sangat memperhatikan kesejahteraan keluarga. Waktu itu ada pekerja sosial yang datang, memberikan informasi, misalnya, daftar dokter anak yang ada di daerah sekitar, jadwal imunisasi, daftar daycare, memberikan informasi terkait administrasi kelahiran anak dst. Selain itu juga menanyakan kondisi psikologis ibu dan anak dan bersedia menjawab segala pertanyaan tentang anak di Berlin (misalnya tempat bermain indoor atau grup bermain PEKIP )

54005021012514744029

PEKiP-kurs is a Parent-Child Program for parents and their children in their first year.

Senam Pasca Melahirkan

Setelah kelahiran, saya mengikuti senam pasca kelahiran yang dianjurkan oleh dokter. Biayanya ditanggung oleh asuransi jika diambil selama bayi nya masih dibawah 9 bulan. Senamnya membawa bayi tentunya di suatu ruangan sentra keluarga, tenang dan lebih banyak diatas matras. Senam yang berfungsi untuk  menguatkan rahim kembali. Di sentra keluarga ini juga terdapat program lain seperti Pekip, yaitu grup bermain ibu dan anak yang dipandu oleh guru. Sambil bernyanyi, bermain dan berkenalan sesama ibu atau ayah.

Senam pasca melahirkan (Ruckbildung Gymnastik)

Komunitas Indonesia di Berlin

Sebagai ibu kota Jerman di mana KBRI bertempat, Berlin memiliki penduduk Indonesia yang sangat banyak diantara kota kota lain. Di Berlin ada mesjid komunitas Indonesia yang disebut juga IWKZ.eV. Masjidnya masih berbentuk rumah belum seperti bangunan masjid. Di sini adalah salah satu tempat paling mudah dan cepat mencari komunitas bagi para muslim ☺. Bagi para mahasiswa Ada juga PPI dan KMKI (komunitas katolik). Di bulan Ramadhan, masjid Indonesia dan KBRI mengadakan acara buka puasa bersama setiap minggunya.

Selain itu, KBRI juga sering mengadakan acara festival budaya , baik itu di aula KBRI atau di tempat umum seperti Mall atau di taman kota misalnya di salah satu Taman Garten der Welt yaitu taman yang memuat area dengan arsitektur berbagai negara, salah satunya ada taman bali. Di area ini semua arsitekturnya bertemakan Bali. Di taman ini, sering diadakan festival kultur seperti pertunjukan tari dan kuliner dari Bali.

Area taman Bali di Garten der Welt , Berlin  disamping menawarkan keaslian suasana Bali, juga menawarkan pemandangan yang eksotis tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga tropis yang banyak di jumpai di negara beriklim trofis.

Tempat Ramah Anak di Berlin

Berlin merupakan kota yang sangat hijau, dengan 2.500 tempat terbuka hijau diseluruh Berlin (https://www.berlin.de/berlin-im-ueberblick/hauptstadtleben/erholung/ ). Setiap 200 m di daerah perumahan, harus ada tempat bermain anak. Sayangnya , banyaknya pemilik anjing di Berlin membuat kota ini jadi kotor dengan kotoran anjing di jalanan dan beberapa taman walau sudah ada larangan membawa masuk anjing ke rumput taman. Ditambah masih banyak juga penduduk  yang tidak menjaga kebersihan kota.

Tempat bermain di Berlin dan mungkin di sebagian besar di kota kota di Jerman lebih banyak berbahan kayu dan lebih banyak menawarkan main panjat-panjatan dan rintangan.

Di tengah kota juga terdapat beberapa peternakan mini. Tidak harus  pergi jauh ke luarkota , anak -anak bisa lihat langsung binatang-binatang seperti : domba, sapi, kuda poni, ayam, dan kelinci.

Waktu Keluarga

Akhir pekan biasanya kita pakai jalan jalan main ke spielplatz ( playpark) diluar. Kalau cuaca tidak mendukung, kita pindah ke tempat main indoor seperti Legoland yang menawarkan yearly ticket.  Memasuki musim semi, taman0taman besar seperti Britzer Garten dan Garten der Welt menawarkan pameran bunga seperti tulip dan sakura (Cherry Blossom).

tulipan-03

Britzer Garten

Street Art di Berlin juga menarik untuk diamati

Pengalaman lainnya di Berlin

Selain sebagai ibu rumah tangga, saya masih mengikuti kursus lain namanya Elternredaktion. Sebuah program kursus dari VHS ( sentra pendidikan komunal) untuk menulis sebuah majalah bagi para imigran. Disini saya belajar berdiskusi tentang tema apa yang menarik ditulis, belajar mengenal berbagai orang dari berbagai latar belakang budaya dan belajar menulis berita atau sebuah laporan interview dan belajar fotografi jurnalistik.

Di majalah edisi kemarin yang saya tulis adalah tentang pengalaman seorang relawan asal Indonesia yang mendedikasikan waktunya untuk mengajar Bahasa Jerman bagi keluarga pengungsi asal Syria. Karena saya suka menulis, kursus ini sangat menarik buat saya.  Kursus ini diadakan secara gratis bagi siapa saja dengan tingkat bahasa standard, kebanyakan yang ikutpun beragam mulai dari anak muda sampai orangtua. Tidak perlu punya keahlian menulis apalagi jago bahasa Jerman. Di sini siapapun diterima. Selain menulis tentang interview, saya juga ikut menyumbangkan resep indonesia yaitu resep tumis kacang panjang tempe (karena waktu itu tema majalah nya kacang panjang) .

Dari kursus bahasa Jerman saya mendapat sekali banyak pengalaman, diantaranya bisa pergi ke kamp Konsentrasi Yahudi di Berlin utara, karena di setiap kursus biasanya ada yang namanya kunjungan ke museum atau tempat tempat bersejarah.

Memorial and Museum sachsenhausen

Sampai ke pengalaman bertemu dengan Perdana Mentri Jerman ‚Angela Merkel di tahun 2017. Perdana Mentri Jerman ini datang dalam rangka kunjungan demografis dan tempat kami belajar kebetulan juga bertempat di gedung sosial yang menunjang dan membantu berbagai program sosial untuk berbagai lapisan masyarakat. Suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan bisa bertatap muka langsung dengan orang nomor satu di Jerman.

Di gedung tempat saya belajar ini pula terdapat berbagai program ‘Engagement‘ , yaitu suatu inisiasi bagi masyarakat yang ingin membantu komunitas Berlin secara volunteer. Bisa membantu membacakan buku di perpustakaan bagi kelompok anak-anak, bisa juga membantu menemani pengungsi yang masih minim berbahasa Jerman, membantu para lansia, membantu membersihkan kota, dst.

Program Engagement ini sangat terstruktur di mana para relawan ditraining dan didampingi oleh supervisor. Saya tertarik dengan program engagement ‚Lesepaten, dimana volunteer 1x dalam seminggu menyediakan sekitar 2-3 jam untuk membacakan buku bagi anak anak di Perpustakaan. Menurut saya, program sosial di Berlin yang terintegrasi dan lengkap ini lah yang ingin sekali suatu saat saya bawa ke Indonesia untuk mensupport masyarakat di berbagai aspek. Mulai dari anak anak, keluarga dan juga lansia.

=====

Kisah Afifah dan keluarga bisa dibaca juga di http://www.jemarikecil.wordpress.com tentang kehidupan di Berlin dan kisah + tips parenting lainnya.

 

Merantau di Heidelberg, Jerman

foto-keluargaTheresia Rajaguguk has been living in Germany for over than a decade. She works as a Finance expert and lives with her husband and two children.  She loves gardening, decorating and playing volleyball!

 Merantau di Heidelberg

Saya, suami saya, Steve, dan kedua anak kami Eleora (4,5 tahun) dan Eliott (2 tahun) tinggal di Heidelberg, Jerman. Heidelberg merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jerman. Kotanya cantik, dilintasi sungai Neckar, dan ada kastil yang sebagiannya sudah runtuh. Heidelberg juga terkenal sebagai kota universitas. Universitas Heidelberg merupakan universitas tertua di Jerman.

germany-heidelberg-university

Heidelberg University

Selain itu, ilmu kedokteran di Heidelberg cukup ternama, sampai-sampai pusat riset kanker di Eropa didirikan di Heidelberg. Ditambah juga dengan banyaknya perusahaan nasional maupun internasional yang ternama di sekitar Heidelberg membuat komposisi masyarakat di kota Heidelberg menjadi sangat beragam.

germany-heidelberg-hauptstrasse-altstadt

Hauptstrasse and the Altstadt (Old Town)

Walaupun disibukan oleh pekerjaan, saya berusaha menyediakan waktu yang cukup untuk suami dan anak-anak. Hari Sabtu kami usahakan selalu bersama, jadi kalau ada undangan dari teman, biasanya kami datang sekeluarga. Hari Minggu adalah hari gereja buat kami. Pagi dan sore hari kami ikut kebaktian di gereja, siangnya sering diisi makan siang bersama teman gereja. Gereja kami, Gereja Bible Baptist ini telah berdiri sejak 20 tahun yang lalu, dipimpin oleh misionar dari Amerika.
Semenjak tinggal di Jerman, hobi saya berubah. Saya jadi suka berkegiatan di luar seperti berkebun, jalan-jalan di hutan, dan barbeque. Seperti kebanyakan ibu-ibu yang tinggal di luar negeri, tanpa disadari saya juga jadi hobi masak, apalagi masakan Indonesia.

hasil-berkebun

Hasil kebun kami.

kebun

Sebagian dari tanaman di kebun.

Saya lebih suka musim dingin daripada musim panas “Es gibt kein schlechtes Wetter, es gibt nur falsche Kleidung!“ Pernyataan ini benar sekali menurut saya, terutama untuk Jerman yang lebih banyak dinginnya daripada panasnya. Kalau kedinginan, saya bisa pakai baju yang tebal dan berlapis-lapis. Kalau musim panas, mau pakai baju setipis apapun, tetap saja panas. Kalau sudah panas sekali, saya tidur di basement. Anak-anak juga berpindah main di basement. Karena orang Jerman sangat menghargai environment, mereka tidak suka pakai AC.

58389f0c39ad5d1cd94fe19ff573a0ab

During winter in Heidelberg

Awal Hidup di Jerman

Tahun 2003 saya datang ke Jerman, tinggal di kota Darmstadt, dengan tujuan melanjutkan kuliah master sebagai bekal saya untuk pulang ke Indonesia dan menjadi dosen, cita-cita saya saat itu. Saya lulusan teknik sipil dari Universitas Katolik Parahyangan dan ekonomi dari Universitas Padjadjaran Bandung. Jerman merupakan pilihan saya karena biaya kuliah di Jerman bisa dibilang hampir gratis. Kenapa hampir gratis? Karena saya hanya membayar biaya administrasi yang sudah termasuk tiket transportasi umum yang per semester-nya tidak sampai 100 EUR.

Tahun 2003 saya memulai kuliah master di bidang bisnis dan administrasi di Hochschule Anhalt, Jerman. Ketika saya lulus di tahun 2005, perekonomian Jerman dan negara Uni Eropa sedang tidak baik. Susah sekali saat itu mendapatkan pekerjaan. Karena saya masih ingin tinggal di Jerman, saya melanjutkan kuliah master di Universität Konstanz. Kira-kira setengah tahun sebelum lulus, saya kerja praktek di SAP dan sejak saat itu sampai sekarang, saya bekerja di perusahaan yang sama.

ngerasain-tinggal-di-4-kota-di-jerman

Merasakan hidup di 4 kota di Jerman.

 

 Ibu Bekerja di Jerman

Suami saya dan saya bekerja di perusahaan yang sama, SAP SE. SAP merupakan perusahaan internasional yang bergerak di bidang software. Karena itu, walaupun kami bisa berbahasa Jerman, kami lebih sering berbahasa Inggris di kantor. Saya kerja fulltime di bidang finance. Pekerjaan saya tidak mengharuskan saya bekerja dari jam 8 sampai 5 sore karena role-nya global, jadi saya berkomunikasi dengan orang-orang di kantor lokal SAP mulai dari Australia sampai dengan Brazil. Saat ini saya bertanggung jawab di bidang finance untuk salah satu cloud solution yang SAP tawarkan, namanya SAP ByDesign. Mulai bulan September saya akan pindah ke departemen lain. Kali ini saya akan pegang solusi Hana Enterprice Cloud (HEC) dan S/4 HANA Cloud.

SAP-Zentrale 16zu9

SAP HQ di Walldorf, ca. 15 km dari Heidelberg

Waktu kerja saya cukup fleksibel yang bisa mulai dari jam 7 pagi dan bisa juga berakhir di tengah malam. Tetapi jadwal kerja ini saya yang buat sesuai dengan kegiatan pribadi saya juga di hari itu. Saya sangat suka dengan pekerjaan saya dan orang-orang di lingkungan kerja saya. Saya banyak bekerja dengan lelaki dan mereka tidak menganggap remeh saya. Juga saat saya cuti melahirkan (10,5 bulan untuk anak pertama dan 7,5 bulan untuk anak kedua), kantor sangat mendukungnya. Saat saya kembali bekerja, bos saya memberikan tugas yang menantang walaupun dia tau saya punya dua anak kecil. Bos saya, lelaki, bilang banyak kejadian kalau ibu rumah tangga lebih efisien dalam bekerja karena mereka harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum jemput anak, jadi tidak ada istilah santai dulu deh, bisa dikerjain nanti. Ini dibuktikan dengan saat bos saya memberikan spot award dua kali kepada saya di tahun saya kembali dari parental leave.

Oh iya, di Jerman setiap ibu atau bapak yang baru saja mempunyai anak boleh mengambil cuti sampai 3 tahun. Ibu wajb cuti 6 minggu sebelum tanggal kelahiran anak dan 8 minggu sesudahnya dengan gaji dibayar penuh. Setelah 8 minggu sampai dengan anak berumur 14 bulan, ibu dan/atau bapak boleh mengambil cuti dari kantor dan gajinya sebesar 67% dari gaji bersih, maksimal 1800 EUR akan dibayarkan oleh negara. Tetapi kalau hanya ibu atau bapaknya saja yang ambil cuti, hanya sampai usia anak 12 bulan akan dibayarkan oleh negara. Sedangkan kalau ibu dan bapak mengambil cuti di waktu yang bersamaan, uang yang diberikan oleh negara tidak sampai umur anak 14 bulan, tetapi uang itu akan dibayarkan dengan total jumlah 14 kali. Selain itu, anak juga mendapatkan uang dari negara sebesar 190 EUR sampai anak mendapatkan pekerjaan atau maksimal usia anak 25 tahun.

heidelberg_germany_10082005_main_street

Heidelberg Main Street

Waktu melahirkan anak pertama, saya ambil total cuti 10,5 bulan dan suami ambil cuti 6 bulan. Untuk anak yang kedua, saya ambil total cuti 8,5 bulan dan suami ambil cuti 8 bulan. Saat anak kami berumur 14 bulan, mereka mulai kami titipkan di daycare yang juga ditunjang oleh kantor. Lumayan, setiap bulannya kami membayar lebih murah karena subsidi dari kantor. Biaya daycare di Jerman termasuk jauh lebih murah daripada di US atau UK karena negara memberikan tunjangan yang lumayan besar ke daycare yang dikelola olah institusi milik negara atau oleh gereja. Tetapi biaya bulanan TK/daycare yang dapat tunjangan dari pemerintah biasanya bergantung dari penghasilan kotor keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar biaya yg dibayarkan ke TK/Daycare. Kalau Private TK/Daycare menetapkan biaya yang tetap, tanpa mempertimbangkan faktor keuangan. Sedangkan biaya sekolah dari SD hingga kuliah itu gratis. Kecuali kalau sekolah swasta/private yah, biayanya ditetapkan oleh insitusi nya.

Dibawah ini table biaya TK di Heidelberg. Kalau Daycare, biayanya sekitar 2 kali lipat deh untuk insitusi yang sama.

Anak pertama kami sudah masuk TK yang tidak jauh dari rumah kami. Anak kedua kami masuk di Daycare yang letaknya di sebelah gedung kantor saya. Jadi kegiatan kami di pagi hari dimulai dengan sarapan bersama, mengantar anak pertama ke TK, lalu pergi ke kantor dan menurunkan anak kedua di daycare. Sorenya kami jemput anak kedua, lalu jemput anak pertama, dan pulang sama-sama ke rumah.

Tapi saat summer holiday seperti saat ini, TK dan daycare juga ikutan tutup selama 3 minggu. Repotnya, karena TK dan daycarenya bukan di institusi yang sama, jadwal tutup mereka juga sedikit berbeda. Libur mereka cuma overlapped selama 1 minggu. Jadi selama 5 minggu kami harus memikirkan bagaimana mengatur pekerjaan kantor dan mengurus anak. Kadang-kadang anak ikut ke kantor, jadi saya tidak perlu masak makan siang karena kami sekeluarga bisa makan di kantin. Ada beberapa ruangan kantor yang dijadikan ruangan kerja untuk orang tua yang membawa anaknya. Jadi orang tua bisa bekerja dan anak-anak main bersama.

Nanti kalau anak-anak saya sudah lebih besar, kami bisa mendaftarkan anak kami ke program summer holiday yang ditawarkan oleh pemerintah kota. Tergantung dari umur anak, ada program liburan yang menginap tetapi lebih banyak lagi yang dilakukan setiap hari dari pagi sampai sore, jadi anak-anak tidak perlu menginap. Programnya seperti belajar bagaimana bekerja di kebun binatang, program latihan olah raga seperti basket, renang, sepak bola, dll, program membaca di perpustakaan, program seni, dan masih banyak lagi. Biaya yang dikenakan juga tidak terlalu banyak, jadi tidak membebankan orang tua.

Sebagai pegawai di Jerman, kami dapat libur 30 hari kerja setahunnya. Di SAP, liburan yang tidak terpakai di tahun sebelumnya, bisa juga dibawa ke tahun-tahun berikutnya. Jadi saya dan suami sudah menabung libur yang bisa kami pakai kalau anak-anak sudah masuk sekolah dasar. Karena liburan summer di sekolah dasar bisa sampai dua bulan lamanya. Orang tua tanpa kakek dan nenek seperti kami ini diwajibkan kreatif deh kalau sudah punya anak di usia sekolah karena total liburan anak sekolah lebih sedikit daripada libur orang bekerja.

schloss-heidelberg-famous-castle-in-germany

Schloss Heidelberg, one of the famous castle in Germany

Ibu merantau IRT vs Ibu bekerja di Jerman

Terus terang saya tidak bisa membandingkan antarai IRT dan ibu yang bekerja di luar rumah karena saya selalu bekerja di luar rumah bahkan sebelum menikah. Tetapi kalau saya ingat-ingat waktu saya cuti melahirkan, saya jadi punya banyak waktu untuk ikutan komunitas ibu-ibu di Heidelberg. Waktu cuti melahirkan anak pertama, saya ikut menjadi group leader di komunitas ibu-ibu namanya MOPS (Mother of Preschoolers) Heidelberg. Waktu cuti anak kedua, saya ikutan lagi. Ada 2 groups MOPS di Heidelberg: satu yang pakai Bahasa Inggris, satunya lagi Bahasa Jerman. Setiap tahun tema yang dibahas berbeda-beda. Saya juga banyak belajar tentang kerajinan tangan di grup MOPS ini. Ada mentor mama, mama yang sudah senior, yang membimbing kita dan “memanjakan” kita. Contohnya: sewaktu saya pulang dari RS setelah melahirkan, selama 4 minggu, teman-teman dari MOPS membawakan makanan untuk keluarga saya seminggu 2 kali. Teman-teman gereja membawakan makanan juga seminggu dua kali. Jadi dalam sebulan pertama setelah melahirkan, saya tidak perlu memasak.

mops_kerajinan-tangan_2

mops_kerajinan-tangan

Hasil kerajinan tangan MOPS

Enaknya ikut MOPS, saya jadi kenal dengan ibu-ibu yang mempunya anak bayi. Kami banyak meluangkan waktu bersama, berdiskusi, dan belajar bagaimana menjadi ibu di Jerman. Sering kami bertemu di playground. Oh iya, playground bisa ditemukan di setiap sudut perumahan di Jerman. Pemerintah Jerman sangat mengutamakan ruang bermain untuk anak-anak.

asd1

Saya tidak bisa melihat perbedaan antara IRT dan ibu bekerja di luar rumah. Menurut saya effort ibu sama saja. Mungkin IRT terkadang bisa dilihat lebih santai karena tidak harus bekerja diluar rumah, sedangkan ibu yg bekejar juga masih harus bekerja di rumah jadi IRT. Tetapi saya juga lihat kalau saya mendapat banyak bantuan dengan adanya daycare dan TK sampai sore, sedangkan biasanya IRT tidak menitipkan anaknya di daycare atau TK sampai sore. Jadi ada positif dan negative di mata masing-masing orang dan lebih baik melakukan apa yg menurut kita baik, bukan apa yg menurut orang lain baik.

Komunitas Indonesia

Karena saya pindah ke Heidelberg setelah saya bekerja, saya tidak sempat kenal dengan komunitas Indonesia di Heidelberg. Saya ikut komunitas lain seperti diceritakan di atas. Waktu saya tinggal di Darmstadt dan Konstanz semasa saya kuliah, saya rajin ikut komunitas Indonesia di kota itu, seperti PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) dan Perki (Persekutuan Kristen Indonesia). Sampai sekarang pun teman-teman Indonesia saya adalah teman sejak sama-sama kuliah.

Tips Sebagai Ibu Bekerja di Jerman

Sebagai ibu bekerja, saya harus pintar-pintar mengatur waktu dan tenaga supaya tidak sampai burn out dan keluarga tetap terjaga. Ini tips yang selama ini saya lakukan:

  1. Rumah berantakan; na und? (so what?)

Dengan dua anak yg sedang asik bereksperimen, saya sih sudah tutup mata aja deh kalau rumah berantakan. Saya tidak mau membatasi ruang belajar anak. Karena saya tidak kasih anak main gadget, jadi wajar saja kalau mereka main dengan segala macam mainan yang ada di dalam rumah maupun di luar rumah. Hasilnya, yah rumah seperti kapal pecah.

Saya tidak terlalu ambil pusing. Saya rapikan sebisanya saja. Saya juga belum mau hire Putzfrau (cleaning lady) untuk bantu-bantu di rumah

Tips yg bisa saya share: undang orang kerumah sesering mungkin.

Entah kenapa kalau tau akan ada tamu, kami sekeluarga jadi cepat banget bersihin rumah (termasuk anak-anak juga ikutan karena mereka excited mau kedatangan tamu). Jadi rumah lebih sering bersih dan kita jadi bisa ketemu teman-teman dengan santai di rumah daripada ketemu di café.

2. Masak secara efisien dan dalam jumlah besar

Masak dalam jumlah besar berarti juga belanja dalam jumlah besar. Saya belanja seminggu sekali, kadang dua kali kalau ada yg kelupaan. Biasanya saya belanja di supermarket yang cukup besar, hari jumat sore atau sabtu pagi dan masak yang banyak di hari Sabtu. Sebagian hasil masakan saya masukan kulkas, sebagian lagi saya bekukan di freezer. Jadi kalau pas lagi sibuk di hari kerja, tinggal keluarin makanan beku. Karena berteman dengan banyak orang Amerika, saya juga jadi terbiasa menggunakan slow cooker untuk masak (di Jerman slow cooker sama sekali tidak terdengar).

Buat saya, invest di peralatan masak sangat berguna. Saya ga ngomong tentang kitchen machine yang harganya lumayan, mulai saja dari pisau yang tajam atau panci yang bagus. Ini sudah bantu banget.

Masak efisien juga artinya masak yang terencana. Kadang saya merencanakan akan masak apa jauh-jauh hari. Salah satu contohnya, waktu anak saya ulang tahun, tradisinya adalah bawa kue ulang tahun ke Kindergarten sebelum jam makan siang. Jadi pagi-pagi saya kerja dulu dari rumah, lalu bikin adonan kue dan kue siap dipanggang. Saat kue dipanggang, saya kerja lagi. Satu hal yang saya suka adalah beli peralatan masak yang bisa bantu masak lebih efisien. Jadi untuk ultah anak, saya beli cetakan kue bentuk bunga matahari. Total waktu yang saya habiskan untuk bikin kue ini tidak lebih dari 1 jam. Ini hasilnya.

ulang-tahun-anak_kue-ultah

 

  1. Time management dan kerja sama dengan suami

Karena saya juga bekerja, suami dan saya harus bekerja sama dalam menyelesaikan tugas rumah. Tiap malam kami komunikasikan jadwal kami untuk esok hari, siapa yg antar anak, jemput anak, dll. Ada meeting-meeting yang tidak bisa saya hindari terjadi di waktu yg sama dengan waktu antar/jemput anak sekolah atau ke dokter atau ikut kegiatan anak di sekolah, karena itu kerja sama dengan suami amat sangat diperlukan. Selain itu, banyak tugas-tugas rumah yang jadi tanggung jawab suami juga. Jadi keberhasilan ibu bekerja sangat banyak dipengaruhi oleh peran suaminya di rumah kalau menurut saya.

Waktu anak saya ulang tahun, saya adakan acaranya di rumah. Karena dengan begitu, saya tidak terlalu menghabiskan banyak waktu, kebetulan acara ultahnya itu di hari kerja. Jadi sebelum dan sesudah acara, saya masih bisa kerja. Saya undang beberapa anak dari Kindergarten dan ibu mereka. Saya masak sesuatu yang gampang saja. Buat orang Jerman, makanan Indonesia sesederhana apapun, jadinya mewah untuk mereka. Karena yah beda aja jenis makanannya. Saat itu saya buat nasi kuning pakai bumbu jadi di rice cooker, mie goreng, ayam panggang tinggal masukin over, kerupuk yang sudah jadi beli dari toko asia, dan sosis direbus buat anak-anak.

ulang-tahun-anak

  1. Tetap sediakan waktu untuk menyalurkan hobi

Setiap orang pasti sibuk dong, entah ibu IRT maupun ibu bekerja. Dari pengalaman saya, to keep my sanity level, saya selalu menyediakan waktu untuk menyalurkan hobi saya. Tidak perlu waktu yang lama, 1 jam sehari untuk diri sendiri sudah lebih dari cukup. Biasanya kalau sudah suntuk, saya pergi ke kebun liat tanaman dan kasih makan ikan mas di kolam belakang. Setiap Rabu, saya ikutan kegiatan di gereja. Setiap kamis, saya ikutan main voli dengan ibu-ibu di Heidelberg. Jadi belum sampai suntuk banget, sudah disegarkan kembali oleh kegiatan-kegiatan yang saya memang suka.

Satu hobi yang saya dan suami saya juga suka adalah memperbaiki rumah atau mendekorasi ruangan-ruangan di rumah sendiri. Ini hobi yang juga bikin kantong tidak kempes karena ongkos tukang di Jerman mahal sekali. Dari hobi ini, kami sudah bikin kamar tidur anak, garden, kamar mandi, pasang lantai dan lain-lain.

 

  1. Belanja online

Sebelum punya anak, saya senang sekali pergi ke mall atau kota atau factory outlet. Kadang yg dibeli juga tidak banyak, tetapi senang lihat-lihatnya. Setelah punya anak, saya banyak mengubah strategi karena waktu untuk belanja makin berkurang sedangkan harus diakui keluarga saya juga perlu baju dan barang-barang lain. Saya banyak belanja online. Mulai dari beli baju buat saya, suami, anak-anak, mainan anak2, sampai beli peralatan rumah tangga. Saya punya daftar apa saja yang harus dibeli. Kalau tidak begini, jangan-jangan jadi laper mata. Dan juga dengan adanya daftar, jadinya cepat selesai belanjanya.

  1. Maintain personal finance

Mungkin karena pekerjaan saya di bidang finance, saya sangat sadar tentang keuangan keluarga saya. Buat saya, uang bukan segalanya dan saya tidak mau diperbudak oleh uang. Karena itu saya harus bisa manage apa yang ada supaya keluarga saya tetap bisa menikmati kehidupan dengan level yg sama. Saya tau keadaan keuangan keluarga saya dan saya tau apa yang keluarga saya mau capai. Dengan itu, saya membuat rencana dan bagaimana mencapai keinginan dan cita-cita keluarga saya, seperti mengatur pengeluaran, memantau pemasukan, analisis investasi dan hanya investasi kalau saya sudah tau seluk beluk bidang itu dan investasi hanya kalau suami setuju, mengoptimalkan tax, dan melihat tunjangan atau program dari negara yg bisa ambil. Saya pikir ini adalah pekerjaan dasar semua ibu untuk mengatur keuangan keluarga.


blog: http://tinggal-di-jerman.com

Edited by Mamarantau’s Content Editor Ajeng @misskepik

Merantau di Kerpen

Processed with VSCOcam with f2 presetBeth Agustina, wanita kelahiran Agustus 1977 yang tidak bisa berenang meskipun lahir dan tinggal di kota yang terkenal dengan pantai-pantainya, Pacitan, hingga usia 16 tahun. Menetap di Kerpen Jerman sejak tahun 2007. Bekerja sebagai fotografer yang  saat ini sedang menikmati masa-masa tiga tahun parental leave yang akan segera berakhir dua bulan mendatang.

Continue reading

Merantau di Bad Aibiling

HikingA stubborn Taurean yang lahir 40 tahun silam di Jakarta. Seorang istri dari suami yang jangkung bernama Sven dan seorang ibu dari seorang putri kecil bernama Medea Kedasih (4 tahun). Saat ini sedang bersekolah kembali untuk nantinya bisa berkerja dengan anak-anak. Co-Author buku 3 Wanita Menjejak Dunia dan Menghirup Dunia. Salah satu kontributor resep di buku 99+ Resep Rumahan Cihuy, sebuah buku komunitas Mama Koki Handal. Suka membaca, membuat DIY dan belajar masak, juga fotography secara autodidak.

Pengalaman Merantau

Saya meninggalkan kampung halaman pertama kali itu di tahun 1994, sewaktu masih kuliah Bahasa Cina di Program D3 FSUI. Ga jauh sih, hanya ke Bali dan bekerja di Club Med, Nusa Dua. Bekerja menjadi GO (Gentil Organisateur) di Kids Club. Enjoy banget masa-masa bekerja dengan anak-anak. Kembali lagi ke Jakarta dan bekerja di bidang perhotelan. Lalu kepikiran untuk sekolah kembali di bulan Maret tahun 2000 dan tinggal di Berlin untuk mendampingi suami yang waktu itu bekerja menjadi guru high school. Di ibukota Jerman itu saya memulai semuanya dari nol. Mulai dari belajar Bahasa Jerman sampai akhirnya mencari pekerjaan. Kursus Bahasa Jerman di Berlitz School yang intensif – setiap hari dari jam 8 sampai jam 15 –  membuat saya mendapat teman baru dengan beragam kebudayaan dan asal negara. Ada yang dari Mongolia, Taiwan, Spanyol, dan juga Rusia. Dalam kurun waktu dua bulan, saya mulai bisa berkomunikasi dengan bahasa Jerman cukup lancar. Bahasa Inggris dengan suami juga akhirnya tergantikan dengan bahasa Jerman. Hasil ujian bahasa Jerman juga tidak memalukan :d Setelah itu saya disibukkan dengan mencari kerja. Sebagai batu loncatan, saya bekerja sebagai Barista di sebuah coffee shop terkenal di Berlin. Di mana akhirnya saya diangkat menjadi manager salah satu cabang.

Di tahun 2002 saya memutuskan untuk kembali ke sekolah. Awalnya saya mau kuliah, namun karena ijazah SMA dari Indonesia diakui hanya sebagai lulusan Mittlere Reife (secondary level certificate), jadi saya harus mengikuti Studienkolleg, sebuah program yang fungsinya sebagai “jembatan“ untuk mendapatkan level yang sama dengan sistem pendidikan di Jerman. Akhirnya saya memutuskan untuk sekolah jurusan Correspondent of Foreign Language karena ijazah SMA saya bisa langsung dipakai.

Pada tahun 2004 – 2010 pindah ke Caracas, Venezuela karena suami ditugaskan menjadi guru di Colegio Humboldt. Sebuah sekolah untuk warga Jerman di Caracas, tapi juga untuk warga setempat. Di sana saya belajar bahasa Spanyol dan juga memutuskan untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman untuk mendapatkan diploma bahasa Jerman. Program dari Goethe Institut di Munich itu berhasil saya ikuti, sehingga bisa mengajar bahasa Jerman di Goethe Institut, Caracas. Selain itu saya juga memberikan les tambahan bahasa Jerman untuk murid-murid Venezuela di Colegio Humboldt.

20150606173551-1200x674

Favelas of Petare neighborhood. Caracas, Venezuela

Di sini saya juga berkenalan dengan dua orang Indonesia yang akhirnya menjadi sahabat dekat. Kita seringnya berkumpul, masak dan baking bersama sambil curhat dan ketawa-ketiwi. Saling membantu di saat down dan saling menyemangati. Mereka jugalah yang menyemangati saya sewaktu program IVF (In Vitro Fertilization/ Bayi tabung) yang belum berhasil. Beruntung ada mereka, jadi saya punya shoulders to cry on. Kita bertiga layaknya udah seperti keluarga deh. Baru kenal dan langsung terasa sehati dan dekat.

2010 masa tugas suami selesai dan keadaan keamanan di Caracas yang tidak pasti, kita memutuskan untuk kembali ke Jerman. Tepatnya ke Bavaria, asalnya suami. Pucuk dicinta, ulam tiba. Suami mendapatkan tawaran kerja di sebuah sekolah. Oleh karena itu kita memutuskan untuk tinggal di Bad Aibling karena kotanya tidak terlalu besar, namun mempunyai infrastruktur yang OK. Setelah kembali ke Jerman, saya mencari kerja dan memulai kembali sebagai Barista.

Namun kamipun mendapatkan rejeki yang tak dikira. Setelah divonis tidak bisa hamil secara normal, dan sudah berkali-kali mengikuti program bayi tabung di Caracas, akhirnya saya hamil, normal mal mal.

6350186986_74d5b522ce_z

Medea Kedasih lahir dengan sehat 12 Januari 2012. Saya berhenti bekerja dan menikmati banget jadi SAHM selama 3 tahun. Kenikmatan yang luxury banget!

6942058398_71001ef004_h

Pengalaman Merantau di Dunia Benua

Jika ditanya perbedaanya, yang jelas bedanya sangat terasa. Kalau di Jerman, rasanya susah untuk mendapatkan teman baik. Tapi kalau sudah kenal, mereka jadi teman baik yang asik. Nah kalau di Venezuela, rasanya gampang banget dapet teman tapi kenyataannya mereka membangun barrier. Walaupun tak terucap, kita berasa.

Kenyamanan tinggal di Caracas adalah cuaca tropisnya. Letak Caracas adalah 1000m d.p.l bikin cuaca selalu sekitar 25 derajat Celsius. Asik banget! Kalau di Jerman seringnya jalan kaki dan naik kendaraan umum, di Venezuela selalu naik mobil atau taksi. Tapi naik taksi pun masih harus berhati-hati. Tidak disarankan untuk menyetop taksi di pinggir jalan, karena banyak kejadian penculikan dan perampokan. Jadi pesan taksi lewat telfon, atau naik taksi tercatat dari mall. Makanya ngerasa bebas merdeka banget waktu kembali ke Jerman karena ga ada rasa takut.

Metrocable di kota Medellin - Kolombia

Metrocable di kota Medellin – Kolombia

Soal tepat waktu di Venezuela itu ngingetin aku sama Indonesia :d Jam karet berlaku deh di sana. Kata “besok“ di Indonesia mirip banget fungsinya dengan “mañana“ di sana. Kebetulan artinya bahasa Spanyol ini adalah “besok“.

Dari pengalaman merantau di Venezuela, suka dan dukanya, malah tetap membuat kami berpikir untuk merantau lagi sambil mengajak Medea mengenal negara baru dengan tradisi, bahasa dan culture-nya. Tapi sementara itu, kita nikmatin dulu tinggal di Jerman.

Bad aibling dan State Bavaria

Bad Aibling letaknya di lembah sungai Mangfall dan luasnya sekitar 42km². Terkenal dengan swamp health spa. Enaknya semua ada, dari perpustakaan umum, beberapa TK, daycare, beberapa supermarket, drug store, thermal, beberapa toko buku, apotik, dokter, Rumah Sakit, taman, sampai bioskop, cafe/restoran, gelateria dan pub.

47932028

Ke mana-mana bisa naik sepeda dan jalan kaki. Ada kereta api juga untuk ke kota-kota berikutnya. Sejak tahun ini, malah ada kereta langsung ke Munich. Ke sekolah, saya memilih naik kereta karena hanya 3 stasiun dan dalam 10 menit sudah sampe di kota Rosenheim, lokasi sekolah saya. Dari Rosenheim ada kereta langsung ke Salzburg, Austria.

rosenheim_bild19_600px

Rosenheim

Dari Bad Aibling, kita bisa pergi ke banyak tujuan. Pokoknya kami tuh tinggal di tempat di mana orang-orang ingin berlibur. Jadi kebayang kan banyaknya tempat tujuan yang asik untuk dikunjungi? Entah itu untuk hiking, bike tour, untuk ke outdoor Alpine Zoo, untuk menikmati Chiemsee, danau terbesar kedua di Bavaria ataupun plesir ke kota Innsbruck di Austria.

Karena Bad Aibling adalah spa town, jadi banyak sekali klinik-klinik. Banyak pasien klinik yang berasal dari negara Saudi Arabia, oleh karena itu banyak juga hotel. Karena letaknya sekitar 40km dari ibukota Bavaria, jadinya harga tanah dan rumah cukup tinggi. Banyak penduduk yang bekerja di Munich, namun karena harga sewa rumah di sana amat sangat tinggi, jadi mereka memilih untuk tinggal di pinggiran. Salah satunya adalah Bad Aibling.

Nah tapi namanya juga manusia, pasti ada yang kurang nih dari kota tempat tinggal kami. Yang kurang adalah… playground! Ada empat sih, tapi sudah tidak up-to-date. Ada yang baru dan tidak directly in the town. Enaknya masih bisa cycling distance sih, jadi anggap aja sekalian olah raga.

bike tour di kota Eigen am Inn%2C perbatasan Jerman Selatan dan Austria

Sementara mengenai Bavaria: adalah salah satu state di Jerman yang paling kaya. Nyaris tidak ada tingkat pengangguran. Karena itu banyak sekali pendatang dari daerah mantan Jerman Timur untuk menetap di Bavaria karena masih ada lahan pekerjaan. Banyak penduduk state lain di Jerman yang bilang kalau penduduk Bavaria itu sombong, tapi sebetulnya tidak. Mereka terlihat kaku tapi sebetulnya sangat ramah dan easy going. Sistem sekolah di Bavaria juga paling tinggi dibanding dengan state lain di Jerman.

Koenigssee dan St. Bartholomae di Bavaria

Koenigssee dan St. Bartholomae di Bavaria

Oiya, kalau kita bicara soal a picture about Germany, pasti yang dibayangkan itu adalah  Dirndl (pakaian tradisional wanita di Bavaria), Lederhose (pakaian tradisional pria di Bavaria), Breze (Pretzel) dan Sauerkraut, ini sebetulnya bukan Jerman tapi Bavaria.

Maibaum tradisi 1 mai

Enter a caption

Bahasa Pengantar

Bahasa sehari-hari antara penduduk setempat adalah bahasa Jerman dialek. Di Bavaria sendiri ada beragam dialek, tergantung dari daerahnya di Bavaria. Bahasa Inggris kadang terdengar di Munich, mungkin karena Munich adalah ibukota Bavaria dan di sana juga banyak expatriats. Namun hal ini tidak umum di kota-kota kecil lain, seperti juga di Bad Aibling, jadi bahasa pengantar sehari-hari adalah bahasa Jerman. Awalnya saya sempat ragu apakah bisa mengerti dialek Jerman di daerah kami tinggal. Namun ternyata itupun bukan kendala untuk berkomunikasi dengan penduduk lokal, dengan orang tua murid di TK saya bekerja, maupun di sekolah saya menimba ilmu. Mereka tidak meminta kita berbicara perfect, namun akan menghargai usaha kita sebagai pendatang.

Medea as a knight on Medieval Knight Festival di Bavaria

Medea as a knight in Medieval Knight Festival di Bavaria

Penduduk di Bad Aibling atau Upper Bavaria

Seperti yang saya sudah tulis di atas, penduduk Upper Bavaria dicap sebagai orang yang sombong. Namun hal ini tidak bisa saya setujui karena pengalaman pribadi saya berbicara lain. Mereka, seperti layaknya penduduk Jerman, terlihat kaku awalnya. Namun sebetulnya mereka itu friendly, easy-going, dan mempunyai humor yang tinggi. Tradisi juga sangat dijunjung tinggi dan belum punar dari modernisasi kehidupan. Karena sistim perekonomian yang sangat baik, jadi terlihat sekali kalau penduduknya mapan. Sisi kemanusiaan juga terlihat di masa ini, dengan banyaknya refugees yang datang ke Jerman. Kebanyakkan dari mereka datang melalui Bavaria. Sudah banyak camp untuk refugee dibangun oleh pemerintah Bavaria, juga di Bad Aibling.

2016-02-17-064033_1600x900_scrot

Linderhof Palace or Schloss Linderhof in German is a palace built by King Ludwig II and located in Ettal valley, Upper Bavaria.

Kegiatan Outdoor

Karena tidak terlalu jauh dari Pegunungan Alpina, jadi kita seneng hiking. Pastinya toddler-friendly-hiking. Selain itu juga bersepeda. Kita pernah beberapa kali bike tour. Yang terjauh itu dengan jarak 60km. It was a round trip dari Bad Aibling ke kota-kota tetangga dan return. Abis itu sempet ngomelin Pak Jangkung (suami) karena kaki jadi pegel kaya mau patah. Medea cukup menikmati setiap kali bike tour. Kalau hiking, dia masih suka malas jalan. Maka dari itu, kami buat se-fun mungkin dan selalu motivasi dia untuk terus jalan. Entah dengan main petak umpet, ngumpulin ranting, pokoknya segala usaha deh supaya sama-sama asik menikmati kegiatan.

playground momen

Tradisi Bavaria

Ada banyak tradisi di Bavaria dan seringnya berkaitan dengan agama Katolik sebagai agama mayoritas di Bavaria. Fasching yang dirayakan tujuh minggu sebelum masa puasa dimulai. Masa pra-Paskah ditandai dengan puasa untuk menyambut Paskah dan dimulai saat Rabu Abu. Acara Fasching yang berlangsung beberapa hari ini selain di Bavaria, juga di negara bagian Jerman yang beragama Katolik, dan disebut dengan Karnaval. Masa di mana orang-orang berpesta, ada arak-arakan atau parade dan mayoritas berkostum. Kata karnaval sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu Carne vale yang artinya meat farewell. Selama masa puasa, umat Katolik diajak untuk mengurangi konsumsi daging.

Left: Leberkase is a specialty food found in the south of Germany, in Austria and parts of Switzerland, similar to bologna sausage. It consists of corned beef, pork, bacon and onions and is made by grinding the ingredients very finely and then baking it as a loaf in a bread pan until it has a crunchy brown crust.) and right: Wurstsalat (German sausage salad)

Di Bavaria ada tradisi Maibaum, May tree, Maypole. Sebuah tiang dari satu batang pohon yang tingginya bisa mencapai 56meter. Pohon ini dicet biru dan putih, warna bendera Bavaria. Lalu dihias dengan berbagai figure sesuai tradisi tiap kota/daerah; misalnya baker, tukang kayu, petani, etc. Tradisi ini jatuh tepat pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya. Dan seringnya dipakai juga sebagai pesta rakyat. Ada tarian tradisional, ada musik khas Bavaria dan tentu saja makanan, seperti Wurst (sausages), Semmel (bun) dan Breze (pretzel). Oiya tradisi ini setiap tahunnya mengambil tempat di kota yang berbeda. Misalnya tahun 2013 ada di Bad Aibling, dan  tahun mendatang baru akan diganti dengan Maibaum yang baru.

Maibaum

In Germany and Austria the maypole (or Maibaum) is a tradition going back to the 16th century

Sebuah tradisi yang sangat ditunggu oleh anak-anak kecil adalah perayaan Sankt Martin atau disebut juga Martinstag (Martin Day) yaitu setiap 11 November. Anak-anak di daycare, playgroup dan TK bersama dengan staf pengajar, bahkan ada yang melibatkan orang tua juga, akan membuat lantern kertas dan nantinya akan dibawa saat Martinsumzug, St. Martin’s parade. Ada yang berkumpul di kebun TK masing-masing. Namun Tknya Medea merayakan parade ini di taman. Saya dan Medea berkumpul dengan teman TK dan keluargnya, berjalan mengelilingi taman sambil bernyanyi beberapa lagu khas St. Martin. Udara yang dingin terasa hangat dengan  ada juga yang berkumpul di taman kota. hasil prakarnya dan berkumpul di taman.

2016-02-17-063522_1600x900_scrot

Biasanya disediakan cookies berbentuk goose, kita menyebutnya Martingans (Martin’s goose)

Tradisi yang paling terkenal seantero dunia, Oktoberfest. Sebuah pesta rakyat menjelang musim gugur selama dua minggu, biasanya akhir September hingga awal Oktober. Pesta rakyat tekenal ini awalnya adalah pasar tradisional, di mana para petani, para pengrajin, menjual dagangan mereka. Oiya, cerita tentang Oktoberfest ini ada di buku 3 Wanita Menjejak Dunia. Buku yang saya tulis dengan dua orang teman. *ujung-ujungnya promosi :d*

1200x630_314236_oktoberfest-bavarian-costumes-bands-an.jpg

Bavarian costumes, bands, and beers..!

Traveling with little ones

Saya sudah berkunjung ke sekitar 15 negara dan 6 di antaranya dengan Medea. Karena dibiasain sejak umur 3 bulan, jadi cukup travel-able nih anak wedokku. Di IG saya, #travelwithlittlebirdie boleh dilihat-lihat kalau ada waktu.

Melk Abbey

Medea in Melk Abbey.

Melk Abbey is a Benedictine abbey above the town of Melk, Lower Austria, Austria, on a rocky outcrop overlooking the Danube river, adjoining the Wachau valley.

Kita sekeluarga memang seringnya pergi ke tempat yang non-mainstream. Sebisa mungkin ke tempat yang jarang wisatawannya. Misalnya ke daerah Burgundy di Perancis. Waktu itu kita menyewa penginapan di Morvan. Sebuah kota kecil yang penduduknya banyak meninggalkan kota untuk pergi ke kota yang lebih besar. Jadi banyak sekali rumah-rumah, bahkan juga chateau yang kosong dan dijual murah.

Liburan musim panas yang lalu kita memilih Waldviertel, Forest Region, di Austria. Sebuah daerah cantik namun tidak terkenal di kalangan wisatawan. Penduduk lokalnyapun banyak yang memilih untuk migrasi ke kota lain. Di sana kita menginap di sebuah organic farm house.

Kalau kita seringnya kalau road trip, bawa makanan cemilan, audio books yang buanyak (Medea seneng dengerin audio books), dan selalu nyempetin istirahat untuk bergerak.

South Tyrol - Italia

South Tyrol, Italia

mamarantau - snowy Schlern di South Tyrol - Italia

Snowy Schlern, South Tyrol, Italia

Tipsnya: persiapkan diri kita lebih dahulu. Kalau kita sebagai orang tua siap lahir batin, anak jadi berasa. Karena kita adalah contoh buat mereka.

LL-mamarantau-

 *This post is written in collaboration with LivingLoving. Do check out the other side of Mindy on LivingLoving’s blog

IG dan Twitter: @mindoel – mindycjordan@yahoo.de –

Blog: mindoel.blogspot.de

Foto-foto terlampir adalah karya Mindy dan keluarga – Dan beberapa foto penunjang terhubung langsung dengan image pada gambar.

Frankfurt Book Fair 2015 (Bagian 4 – Final)

7526fe7990e6591c3fa4d9bdf506e934Permai Sari Molyana Yusuf (Melly – An Indonesian, currently living in Mannheim, Germany. A Housewife with two kids, Afiqah and Aqila. Interest in Biophysics and love to cook, bake and do Food Photography. A Culinary Contributor of Indonesian Fashion Magazine.

Frankfurter Buchmesse atau lebih dikenal Frankfurt Book Fair (FBF) disinyalir sebagai the world’s largest trade fair for books ,hal ini dilihat dari jumalah pengunjung dan perusahaan pelaku bisnis terkait penerbitan buku dan lisensi serta penulis, ilustrator, seniman, perangkat lunak dan multimedia. Sehingga tidak salah jika banyak yang menganggap FBF ini merupakan pameran buku yang paling penting di dunia.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Frankfurt Haupbahnhof , Stasiun Kereta Frankfurt

Setiap tahunnya, acara ini diselenggarakan  di Frankfurt Messe, Frankfurt am Main, Jerman , di pertengahan bulan Oktober, selama 5 hari. Tiga hari pertama merupakan jadwal untuk pengunjung  eksklusif (pelaku bisnis di bidang buku untuk penerbitan, menulis, lisensi, dsb) dan 2 hari terakhir sisanya, terbuka untuk khalayak umum.

Sejak  tahun 1976, pameran ini memberikan ruang bagi negara negara lain untuk menjadi tamu kehormatan dan menjadikannya sebagai Tema  Frankfurt Book Fair di tahun tersebut. Sebagai contoh, untuk tahun ini, 2015, Indonesia menjadi tamu kehormatan dengan mengusung tema „17.000 Inseln der Imagination (17.000 Islands of Imagination)”.

Adanya kesempatan sebagai tamu kehormatan tentunya memberikan dampak yang positif bagi negara berkembang Indonesia, untuk memperkenalkan diri, potensi dan karya anak bangsa. Bisa dibayangkan, hadirnya Indonesia disini menjadilkan hasil kreatifitas anak bangsa makin diakui banyak pihak dari berbagai negara dan tentunya ini menjadi pemicu makin meningkatnya kepercayaan generasi muda dalam berkarya seni, menulis, dsb.

Informasi mengenai penyelenggaraan Frankfurter Buchmesse setiap tahunnya bisa dilihat di website Buchmesse.

***

Sejak tahun lalu sebenarnya aku sudah ingin datang ke acara FBF ini, hanya saja saat itu menjelang ujian DTZ dan ujian politik negara, jadilah mengesampingkan dulu kepentingan yang lainnya. Alhamdulillah tahun ini bisa mengunjungi Frankfurt Book Fair di saat Indonesia menjadi tamu kehormatan. Hal yang bersamaan pula momen ini menjadikan temu kopi darat beberapa teman teman Mbakyurop yang juga mengunjungi FBF ini 😉

Beberapa dari kami sudah mengunjungi FBF di hari Sabtu, jadi kami janjian sarapan bersama di tempat yang sudah disepakati sehari sebelumnya, di salah satu kafe di dekat Hauptbahnhof. Alhamdulillah seneng bangeeet. Kebayang kan biasanya info-info hanya di grup dan tidak pernah bertemu, setelah bertemu rasanya seperti sudah kenal lama ^^

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Dari kiri ke kanan : Mindy dan Medea, Beth, Era dan Aima, Aku dan Flipper, Mia

***

FBF tahun ini dibuka untuk umum pada tanggal 17 dan 18 Oktober 2015, 2 hari terakhir menjelang penutupan. Dan aku datang di hari Minggunya. Jujur saja, 1 hari tidak akan cukup menjelajahi seluruh pameran ini, ada 5 gedung besar dengan minimal 3 lantai yang cukup luas untuk dilihat apalagi jika waktunya terpotong untuk mengikuti sesi-sesi diskusi yang diadakan.

Biaya tiket masuk yang ditawarkan pun beragam (umum, kontributor atau bisnis). Untuk umum, tiketnya sekitar 18 eur dan ada penawaran harga khusus untuk student atau sejenisnya dan juga pemegang kartu Arbeitlos (tidak bekerja), dsb. Sedangkan untuk Flüchtlinge atau pengungsi (pengungsi yang berasal dari negara negara perang, dsb) diberikan hak untuk masuk gratis.

5 - Tiket untuk kalangan privat

Tiket untuk kalangan private

***

Pengalamanku dengan tiket, sesaat sebelum masuk Messe frankfurt, aku ditawari untuk membeli koran lokal seharga 0,80 eur atau 80 cent, yang didalamnya ada voucher untuk membeli 1 tiket gratis 1 dan hanya berlaku untuk pembelian jenis tiket sehari. Kebetulan aku saat itu berdua dengan temenku Mia, jadi adanya voucher ini membuat kami berdua tampak lebih sumringah melewati dingin pagi itu di Frankfurt, hihihihihihihi 😀

Setelah melewati loket tiket, panitia juga menyediakan sarana penitipan barang dan jaket dan dikenakan biaya sekitar 2 euro untuk satu jenis barang penitipan. Jadi mempermudah pengunjung untuk mengunjungi stand-stand tanpa ribet dengan bawaan pribadi.

***

Di sini, benar benar seperti surganya buku, semua jenis buku dari berbagai negara ada. Karena memang event Internasiona ya. Dari mulai buku anak, remaja, dewasa, orang tua, roman, pokoknya semuanyaaa… dari mulai bahasa lokal (jerman), bahasa Inggris dan bahasa dari masing masing negara peserta Book Fair. Bisa dibayangkan satu lantai hall saja besarnya ga nahan untuk dilihat satu-satu, ini ada 5 hall yang semuanya besar.

Kursi dan Meja yang disediakan untuk membaca
Kursi dan Meja yang disediakan untuk membaca

Hal yang menarik, di setiap stand buku, pengunjung diberi fasilitas kursi dan meja atau kursi saja yang nyaman untuk membaca dan semua buku dipajang dalam keadaan tidak di bungkus, jadi semua pengunjung dipersilahkan dengan senang hati untuk duduk santai dan membaca. Pemandangan yang seperti ini memang sangat lumrah ditemui di berbagai toko buku di Jerman. Seharian di toko buku untuk membaca adalah hal yang sah sah saja, asyik ya? 😉

Lesezelt
Lesezelt

Seperti halnya kegiatan perpustakaan-perpustakaan di Jerman pada umumnya, di FBF juga menghadirkan kegiatan „menceritakan“ untuk bacaan anak-anak, bahkan ada disediakan tempat khusus, Lesezelt (atau disebut sebagai Tenda Membaca). Di pameran buku pun ada beberapa spot tertentu dimana anak anak bisa duduk santai sambil mendengarkan cerita. Percayalah, si pencerita akan menarik pendengar untuk duduk anteng mendengarkan isi ceritanya dengan seksama. Kenapa?? Karena di setiap adegannya dia bisa mengeluarkan berbagai jenis suara berbeda diikuti dengan mimik yang kadang penuh kejutan ! 🙂

Sehingga tidak heran, kalau pendengar pun ikut merasakan alur cerita yang lucu, sedih, gembira dan petualangan seru. Saat mengunjungi spot ini agak sedikit menyesal memang, tidak membawa anak-anak untuk ikut serta. Tapiii ya karena memang hari Minggu, kakak Afiqah punya jadwal sekolah Minggu yang sepertinya tidak boleh terlalu sering membolos.

Kinderbuch Centrum, Children's Book Centre
Kinderbuch Centrum, Children’s Book Centre

 

Anak-anak anteng mendengarkan cerita seru
Anak-anak anteng mendengarkan cerita seru

 

Apps Radio.de
Apps Radio.de

 

Pilihan di Apps Radio.de
Pilihan di Apps Radio.de

 

Hallo Eltern : menceritakan dongeng-dongeng Jerman dengan intonasi yang sangat menarik untuk anak-anak
Hallo Eltern : menceritakan dongeng-dongeng Jerman dengan intonasi yang sangat menarik untuk anak-anak

Oh iya, kegiatan seperti ini juga bisa didengar melalui apps radio dari hp, nama apps nya radio.de bisa di download di apps store , langsung saja cari „Hallo Eltern Podcast – Märchen“ (menceritakan cerita dongeng Jerman untuk anak anak).


Stand Buku Indonesia
Stand Buku Indonesia

 

Gramedia Pustaka Utama di FBF 2015
Gramedia Pustaka Utama di FBF 2015

 

Gramedia Printing di FBF 2015
Gramedia Printing di FBF 2015

 

Buku-buku Indonesia yang sudah diterjemahkan
Buku-buku Indonesia yang sudah diterjemahkan

 

Buku-buku Indonesia yang diterjemahkan dan dipamerkan di FBF 2015
Buku-buku Indonesia yang diterjemahkan dan dipamerkan di FBF 2015

 

Buku-buku Indonesia yang diterjemahkan dan dipamerkan di FBF 2015
Buku-buku Indonesia yang diterjemahkan dan dipamerkan di FBF 2015

 

Buku-buku di Indonesia Pavilion
Buku-buku di Indonesia Pavilion

 

Mengenalkan alat musik tradisional dari Bambu, Angklung, dimainkan melalui aplikasi dan juga alat musiknya.
Mengenalkan alat musik tradisional dari Bambu, Angklung, dimainkan melalui aplikasi dan juga alat musiknya.

 

Pertunjukkan tarian dan gendang khas Indonesia
Pertunjukkan tarian dan gendang khas Indonesia

 

Pertunjukkan tarian dan gendang khas Indonesia
Pertunjukkan tarian dan gendang khas Indonesia

 

Indonesia Pavilion
Indonesia Pavilion

 

Rempah-rempah Indonesia di Indonesia Pavilion
Rempah-rempah Indonesia di Indonesia Pavilion

 

Indonesia Pavilion
Indonesia Pavilion

* * *

Sebagai tamu kehormatan, tentunya Indonesia banyak memberikan peran dalam event-event diskusi yang diadakan. Sebagian besar panelis merupakan utusan dari Indonesia, yang memang berprofesi sebagai penulis, tokoh kuliner, dsb.

Beberapa diantaranya, yaitu :

Penulis buku sastra dan fiksi
A. S. Laksana
Abidah El Khalieqy
Afrizal Malna
Agus R. Sarjono
Ahmad Fuadi
Ahmad Tohari
Andrea Hirata
Avianti Armand
Ayu Utami
Azhari
Budi Darma
Cok Sawitri
Dewi Lestari
Dorothea Rosa Herliany
Eka Kurniawan
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gus tf Sakai
Ika Natassa
Intan Paramaditha
John Waromi
Joko Pinurbo
Laksmi Pamuntjak
Leila S. Chudori
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
M. Iksaka Banu
Maggie Tiojakin
N. Riantiarno
Nh. Dini
Nirwan Dewanto
Nukila Amal
Okky Madasari
Oka Rusmini
Putu Oka Sukanta
Ratih Kumala
Sapardi Djoko Damono
Seno Gumira Ajidarma
Sindhunata
Taufiq Ismail
Darwis (Tere Liye)
Toeti Heraty
Triyanto Triwikromo
Yusi Avianto Pareanom
Zen Hae

Penulis komik
Aji Prasetyo
Apriyadi Kusbiantoro
Arief Yaniadi
Beng Rahadian
Benny Rachmadi
Hikmat Darmawan
Is Yuniarto
Iwan Gunawan
Kharisma Jati
Muhammad Misrad (Mice)
Sheila Rooswitha Putri
Tita Larasati
Wendy Jaka Sundana

Penulis buku anak
Arleen Amidjaja
Christiawan Lie
Djokolelono
Murti Bunanta
Nadia Shafiana Rahma
Renny Yaniar
Tety Elida

Penulis buku non-fiksi
Agustinus Wibowo
Dian Pelangi
Imelda Akmal
Julia Suryakusuma
Noor Huda Ismail
Trinity
Suwati Kartiwa
Wahyu Aditya
Yoris Sebastian

Penulis digital
Daryl Wilson
Taufik Assegaf

Juru Masak
Aries Adhi Baskoro
Astrid Enricka Dhita
Bara Pattiradjawane
Budi Lee
Ignatius Emmanuel Julio
Ivan Leonard Mangudap​
Mukhamad Solihin
Petty Elliot
Putri Mumpuni
Ragil Imam Wibowo
Sandra Djohan
Sisca Soewitomo
Sudarius Tjahja
Vindex Tengker

Tokoh Kuliner
Helianti Hilman
Lisa Virgiano
Mary Jane Edleson
Mei Batubara
Santhi Serad
Sri Owen
William Wongso

Aktivis Literasi
Anton Solihin
Asma Nadia
Evelyn Ghozalli
Heri Hendrayana (Gola Gong)
Janet DeNeefe
Muhidin M. Dahlan

Narasumber seminar
Frans Magnis Suseno (Pluralisme and Islamophobia)
Haidar Bagir (Pluralism and Islamophobia)
Ulil Abshar Abdalla (Pluralisme and Islamophobia)
Philips Vermonte (Pluralisme and Islamophobia)
Setiadi Sopandi (Tropical Architecture in Indonesia)
Gede Kresna (Tropical Architecture in Indonesia)
Oman Fathurahman (Script in Indonesian Manuscript)
Sugi Lanus(Script in Indonesian Manuscript))
Dewi Candraningrum (Translating Faust and Goethe)
Mery Kolimon (Writing of Political Violence and Trauma)
Endo Suanda (Recording of Indonesian Music)
Eko Prawoto (Climate and Architecture)
Francis Kere (Climate and Architecture)
I Made Bandem (Indonesian Superhero, Cerita Panji)

Pembaca Karya
Butet Kartaredjasa
Elizabeth Inandiak
Endah Laras
Jennifer Lindsey
Landung Simatupang

Buku hasil karya Andrea Hirata dan Laksmi Pamuntjak sudah tersedia di Amazon.de

Buku hasil karya Andrea Hirata dan Laksmi Pamuntjak sudah tersedia di Amazon.de

Dan masih ada lagi yang lain. Buku hasil karya penulis pun beberapa sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman dan sudah tersedia di toko buku online seperti Amazon.de , Thalia.de dan bookdepository.com.

Selain itu nama nama yang dituliskan di atas juga berperan sebagai panelis dan narasumber dalam berbagai event diskusi selama berlangsungnya FBF dan di beberapa Bibliothek/ perpustakaan di berbagai kota di Jerman,  seperti Dresden, Heidelberg, Berlin, dsb.

Semaraknya Indonesia mewarnai FBF tahun ini tidak mungkin terlepas dari cita rasa masakan khas tanah air. Sehingga ada beberapa spot di pameran ini yang menyediakan masakan khas Nusantara seperti Nasi Kapau, Gado-gado, Ayam rica-rica, dessert Klappertaart, dsb

Selain itu, di luar area pameran, juga digelar masakan Kaki Lima, yang menyediakan Nasi Goreng dan Sate khas Indonesia. Kaki Lima ini bisa dikunjungi langsung di Römer, salah satu sudut kota Frankfurt, Jerman. Tantangan banget kan ya, menjajakan makanan di luar ruangan di saat suhu sudah mulai turun di musim gugur.

Rasanya tidak cukup hanya satu hari untuk bisa mengunjungi seluruh area FBF. Hari Minggu, aku berkesempatan untuk mengikuti dua event setelah berkeliling melihat-lihat buku 😉 , yang pertama,  “The Art of Banana Leaves Food Wrapping” yang disampaikan oleh Ibu Sisca Soewitomo dalam Bahasa Indonesia dengan penterjemah Bahasa Jerman dan yang kedua,  “Garuda Rising: Contemplating Modern Indonesia” oleh Dr. Jusuf Habibie dan Frans Magnis-Suseno dalam Bahasa Jerman.

Keduanya dilakukan sama sama di Indonesia Pavilion dan waktunya yang berdekatan, sehingga aku pun bisa mengikuti tanpa harus berpindah gedung lainnya.

***

Event yang pertama, Bu Sisca memperkenalkan penggunaan daun pisang yang kerap kali digunakan di berbagai macam masakan Indonesia. Baik itu sebagai pelengkap, alas/ wadah ataupun pembungkus. Sambil mendemokan membuat gado-gado, beliau menjelaskan aroma yang dikeluarkan dari daun pisang tersebut yang memberikan rasa dan aroma yang khas, apalagi jika daun pisang yang digunakan untuk membungkus makanan, selanjutnya dibakar sebentar di perapian, akan menambah cita rasa sedap dalam masakan. Dan ternyata, Ibu Sisca menggunakan daun pisang yang di dapatkan di Toko Asia di Jerman.

Bu Sisca Soewitomo di FBF 2015

Bu Sisca Soewitomo di FBF 2015Bu Sisca Soewitomo di FBF 2015

Pada sesi tanya jawab, salah satu peserta warganegara Jerman, menanyakan mengenai rasa masakan khas Indonesia, yang sebagian besar menggunakan cabai dan rasanya pedas. Hal ini tentunya berkaitan dengan selera masyarakat Jerman yang cenderung plain saja tanpa pedas.

„Banyaknya macam jenis masakan Indonesia, tentunya ada pula yang tidak harus menggunakan cabe atau jika pun menggunakan, kadar penggunaan cabe itu sendiri juga dapat disesuaikan dengan selera. Jadi tidak selalu harus pedas“ jelas bu Sisca.

Event selanjutnya, antusias peserta tidak kalah banyaknya dibanding dengan event sebelumnya. Bahkan podium peserta diskusi tidak cukup menampung dan banyak yang rela untuk melantai agar dapat mengikuti diskusi bersama Presiden Indonesia yang ketiga ini, Dr. BJ. Habibie.

“Garuda Rising: Contemplating Modern Indonesia” oleh Pak Habibie
“Garuda Rising: Contemplating Modern Indonesia” oleh Pak Habibie

Intinya, Bapak Habibie sangat yakin bahwa nantinya Indonesia akan menjadi negara yang mandiri dan bisa mensejahterakan rakyatnya. Kekayaan alam Indonesia yang sangat banyak dan semakin potensialnya sumber daya manusia tentunya menjadi kombinasi yang positif untuk kemajuan bangsa.

Ada beberapa event lainnya yang aku lihat namun tidak full, karena aku masih ingin melihat-lihat pameran buku, yakni

Morning Coffee with Literacy Activist bersama Muhidin Dahlan, Anton Solihin, Heri Hendrayana, Asma Nadia dan Evelyn Gozali.

dan terakhir sebelum penutupan, ada diskusi 2 penulis, satu dari Indonesia yang yang diwakili oleh Ayu Utami dan satunya dari Belanda yang diwakili oleh Adriaan van Dis. Podium penonton untuk diskusi ini sepertinya hanya untuk orang-orang tertentu karena akan sekalian dengan penutupan dan serah terima ke Belanda sebagai Guest Honour tahun depan.

Die nächste Buchmesse findet vom 19. bis 23. Oktober 2016 statt !!
Nantikan Frankfurt Book Fair berikutnya, yang akan diselenggarakan pada tanggal 19-23 Oktober 2016 !!

——–

Tulisan ini disadur dari tulisan di blog Melly . Foto  yang dilampirkan menggunakan watermark Mellyloveskitchen adalah dokumentasi pribadi dan yang mengambil dari website lain dicantumkan sumbernya pada nama foto tersebut.

IG: @mellyloveskitchen

Frankfurt Book Fair 2015 (Bagian 2)

925351_547216565411067_743477697_aBeth Agustina. Has been living in Germany for 8 years. Full time happy SAHM and part time passionate portrait photographer.

Hajat tahunan Frankfurt Book Fair yang digelar selama lima hari akhirnya selesai juga hari Minggu kemarin. Konon banyak buku-buku yang diobral bahkan gratis di hari terakhir (Minggu 18 Oktober 2015). Sayangnya saya datang hanya di hari Sabtunya saja, jadi tidak kebagian obralan. Tapi lumayan juga sih, mendapat buku-buku kortingan setelah tawar menawar tingkat tinggi dengan di beberapa stand penerbit. Untung suami saya tidak ikut masuk ke pameran buku ini, dia suka malu mendapati istrinya nggak tahu malu tawar-menawar harga 😀

Indonesia menjadi tamu kehormatan di acara Franfurt Book Fair tahun ini dengan fokus utama penulis-penulis wanita Indonesia yang menyinggung topik tabu seperti seks dan agama dalam karya-karya mereka. Jauh hari sebelum hajatan literatur terbesar di dunia ini dibuka, berita tentang kultur, budaya dan literatur Indonesia sudah banyak menghiasi beberapa media di Jerman. Di samping berita tentang kehadiran Salman Rushdie di acara pembukaan pameran dan boikot dari negara Iran karenanya, tentunya.

APw4_ONdQ_3AGFtxd4QI3F31vk5XLn4eTh3kWFEbkXk,SYedbeWWJYURa9Z1cc7gonwY8oO7s0eEAtBwD08qfcU

Frankfurt Book fair dibuka untuk umum pada dua hari terakhir, 17 dan 18 Oktober 2015. Tiket masuknya berharga 18,00 Euro sehari, yang termasuk normal untuk tiket pameran berkelas internasional seperti ini. Khusus untuk refugees, yang saat ini sedang ramai-ramainya membuat pemerintah dan warga negara Jerman pusing tujuh keliling, mereka mendapat fasilitas masuk gratis.

Saya lumayan menyesal hanya datang di hari Sabtunya saja. Bukan masalah obralan buku di hari terakhir, namun karena saya belum khatam mengelilingi semua halls dan stand. Hari itu saya hanya berkonsentrasi pada jadwal acara dari Indonesia dan mencari buku anak-anak sedangkan sebenarnya ada lebih dari 7000 peserta pameran 100 negara yang rutin mengikuti Frankfurt Book Fair. Tapi not bad juga sih, semua target saya terpenuhi; melihat acara tanya jawab Laksmi Pamuntjak dan Leila S. Chudori, menemui senior jaman kuliah Beng Rahardian dan Eko Nugroho-para komikus kondang tanah air, mengikuti acara interview Andrea Hirata dan tentunya membeli beberapa buku anak berbahasa Indonesia yang tidak bisa saya dapatkan di sini -itupun pilihannya terbatas karena sebenarnya hari Sabtu itu belum diadakan transaksi jual beli. Oh ada satu acara yang tak bisa saya ikuti karena saya datangnya telat, acara show cooking-nya Chef Vindex!

ANDREA HIRATA

Andrea Hirata untuk ketiga kalinya kembali diundang untuk menghadiri Frankfurt Book Fair, sebuah pameran buku terbesar di dunia. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, saya sempat mengikuti interview Andrea Hirata di booth milik stasiun TV Jerman 3Sat. Sempat bangga juga saya melihat bangku penonton langsung penuh begitu session Andrea Hirata tiba. Dan serunya lagi, 95% penontonnya bukan orang Indonesia padahal buku-buku Andrea Hirata baru ada versi bahasa Jermannya sejak bulan September kemarin. Di Amazon.de buku Laskar Pelangi yang dalam bahasa Jermannya Die Regenbogentruppe mendapat review 4,5 dari total 5 dari para pembacanya. Yay!


Dulu waktu saya masih baru-barunya di Jerman (tahun 2007), buku Andrea Hirata belum ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan setiap kali ada yang bertanya kepada saya tentang pendidikan di Indonesia, saya selalu menyelipkan cerita dari bukunya Andrea, tentang perjuangan Ikal dkk. dalam menempuh ilmunya. Teman-teman saya yang kebanyakan lahir dan besar di Jerman sangat tertarik dengan Laskar Pelangi dan banyak bertanya tentang kebenarannya, bagaimana dengan sistem pendidikan pada umumnya di Indonesia dan bagaimana dengan sekolah saya sendiri. Apalagi saat itu di Jerman sedang ramai-ramainya demonstrasi mahasiswa yang tidak puas dengan  fasilitas di Universitas Negeri yang kurang dan buku-buku diktatnya yang mahal. Teman-teman yang sudah kena setrum cerita Laskar Pelangi inipun kemudian berkata betapa kurang bersyukurnya mahasiswa di Jerman yang berdemo itu karena biaya kuliah di Jerman sebenarnya termasuk yang paling murah di dunia, bahkan biaya sekolah sampai SMA pun gratis. Dan buntutnya mereka ingin sekali membaca buku Laskar Pelangi. Tahun ini harapan mereka akan saya kabulkan!

Dalam interview di stasiun 3Sat kemarin, Andrea Hirata sempat diminta untuk mendeskripsikan bangsa Indonesia yang complex ini hanya dalam 3 kalimat pendek. Menurut Andrea, bangsa Indonesia itu toleran, bangsa Indonesia itu suka belajar dan yang terakhir, bangsa Indonesia itu suka tersenyum yang disambut dengan senyum lebar para pengunjung. Pembawa acara cantik yang mewawancarai Andrea Hirata juga sempat menanyakan seberapa penting pengaruh  magic di Indonesia karena dalam buku Sang Pemimpin (Jerman: Der Träumer) ada bagian di mana Ikal menuliskan harapannya di secarik kertas yang digantung di sebuah layang-layang. Menurut Andrea Hirata magic merupakan bagian dari kultur Indonesia dan  sebagai seorang penulis cultural fiction, memasukkan unsur-unsur magic itu baginya merupakan hal yang penting. Yang paling lucu adalah ketika Andrea Hirata membacakan bagian dari Sang Pemimpi, tentang asal-usul namanya (Andrea Hirata sempat ganti nama 9 kali!) yang sayangnya tidak diterjemahkan secara lengkap oleh si penerjemah sehingga pemirsa non-Indonesia tidak bisa ikut cekikikan seperti saya. Video tentang interview Andrea Hirata ini bisa dilihat di websitenya 3Sat.

Setelah interview usai, saya dan dua orang teman saya langsung bergegas ke backstage, mau minta tanda tangan dan foto bareng. Rupanya di sana sudah banyak orang yang antri, kebanyakan mahasiswa dari Indonesia. Andrea Hirata sempat bertanya apakah ada dari kami yang memiliki bukunya dalam versi bahasa Jerman. Sayangnya kami belum punya tapi saya janji mas, saya akan segera beli buku itu secara dari dulu saya memang sudah tidak sabar, ingin teman-teman Jerman saya membaca buku itu.

Andrea Hirata orangnya sangat ramah, sedang sibuk-sibuknya sesi tanda tangan, dia sempat-sempatnya bercerita kalau editornya masih lajang. Maksudnya bagaimana nih mas?

Buku Anak

Ohya, saya sempat  membeli beberapa buku anak-anak berbahasa Indonesia buat si Flipper (anak perempuan saya), salah satunya adalah buku ‘Indahnya Negeriku’ – Berpetualangan bersama Ella dan Eza dari penulis Fitri Kurniawan dan Watik Ideo (Penerbit: Bhuana Ilmu Populer). Buku yang rupanya bilingual ini (Indonesia dan Inggris), mengisahkan tentang dua kakak beradik Ella dan Eza yang berwisata berkeliling Indonesia ke 13 kota dari Sumbawa sampai ke Sulawesi Utara.

Menurut saya ceritanya standar saja. Di setiap kota yang disinggahi, mereka bertemu dengan kenalan baru yang mengenalkan mereka dengan budaya setempat seperti tari-tarian, kerajinan tangan dan makanan dengan latar belakang ilustrasi rumah adat mereka. Saya sebut standar karena informasi-informasi pendek seperti ini seingat saya sudah ada di buku pelajaran jaman SD atau SMP dulu yang saya yakin saat inipun masih ada. Tapi dengan illustrasi penuh warna dan teks non-formal membuat buku ini tentu saja lebih menarik dari buku pelajaran sekolah.

Yang lebih menarik lagi  -dan tidak ada di buku pelajaran- adalah pengenalan makanan setempat di setiap kota yang mereka singgahi.  238 halaman, 13 kota, 19 ilustrasi makanan (38 halaman), nom! Waktu suami saya baca buku ini komentar pertamanya adalah, “pantas saja orang Indonesia suka makan.” Yup, pengenalan makanan sejak dini! Bisa jadi dia iri hati juga karena kulinari Jerman tidak sekaya kulinari di Indonesia.

Ikan gabus kuah kuning, makanan khas Papua

Makan wadi, makanan khas suku Dayak sambil membahas senjata Sipet dan Mandau

Cukup menarik khan? 🙂

——–

Foto-foto pada laman ini adalah karya Beth, dengan beberapa foto pendukung yang terhubung dengan link pada foto.

https://autumnisokay.wordpress.com & Instagram @frausie

Merantau di Dresden

profilepict1Siti Prima Genni (Meli) – A 32 y.o Indonesian. Mother of two energetic boys: Adriaan Radhitya Irman (6 y.o) and Adam Irman (1 y.o). Married to an Indonesian Scientist. A hausfrau who loves cooking, baking and traveling. Has been living in a historic city of Dresden in  East Germany since 2010.

Meli dan keluarga

Semenjak menikah tahun 2006, saya dan suami sepakat untuk selalu tinggal bersama. Saat menikah, suami sedang menyelesaikan studi S3 nya di Enschede, Belanda. Saya menyusul ke Belanda pada tahun 2007. Anak pertama kami Adriaan, lahir di kota itu. Setelah studi S3 suami selesai, kamipun pindah ke Dresden pada tahun 2010. Pekerjaan suamilah yang membawa saya ke kota ini. Suami bekerja sebagai peneliti di salah satu Lembaga Penelitian di Jerman, mungkin seperti LIPI di Indonesia. Di kota cantik ini, kami dianugerahi putra kedua yang bernama Adam.

DSC03244

Meli bersama keluarga: Arie, Adriaan, dan Adam

Tentang Dresden

Dresden adalah ibukota Sachsen, salah satu negara bagian Jerman yang berada di sebelah timur. Jaraknya tidak jauh dari Prague, Ceko Slovakia. Kota Dresden memang tidak sebesar kota-kota besar Jerman lainnya, seperti Berlin, München atau Hamburg. Tapi kotanya juga tidak kecil dan bisa dibilang menengah.

Dresden is the capital city of the Free State of Saxony in Germany. It is situated in a valley on the River Elbe, near the Czech border. The Dresden conurbation is part of the Saxon Triangle metropolitan area with 2.4 million inhabitants.

Dresden adalah kota yang cantik dan bersejarah. Perpaduan arsitektur Baroque dengan sungai Elbe yang membuatnya cantik dan mempesona. Bukan hanya kotanya saja yang cantik, alamnya pun juga cantik.

Elbe (Konigstein)

Sungai Elbe dilihat dari Benteng Konigstein

Festung Königstein adalah benteng yang terletak di bukit dekat Dresden, di atas kota Königstein di tepi kiri Sungai Elbe

Dua bagian kota Dresden yang cukup menarik adalah Altstadt (Old city) dan Neustadt (New city). Altstadt biasanya di penuhi bangunan-bangunan yang tua tetapi sangat terawat dan cantik:

Dresden Alstadt dari atas Frauenkirche

Sedangkan Neustadt dipenuhi Restaurant, Bar, kafe-kafe, serta mural (graffiti):

Kunsthof-Passage Dresden Neustadt

The Neustadt is the cultural center of Dresden. Particularly in the summer, many visitors and residents simply sit out on the sidewalk drinking and chatting.

Kendala Bahasa

Tidak seperti kota-kota di Jerman Barat, dimana orang bisa mengandalkan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi, speaking German is a must here. Disini kita harus bisa berbahasa Jerman untuk hidup sehari-hari. Beli roti di Bäckerei saja harus menggunakan Bahasa Jerman. Komunikasi di sekolah dan kindergarten juga menggunakan Bahasa Jerman. Di Kindergarten Adriaan hanya Kepala Sekolahnya saja yang bisa Bahasa Inggris. Komunikasi dengn guru-gurunya mau tidak mau harus memakai Bahasa Jerman.

Do you speak German?

Tentu saja awalnya saya bingung. Awalnya saya sering minta bantuan teman-teman Indonesia yang sudah lama tinggal di Dresden, sering buka kamus dan malah menggunakan bahasa tubuh ;). Tapi ya nggak bisa mengandalkan bantuan orang terus. Setelah saya kursus bahasa dan mengapat ijazah B1, Alhamdulillah masa-masa sulit berkomunikasi sudah bisa saya lewati. Meskipun grammatik saya masih kacau, yang penting saya bisa berkomunikasi dengan orang-orang. Sekarang ini komunikasi dengan dokter, guru-guru di sekolah dan di tempat umum lainnya selalu menggunakan Bahasa Jerman. Untuk komunikasi tulisan seperti membaca dan membuat surat, kadang-kadang saya masih harus buka kamus, buku dan internet.

Mencari Tempat Tinggal di Dresden

Penduduk di sini kebanyakan tinggal di Wohnung (apartemen). Tapi jangan ngebayangain apartemen seperti di Indonesia dengan fasilitas kolam renang, fitness, dll. Sama sekali tidak ada fasilitas itu. Biasanya hanya ada Hof (Pekarangan bersama) dan Spielplatz (Playground). Wohnung yang sering kita jumpai di sini kebanyakan berlantai 4 atau  5. Ada juga Wohnung yang lebih tinggi, tapi hanya sampai belasan lantai. Jarang sekali saya menemukan Wohnung yang sampai puluhan tingkat.

Jika dibandingkan dengan kota besar lainnya di Jerman, harga sewa rumah di Dresden relatif lebih murah. Wohnung yang kami tempati seluas 95 m², harganya (Warm Miete, sudah termasuk biaya tambahan energi) 900 €. Sebagai perbandingan, dengan luas dan fasilitas yang sama, harga sewa wohnung di München atau Hamburg bisa mencapai 1200 € – 1500€. Untuk mencari wohnung di Dresden, biasanya saya memakai website ini.

Wohnung 4-5 lantai

Sementara untuk student, biasanya tinggal di Studentenwohnheim. Untuk student yang sudah berkeluarga, ada juga studentenwohnheim khusus. Pastinya harga sewanya lebih miring daripada harga sewa wohnung biasa. Bagi para calon student yang akan pindah ke Dresden, biasanya mereka mencari wohnung melalui situs Studentenwerk Dresden.

Transportasi di Dresden

Hidup di Dresden tanpa mempunyai kendaraan pribadi sangat memungkinkan. Mempunyai SIM sangat susah dan mahal di sini. Jadi banyak sekali orang yang hanya mengandalkan transportasi umum saja. Seperti kota-kota lain di Eropa, transportasi umum di sini sangat nyaman. Transportasi dalam kota yang disediakan cukup dengan Strassenbahn dan Bus. Tidak ada U Bahn alias kereta bawah tanah di sini. Mungkin karena jumlah penduduknya yang tidak membludak. Ini sangat menguntungkan bagi saya yang kemana-mana selalu membawa stroller.

DVB (Dresdner Verkehrsbetriebe)

Keluarga kami mempunyai satu mobil. Alhamdulillah, suami bisa dengan mudah mendapat SIM di sini. Saya dan suami membeli mobil awalnya karena kantor suami yang lokasinya berada lumayan jauh dari rumah kami. Hanya ada satu bus dari Hauptbahnhof ke kantor suami dan jadwal keberangkatannya hanya satu kali satu jam. Mengingat pekerjaan suami yang terkadang sampai malam bahkan pagi, kamipun sepakat untuk membeli mobil. Ternyata setelah dijalani, punya mobil memang berasa keuntungannya, apalagi dengan dua anak…! Jika kami ingin pergi urlaub (berlibur), sangat terasa kemudahannya. Dengan mobil, kami bisa membawa banyak makanan dan banyak barang untuk keperluan berlibur. Dan kamipun lebih flexibel, tidak tergantung dengan jadwal kereta.

Tempat Rekreasi Di dresden untuk keluarga

Banyak sekali tempat rekreasi yang bisa dikunjungi di Dresden. Biasanya turis-turis di Dresden pasti selalu mampir ke Zwinger, Brühlsche Terrasse, Frauen Kirche, Semperoper, Fürstenzug, Gemälde Galerie, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Istana Zwinger adalah landmark terbaik Dresden yang sangat terkenal akan keindahannya mulai dari arsitektur hingga benda-benda seni lain yang ada di sana.

Semper Opera House “Semperoper” yang terletak di pusat kota Dresden

Di depan Semperoper bersama Meli (my twin sister)

Di depan Semperoper bersama Mella (my twin sister)

fürstenzug2

Fürstenzug is a large mural of a mounted procession of the rulers of Saxony. It was originally painted between 1871 and 1876 to celebrate the 800th anniversary of the Wettin Dynasty, Saxony’s ruling family.

fürstenzug1

The mural displays the ancestral portraits of the 35 margraves, electors, dukes and kings of the House of Wettin between 1127 and 1904. It is one of the largest porcelain artworks in the world.

Dresden paling cantik pada saat menjelang natal. Banyak sekali turis yang datang ke Dresden untuk mengunjungi Striezelmarkt (Weihnachtsmarkt di Dresden). Striezelmarkt merupakan Pasar Natal tertua di Eropa.

Pilihan tempat rekreasi untuk anak-anak dan keluarga pun cukup banyak di Dresden. Jika cuaca mendukung, kami sekeluarga sering jalan-jalan di pinggiran Elbe, di  Großer Garten (Big Park), Zoo Dresden atau bermain di Spielplatz (playground) yang tersebar di setiap sudut kota.

Di pinggiran Elbe

Di pinggiran Elbe

Brühlsche Terasse is a historic architectural ensemble in Dresden, Germany. Nicknamed “The Balcony of Europe”, the terrace stretches high above the shore of the river Elbe.

Adriaan dan flamingo di Zoodresden

Adriaan dan flamingo di Zoo Dresden

Tidak jarang juga kami sekeluarga mengunjungi tempat rekreasi anak yang berada di luar Dresden seperti Saurier Park, Playmobil Funpark di Nürnberg dan Legoland Deutschland di Günzburg.

Adriaan dan Papa di Playmobil Funpark Nürnberg

Adriaan dan Papa di Playmobil Funpark Nürnberg

Adriaan dan Papa di Saurierpark

Adriaan dan Papa di Saurierpark

Saurierpark Kleinwelka is a dinosaur park with life-size prehistoric creature models & adventure playground with nets & ropes.

Elbe di musim panas pasti selalu ramai. Ramai dengan orang2 berjemur, piknik dan bersepeda. Nggak ada pantai, sungaipun jadilah untuk berjemur. Biasanya setiap musim panas, selalu diadakan filmnächte am Elbufer, semacam pertunjukan film di ruang terbuka, di pinggiran Elbe pada malam hari.

Filmnächte am Elbufer: kalau di Indonesia mungkin seperti layar tancap 😉

Großer Garten juga nggak kalah menariknya. Saat cuaca bagus, Großer Garten pasti dipenuhi orang-orang bersepeda, main in line skate, piknik, bermain bersama anak-anak atau hanya sekedar jalan-jalan saja.

Adriaan dan Adam di Großer Garten

Großer garten saat musim gugur

Großer garten saat musim gugur

Di Großer Garten terdapat Parkeisenbahn. Semacam kereta buat anak-anak yang mengelilingi taman besar ini. Uniknya petugas penjaga di setiap stasiun Parkeisenbahn ini semuanya adalah anak-anak.

Jika cuaca tidak mendukung, biasanya kami sekeluarga mengunjugi museum. Museum yang cocok untuk anak-anak adalah Verkehrsmuseum dan Deutsches Hygiene Museum. Verkehrsmuseum adalah Museum Lalu Lintas. Museum ini berada tepat di depan Frauen Kirche. Di sini kita bisa melihat bermacam-macam kendaran mulai dari mobil, kereta api, kapal, pesawat dan sepeda beserta sejarahnya.

Di lantai paling atas museum tersedia lalu lintas mini berupa jalan mini beserta rambu-rambu lalu lintasnya. Di sini anak-anak bisa bermain Bobby Car dengan peraturan yang ada. Tujuannya agar anak-anak bisa bermain dan belajar tentang peraturan lalu lintas.

Tempat favorit keluarga lainnya di kala cuaca kurang baik adalah ke Bibliothek atau perpustakaan. Perpustakaan tersebar di setiap bagian kota. Jadi, kita nggak usah repot-repot harus pergi ke Städtische Bibliothek (Perpustakaan Kota).

Favorit kami sekeluarga memang ke Städtische Bibliothek, karena di sana koleksinya lebih lengkap dan setiap weekend biasanya diadakan story telling.

Wisata Alam di dresden

Dan karena letaknya yang berada di pinggiran sungai Elbe, maka tempat rekreasi alam pun cukup banyak di sekitar Dresden. Salah satunya adalah Bastei. Bastei terletak di Sächsischen Schweiz, di pinggiran Elbe. Tebing-tebing yang menjulang tinggi dan pepohonan di sekelilingnya serta pemandangan indah Elbe benar-benar akan membuat setiap orang terpesona.

Saxon Switzerland National Park – this impressing rock landscape (also called Elbsandsteingebirge) is only a few kilometers away from Dresden. Steep fissured sandstone rocks, canyon-like ravines, caves and rock needles constitute the probably most spectacular National Park of Germany.

Bastei adalah formasi batuan yang menjulang setinggi 194 meter di atas Sungai Elbe di Elbe Sandstone Mountains Jerman. Mencapai ketinggian 305 meter di atas permukaan laut, batu-batu bergerigi pada Bastei dibentuk oleh erosi air lebih dari satu juta tahun yang lalu. Formasi bebatuan ini terletak dekat Rathen, tidak jauh dari bagian tenggara kota Dresden dan merupakan atraksi utama dari Saxon Switzerland National Park. Bastei sangat indah dikunjungi – apalagi kalau perginya di saat musim gugur saat semua daun berwarna warni.

bastei 2

Tempat ini adalah surga bagi pemanjat tebing.

Bastei Bridge

Kesan tentang masyarakat Dresden

Kaku dan dingin. Orang Jerman terkenal kaku dan dingin. Hmmm…kalo menurut saya, orang Jerman itu tertutup kepada orang yang tidak atau belum dikenalnya. Jika kita sudah mengenal mereka, mereka akan terbuka sekali. Mungkin karena faktor sejarah, orang-orang Dresden (dulunya adalah Jerman Timur) relatif lebih tertutup dan kurang welcome dengan orang asing dibanding di Jerman Barat. Biasanya yang tertutup itu kebanyakan orang-orang tua yang pada zaman DDR dulu, mereka tidak bisa kemana-mana. Jadi kurang terbuka dengan orang-orang dari berbagai macam ras.  Di kala sekarang yang aksesnya sudah gampang, mereka sudah kehilangan energi untuk berjalan-jalan dan bertemu banyak orang di tempat lain. Tapi tidak semuanya juga lho. Banyak juga orang-orang tua di sini yang hangat dan ramah. Beberapa kali saya pernah disapa dan diajak ngobrol oleh orang-orang tua di sini.

Tepat waktu. Orang Jerman sangat tepat waktu. Saya harus banyak belajar tentang hal ini. Saya tipe orang yang nggak bisa ninggalin rumah jika urusan rumah dan anak2 blm beres. Walhasil sering terlambat jika janjian sama teman. Emak emak banget ya.  Jika punya janji, orang Jerman akan datang 5-10 menit sebelum waktunya. Apalagi jika kerja, mereka selalu mengusahakan tepat waktu. Karena orang bisa di PHK atau diberhentikan kerja karena alasan terlambat.

Sistematis dan birokrasi dengan banyak surat. Cara kerja orang jerman sangat sistematis. Sistem birokrasinyapun begitu. Meskipun saya tidak bekerja, tapi saya cukup kenal sifat ini dari kehidupan sehari-hari. Contohnya saja, surat pemberitahuan dari Krankenversicherung (asurasi) untuk mengingatkan para orang tua melakukan U1-U9 di dokter anak, surat pemberitahuan dari Stadt (City Hall) bahwa anak kita sudah wajib sekolah dan harus didaftarkan ke sekolah yang berada di dekat rumah dan masih banyak surat lainnya. Untuk ke dokterpun begitu. Jika kita harus ke augenartz (dokter mata), logopädie, HNO artz (dokter THT), sebelumnya harus ada surat rujukan dari dokter anak.

Terbuka, apa adanya, dan tidak basa basi. Maksud terbuka di sini, orang Jerman selalu mengatakan apa yang dia pikirkan. Misalnya jika dalam percakapan, jangan segan-segan bertanya atau jika menjawab hanya bilang “ok”, “ach so”, dll. Jangan malu-malu mengutarakan pendapat kita dan terus terang. Orang Jerman terbuka dan akan menghargai itu. Jika ditanya, jelaskanlah apa pendapat kita. Dijamin percakapan akan berjalan lancar.

Begitu juga dengan tingkah laku. Orang-orang disini akan memperlihatkan jika suka atau tidak suka pada sesuatu atau seseorang. Jika mereka tidak suka dengan orang asing, mereka akan sangat memperlihatkannya dari tatapan mata, ngomel atau bahkan marah. Begitupun jika mereka suka, mereka akan memperlihatkannya dengan senyuman dan membantu kita seperti membukakan pintu, membantu mengangkat babystroller jika naik dan turun dari tram, membantu membawa bawaan yg berat, dll.

13 Februari

13 Februari adalah hari yang sangat memorial bagi masyarakat Dresden. Pada tanggal 13 Februari 1945, sebagian kota Dresden hancur karena serangan bom dari pesawat udara Inggris pada saat perang dunia kedua. Sekitar 25.000 orang tewas dan ratusan ribu orang luka luka dan tidak mempunyai tempat tinggal.

Dresden, 1945, view from the city hall (Rathaus) over the destroyed city

Menschenkette. Menschen artinya Orang. Kette artinya rantai. Setiap tanggal 13 Februari, pemerintah Dresden mengundang masyarakat Dresden untuk berpartisipasi membentuk Menschenkette atau rantai orang bersama-sama.

Menschenkette adalah simbol untuk mengenang para korban yang meninggal dan Dresden pernah menjadi korban perang dunia kedua. Menschenkette juga menandakan tidak adanya tempat untuk Nazi, tidak adanya kekerasan, damai dan toleransi di Dresden.

Kondisi 70 tahun yang lalu: antara 13-15 Februari 1945, hanya beberapa bulan sebelum Perang Dunia II berakhir, Dresden diserang ‘firebombing’ oleh pasukan AS dan Inggris. Tampak di foto: Frauenkirche (Church of Our Lady) dan memorial Martin Luther Memorial yang luluh lantak (AFP)

Biasanya event Menschenkette ini diadakan di Neumarkt, tempat di mana Frauenkirche berada. Tahun 2015 ini ada sekitar 10.000 orang ikut berpartisipasi, cukup banyak ya..!

frauen kirche

Frauenkirche adalah gereja yang hancur pada peristiwa 13 Februari dan telah dibangun kembali.

Tetapi sayangnya, hari memorial ini malah dijadikan kesempatan bagi Neonazi untuk beraksi di Dresden. Para Neonazi yang berasal dari berbagai kota di Jerman berkumpul di Dresden dan melakukan aksi demo pada hari bersejarah ini.

Neo-Nazis marching in Dresden

Setiap tanggal 13 Februari banyak sekali Polizei yang berjaga jaga di sekitar Hauptbahnhof dan Zentrum Dresden. Hal ini disebabkan demo mereka yang terkadang brutal dan anarkis. Tidak jarang bahkan Helikopter mondar mandir berjaga dari atas.

Peristiwa Marwa el sherbini

Awal saya tinggal di sini, saya sempat heran karena seringnya mendapat tatapan aneh dari orang-orang di dalam Strassenbahn. Mungkin karena saya mengenakan hijab, jadi mereka bingung. Tidak jarang juga saya mendapat pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang di jalan tentang hijab ini. Dari anak kecil, sepantaran maupun orang tua. Rada sulit untuk menjelaskannya. Jadi seringnya saya jawab karena saya menyukainya sembari senyum dan langsung pergi.

Dan kebetulan, saat kami pindah ke Dresden, saat itu adalah sekitar satu tahun setelah peristiwa tewasnya Marwa El Sherbini yang membikin gempar para Muslim di Dresden. Buat yang belum pernah mendengar, Marwa El Sherbini adalah seorang wanita Mesir dan warga Jerman yang tewas pada 1 Juli 2009 saat sidang banding di pengadilan di Dresden. Dia ditikam oleh seorang imigran Jerman etnis dari Rusia, bernama Alex Wiens, dalam kasus pidana karena melanggar hukum verbal; Wiens mengucapkan kata “teroris!!” kepada Marwa di tempat umum karena ia menggunakan hijab. Saat sidang berlangsung, suami Marwa, El-Sherbini yang hadir di persidangan ingin membantu istrinya yang saat itu hendak diserang oleh Wiens – tapi kemudian keliru ditembak oleh polisi di ruang sidang (Alhamdulillah, suaminya selamat walau sempat dalam kondisi kritis).

Kejadian ini menuai aksi protes dari kaum Muslim di Jerman

Saat meninggal, Marwa sedang mengandung 3 bulan anak keduanya, dan ditikam dihadapan anaknya yang berusia 3 tahun. Semoga Marwa mendapat tempat yang mulia di sisiNya. Amin YRA.

Terkait kejadian Marwa tersebut, saya menjadi takut ketika awal pindah ke Dresden. Takut mendapat tatapan sinis, takut mendapat perlakuan yang berbeda oleh orang setempat dan petugas imigrasi setempat dan juga takut tidak bisa berkomunikasi dengan baik. But life must go on.

Masa masa awal di Dresden dan rasisme

Dan benar saja, ada kejadian yang kurang mengenakan saya alami. Kira-kira 6 bulan setelah kepindahan kami sekeluarga ke Dresden, saya sempat mengalami pengalaman tidak menyenangkan. Saya dimaki-maki orang yang tidak saya kenal di satu Haltestelle yang berada di Zentrum Dresden. Saat itu saya sedang menunggu tram/strassenbahn dengan Adriaan yang duduk di babystroller. Kemudian tiba-tiba ada seorang pemuda menghampiri saya sambil marah-marah dan teriak- teriak sembari menunjuk ke wajah saya yang bingung. Semua orang yang berada di sana melihat ke arah saya. Yang saya pikirkan waktu itu, ini orang siapa? Nggak kenal kok marah-marah? Maklum rada lemot juga waktu itu. Ooo…mungkin dia memang rasis. Setelah itu saya langsung pergi meninggalkan orang itu. Melihat saya pergi teriakannya tambah keras dan bahkan mencoba menendang saya dari belakang. Untung Tuhan masih sayang sama saya dan Adriaan. Strassenbahn yang kami tunggu datang dan sayapun langsung naik ke Strassenbahn dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Cerita punya cerita, ternyata memang di Dresden masih ada orang yang rasis, tidak suka dengan orang asing apalagi Muslim. Beberapa teman Indonesia pun pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan selama tinggal di Dresden.

Setelah 5 tahun saya tinggal di sini, baru saya mengerti kenapa sebagian orang Dresden tidak suka dengan orang asing apalagi Muslim. Ternyata pemicunya adalah kecemburuan sosial. Bukan hanya di Indonesia saja yang ada kecemburuan sosial, di sinipun ada. Jerman itu negara demokrasi dan liberal. Pemerintahnya menerima banyak asylum (pencari suaka) yang datang dari berbagai negara konflik di dunia. Asylum ini dianggap membebani pemerintah Dresden karena biaya hidup mereka di subsidi oleh pemerintah. Kebanyakan negara konflik memang negara-negara Islam seperti Irak, Syria, Afghanistan, dll. Tapi banyak juga asylum di Dresden yang berasal dari Rusia dan negara pecahan Rusia dulunya seperti Ukraina, Kazakhstan, Turkmenistan, dll.

Yang memicu kecemburuan sosial itu adalah biaya hidup mereka diambil dari pajak orang-orang yang bekerja. Setiap orang yang bekerja pasti akan dikenakan pajak. Salah satunya ditujukan untuk para asylum ini. Intinya seperti subsidi silang. Yang mampu membiayai yang kurang mampu agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang terlalu tinggi. Tetapi sayangnya hal ini malah membuat orang-orang Dresden yang bekerja menjadi kurang suka dan kurang respek dengan orang asing. Mereka pikir sudah capek capek bekerja, sebagian hasilnya malah dikasih ke para pengangguran alias asylum itu. Nah..masalahnya nggak semua orang asing itu asylum dan pengangguran. Orang asing yang bekerja, membayar pajak dan patuh hukum juga banyak. Orang-orang seperti saya dan keluarga juga bayar pajak, tapi toh tetap saja mendapat perlakuan rasis dan tidak menyenangkan di sini.

Pegida

Pegida adalah singkatan dari “Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abandlandes”. Pegida ini adalah organisasi yang sejak bulan Desember 2014 rutin setiap minggunya mengadakan demonstrasi di Dresden. Organisasi ini protes terhadap Islamisasi yang ada di Jerman. Selain itu isu yang mereka angkat juga mengenai asylum. Biasanya mereka mengadakan demo setiap senin malam. Pesertanya bukan hanya dari Dresden saja, tapi juga dari kota-kota lain di Jerman.

Sejak ada gerakan Pegida, saya dan teman-teman Muslim lainnya lebih berhati-hati dan waspada jika keluar rumah. Kami saling bertukar informasi via WA Pengajian. Para Muslim Indonesia disini berusaha menghindari tempat-tempat yang menjadi treffpunkt atau titik temu para Pegida di Senin malam. Jika tidak perlu, kami berusaha untuk stay di rumah pada hari Senin malam.

Saya secara pribadi memang pernah takut keluar rumah dengan hijab yang saya kenakan semenjak ada gerakan Pegida ini. Tapi Alhamdulillah, sekarang kondisinya lebih membaik. Menurut berita yang saya baca ternyata 79% masyarakat Dresden menyayangkan adanya demo Pegida ini. Dari segala aspek, hal ini memberi dampak negatif untuk Dresden, khususnya aspek Pariwisata. Dresden mendapat kesan kurang welcome dengan berbagai macam ras. Jumlah turis yang akan datang ke Dresden ditakutkan akan menurun jika demo Pegida ini terus berlangsung.

Sikap Pemerintah Dresden

Sikap Pemerintah Dresden patut diacungi jempol. Semakin gencar demo Pegida, semakin gencar pula Pemerintah Dresden menyuarakan bahwa Dresden itu terbuka untuk siapa saja.

Pada 10 Januari 2015 lalu sekitar 35.000 orang Jerman berunjuk rasa menentang rasisme dan xenofobia di Dresden. *Xenophobia: intense or irrational dislike or fear of people from other countries.

Adanya demo Anti Pegida diadakan juga oleh Pemerintah dan masyarakat Dresden. Tanggal 26 Januari 2015 diadakan event besar yang bertema “Offen und Bunt, Dresden für Alle“, yang artinya dalam Bahasa Inggris “Open and Colourful, Dresden for all“.

Ribuan masyarakat Dresden turun ke jalan dan menyuarakan bahwa Dresden terbuka untuk siapa saja. Dresden adalah kota dengan penuh toleransi. Event ini cukup besar dengan dihadiri ratusan seniman dan dimeriahkan oleh performance dari musisi musisi Jerman.

Suasana saat konser “Dresden for all!”

Begitulah sekilas pengalaman yang bisa saya ceritakan tentang tinggal di kota yang masih kental dengan isu rasisme dan utamanya bagi keluarga kami sebagai Muslim. Saya dan teman-teman Muslim lainnya benar-benar harus menjadi duta Muslim yang baik di kota ini. Karena semua kelakuan kita akan mencerminkan kelakuan seluruh umat Muslim. Orang-orang di sini hanya mengenal Islam lewat media saja yang notabene selalu memberi berita negatif.  Doakan agar kondisinya semakin hari semakin membaik dan aman ya…!

——

Foto-foto terlampir adalah milik Meli dan keluarga. Foto-foto dari sumber lainnya terhubung dengan link pada setiap gambar dan beberapa keterangan gambar didapat dari Wikipedia dan situs lainnya.