Merantau di Astana

Agita Rachmasari – Indonesian. Dentist. Haidi’s wife ~ Jenna’s mom. Amateur Photographe. Live in Astana, Kazakhstan. 

Hallo…! Nama saya Dian Agita Rachmasari, biasa dipanggil Agita. Saya lahir di Medan 30 tahun yang lalu. Sejak kecil menempuh pendidikan berpindah-pindah kota Indonesia karena mengikuti orang tua, dari Samarinda, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, terakhir berkuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta jurusan Kedokteran Gigi dan akhirnya menyandang gelar Dokter Gigi pada tahun 2013. Pada tahun yang sama saya juga dinikahi oleh sahabat saya, Haidi Nur Hashfi yang saat ini sedang bertugas sebagai Diplomat di KBRI  Astana, Kazakhstan. Saya dan suami dikaruniai seorang putri bernama Jennaira Khansa noura (3,5 tahun), yang lahir di Melbourne ketika suami melanjutkan study S2 di sana.”

Kehidupan di Kazakhstan
Kehidupan keluarga merantau

Pindah ke Astana, Kazakhstan

Pada mulanya kami menerima kabar mengenai kepindahan ke Astana sekitar 4 bulan sebelum keberangkatan. Ketika mendengar kabar dari suami bahwa dia akan ditugaskan di Astana selama kurang lebih 3 tahun dan meminta saya dan putri semata wayang kami yang saat itu baru saja berusia 1 tahun, dalam pikiran saya “Lah pergi lagi? Belum juga setahun pulang ke Indonesia.

 Duh Astana itu dimana ya? Negara apa ya?”

An aerial view of Astana, the capital of Kazakhstan

Antara dag dig dug, exited, sedih, penasaran rasanya saat itu karena ini pertama kalinya bagi saya mendampingi suami bertugas sebagai diplomat di luar negeri. Saya langsung cari informasi mengenai Astana, persiapan-persiapan untuk keberangkatan dan keperluan selama di sana, serta menyusun rencana keuangan keluarga kami. Untunglah waktu itu ada grup ibu-ibu baik hati, istri-istri teman seangkatan suami yang banyak memberi informasi mengenai persiapan untuk penempatan luar negeri ini.

Selama 4 bulan, kami menyiapkan segala rupa kebutuhan yang harus dibawa dari Indonesia seperti beberapa setelan jas dan teluk belanga untuk suami, kebaya dan pakaian-pakaian nusantara untuk saya dan si kecil, souvenir-souvenir khas Indonesia, serta kebutuhan bahan-bahan makanan yang tidak tersedia di Astana atau barang-barang yang menurut kami lebih terjangkau jika dibeli di Indonesia. Tidak begitu banyak yang kami urus selain itu karena Jenna masih belum sekolah dan saya juga sedang tidak bekerja.

Kami dijadwalkan berangkat pada tanggal 19 Agustus 2016 tengah malam dengan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi si kecil Jenna. Saat bangun pagi hari di tanggal tersebut, Jenna dalam keadaan demam dan batuk, mungkin karena lelah karena sebelum berangkat sering pergi bolak balik Jakarta-Serpong untuk suatu urusan dan ikut berpergian untuk persiapan keberangkatan lainnya. Siang hari kami sempatkan membawa Jenna ke dokter untuk dapat meminta perawatan untuk meredakan sakitnya. Dan malam hari kami bertiga berangkat menuju Astana.

Perjalanan kami kurang lebih selama 24 jam dengan penerbangan Jakarta-Seoul selama 7 jam, transit di Seoul 9 jam, dan penerbangan Seoul-Astana selama 8 jam. Selama perjalanan alhamdulillah Jenna tidak rewel sama sekali, tetap ceria walau sedang batuk. Hanya masalah makan saja yang agak susah, karena kondisi tenggorokan yang kurang nyaman sepertinya. Dan pada tanggal 20 tengah malam kami tiba di Astana yang sudah mulai sejuk.

Proses Adaptasi Anak dan Keluarga di Astana

Usia Jenna ketika pindah ke Astana masih terbilang cukup kecil, yaitu 1 tahun 5 bulan. Jenna cukup cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan di Astana. Bahkan ketika baru tiba Jenna sudah sangat senang di tempat tinggal barunya. Dan yang paling membuat ibunya gembira, Jenna justru jadi gampang sekali makan setelah pindah ke Astana (setelah sebelumnya drama GTM yang nggak berkesudahan 

Lalu, meskipun udara di Astana sudah mulai sejuk menuju dingin, tetapi Jenna terlihat menikmati karena memang anaknya kurang suka cuaca yang panas. Mungkin juga Jenna tipe anak yang suka dengan hal-hal baru dan sudah saya ajak berpindah-pindah tempat sejak bayi, jadi dia tidak merasa canggung dan cepat beradaptasi ketika baru pindah. Selain itu ada situasi penting yang tidak berubah bagi Jenna, yaitu tetap bersama Ibu dan bapaknya seperti situasi sebelum-sebelumnya.

Perbedaan dengan Kehidupan di Indonesia

Banyak sekali perbedaan yang dirasakan dengan di Indonesia ya. Pertama dari segi cuaca, karena Astana termasuk negara 4 musim yang ketika musim dingin sangat-sangat ekstrim. Suhunya bisa mencapai -40°C dan biasanya musim dingin berlangsung sekitar 7 bulan. Karena itulah Astana mendapat sebutan “The Second Coldest Capital City in The World”.

The Second Coldest Capital City in The World

Kemudian cita rasa makanan di Astana juga berbeda dengan di Indonesia. Kebanyakan makanan disini bercita rasa asin atau sedikit hambar dan tidak begitu variatif seperti di Indonesia dan roti adalah makanan pokok warga setempat.

Contoh makanan tradisional “Beshmarak” yang merupakan makanan nasional Kazakhstan dan terdiri dari daging kuda atau domba rebus yang disajikan dengan potongan bawang bombay dan mie.  

Bumbu-bumi khas Indonesia pun tidak dapat ditemukan di Astana, seperti kecap manis, lengkuas, kemiri, pala, daun jeruk, tempe, daun pandan, dan lain sebagainya. Untungnya bahan makanan seperti tahu, kecambah, kacang kedelai masih bisa didapatkan di Toko Korea.

Kemudian bahasa, jelas beda ya. Tapi lebih menantangnya di Astana jarang orang yang bisa berbahasa Inggris. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Russia, tetapi bahasa resminya adalah bahasa Kazakh. Pusing juga awalnya karena saya belum bisa bahasa Russia dan membaca huruf Cyrillic. Akhirnya dengan berbekal bahasa tubuh dan google translate lah komunikasi saya. 

Kegiatan Sehari-hari Sebagai Seorang “Mamarantau”

Kegiatan sehari2 saya disini sebagian besar masih bergulat dengan pekerjaan ibu rumah tangga dengan 1 anak batita pada umumnya.

Saya mulai menyukai masak memasak ketika mulai tinggal di luar negeri, mencoba resep-resep makanan khas Indonesia ataupun resep lainnya. Karena ketika ingin makan makanan Indonesia mau tidak mau saya harus membuat sendiri dam ternyata itu menyenangkan buat saya.

Kegiatan di luar rumah, sesekali pertemuan dengan ibu-ibu Dharma Wanita di kantor suami, mendukung kegiatan di kantor suami misalnya menyediakan makanan khas Indonesia untuk acara-acara bazaar, serta acara spesial seperti menyambut tamu-tamu penting dari Indonesia yg berkunjung ke Astana atau menghadiri acara di kedutaan lain.

Beberapa bulan yang lalu kantor suami juga membuka kelas seni dan bahasa Indonesia-Russia untuk warga lokal serta WNI yang berada di Astana. Saya pun mengikuti kedua kelas tersebut karena saya memang pada dasarnya suka dengan seni, dan belajar bahasa Russia untuk lebih memudahkan dalam interaksi sehari-hari.

Pertama kali saya belajar tari di sini adalah Tari Piring yang berasal dari Sumatera Barat dan Tari Enggang yang berasal dari Kalimantan. Selain itu saya berlatih bermain angklung. Lagu pertama saya adalah Es Lilin dari Jawa Barat. Selama latihan ataupun berkegiatan, Jenna selalu saya bawa karena saya tidak membawa ART di Astana. Alhamdulillah Jenna bisa mengikuti dengan baik, dengan dukungan dan pengertian dari teman2 juga tentunya. Bahkan Jenna sangat senang jika ikut latihan menari, dia bisa ikut berjingkrak jingkrak olah tubuh. Atau ketika ikut kelas bahasa Indonesia-Russia, Jenna secara tidak langsung ikut mendengarkan dan belajar juga.

Kegiatan yang berkesan sejauh ini adalah latihan menari dan bermain angklung. Karena entah mengapa rasanya membuat saya semakin bangga dan cinta dengan budaya Indonesia, bisa belajar sejarah dan maksud dari tarian maupun lagu-lagu daerah Indonesia, serta memang merupakan hobby saya menari dan hal-hal berbau musik yang sudah lama sekali tidak dilakukan.

Di samping itu, pada acara Resepsi Diplomatik RI ke-72 di Asrana ini, saya bisa berkesempatan tampil pertama kali membawakan Tari Piring dan bermain angklung membawakan lagu Yamko Rambe Yamko, Closer, dan Kamazay (lagu populer Kazakhstan) bersama teman2 baik dari Indonesia maupun warga Astana.

Suka Duka Kehidupan di Astana

Sejauh ini fasilitas kesehatan yang saya rasakan kurang sreg di sini. Pengalaman pertama saya di sini ketika Jenna demam tinggi hingga 39°C ketika beberapa bulan kami baru tiba. Dokter di sini jarang sekali yang bisa berbahasa Inggris, sehingga kami harus dibantu oleh staf orang lokal untuk menerjemahkan ke bahasa Russia. Bagaimanapun rasanya kurang puas jika berkonsultasi tidak secara langsung (harus lewat perantara), kadang saya mendapatkan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan saya karena salah tangkap oleh penerjemah.

Lalu ketika Jenna harus tes darah, mereka menggunakan jarum untuk dewasa untuk tangan semungil anak usia 1,5 tahun ☹. Padahal waktu itu saya periksa di rumah sakit ibu dan anak, tetapi mereka tidak punya jarum untuk anak. Lalu obat-obatan yang diberikan untuk Jenna yaitu berupa tablet semua, dan saya harus menggerus sendiri di rumah karena Jenna yang ketika itu masih berusia 1,5 tahun masih belum bisa minum obat dalan bentuk tablet. Lalu Jenna diminta untuk kontrol lagi setelah 1 bulan dan masih mendapatkan obat-obatanan yang saya juga kurang paham obat apa karena tidak mendapatkan penjelasan dengan baik, padahal kondisinya waktu itu sudah sehat.

Kalau dari cerita teman yang sudah hampir 3 tahun tinggal di Astana, hal itu sudah lebih baik dari pengalaman dia sebelumnya. Karena sebelum-sebelumnya, pasien biasanya akan diberi resep obat injeksi beserta alat suntiknya. Kemudian, anggota keluarga pasien akan diajarkan cara menyuntik obat oleh dokter agar bisa memberikan obat suntik kepada pasien di rumah. Tak heran masyarakat biasa di sini mahir dalam menyuntik. Aneh sih menurut saya sebagai praktisi kesehatan juga, tapi ya mau bagaimana lagi. Sejak pengalaman itu saya sangat memperhatikan kesehatan keluarga di sini.

Selain itu karena Astana termasuk kota yang kecil dan tidak begitu banyak tempat wisata, kota terdekat berjarak lumayan jauh, serta musim dingin yang berlangsung lama membuat saya sering dilanda rasa bosan. Hiburan paling sering yaitu jalan2 ke mall, tetapi kalau mengingat ada negara yang lebih kecil lagi saya harus sudah lebih bersyukur ya.

Harapan Sebagai Keluarga Diplomat

Sepertinya masalah utama yang sering dihadapi adalah mengenai pendidikan anak terutama untuk jenjang sekolah dasar dan selanjutnya, karena tidak semua negara memiliki sekolah indonesia. Meskipun Jenna belum memasuki usia sekolah, tapi ada rasa khawatir bagi saya bagaimana pemilihan pendidikan Jenna nantinya. Mengingat perbedaan kurikulum di Indonesia dengan di luar negeri, dan jika masuk ke sekolah internasional di Indonesia sangat mahal biayanya. Harapan saya ada perhatian dari instansi yang terkait mengenai masalah ini, seperti misalnya ada sekolah untuk anak2 dari para diplomat ketika berada di Indonesia atau mungkin dengan solusi lainnya.

Ketika keadaan tidak mendukung atau tidak sesuai dengan harapan kita, beranilah berbuat sesuatu atau mencoba hal yang baru meskipun kita tidak pernah tau hasilnya seperti apa. Karena bisa jadi kita temukan kesenangan dan manfaat di dalamnya. Dan yang paling penting adalah selalu bersyukur dan percaya bahwa Allah selalu bersama kita dimanapun dan bagaimanapun kita berada.

—- 

Interview oleh tim phdmamaindonesia.com kepada Gita.

Advertisement

Pembagian District di Singapura dan Info Mencari Sekolah Anak

858533_10151441582214637_205627387_oAnya Windira –  A mother of two, used to work in an office with shared cubicles before decided to pack her stuffs and flew to Singapore. Likes good friends, good food, and clean houses. Sometimes she tells people that she loves traveling around the world while in fact a trip to wet market is enough to make her happy.

Pembagian District. Biarpun negaranya cuma seuprit (luas Singapura kira-kira sama dengan Jakarta), tapi orang sini tetap suka main cela-celaan distrik lho. Garis besarnya, area di SG itu terbagi 4: North, West, East, dan Central. Dan masalah cela-mencela yang paling heboh adalah East vs West.

Pembagian wilayah Singapura

1. East Region. Stereotypingnya begini, daerah East ini adalah daerah yang paling dekat dengan Changi Airport, jadi daerahnya lebih hidup karena banyak business dan industrial center. Termasuk juga daerah Tampines, Bedok, Kallang, dll. Pada awal berdirinya, konon di East inilah orang-orang Inggris di Singapura membangun beach houses, sehingga rata-rata area di East berkesan lebih ekslusif dibanding di West. Kelemahannya, East ini aslinya banyak rawa, jadi udaranya cenderung gersang dan panas. Dan biarpun bekas rawa, di East tetap banyak area hijau. Selain itu, di East tempat makan enak dan halal lebih beragam dan lebih mudah ditemui dibandingkan dengan area lain di Singapura.

Tempat-tempat di East yang menarik untuk dikunjungi: Outdoor: Pasir Ris Park, Bedok Reservoir Park, East Coast Park. Beberapa tempat menyediakan penyewaan sepeda, space untuk barbeque, camping area, dan watersports.

Bedok Reservoir Park

Cafe-cafe dan toko-toko kecil di East Coast dan Katong Geylang Serai wet market: pasar basah dengan bahan makanan Malay (dan Indonesia) terlengkap. Pada bulan Ramadhan pasar Geylang Serai buka sejak sore hingga malam hari dan ramai dengan pasar Ramadhan.

Katong District: Singapore Peranakan Neighborhood

08 EC Shophouses

Jejeran rumah bergaya kolonial di daerah East Coast yang dipertahankan dan dipakai sebagai shophouses (ruko)

Suasana Geylang Serai saat bulan Ramadhan – ramai menjajakan aneka makanan Malay dan Indonesia

2. West Region. Daerah West ini dulunya hutan dan peternakan, jadi sampai sekarang relatif lebih rimbun dan masih banyak hutan hujan yang terpelihara, seperti Bukit Timah Nature Reserve dan Bukit Batok Nature Park. Tapi, area West yang paling ujung dekat dengan jembatan menuju Johor Bahru (daerah Tuas), yang mana di sana adalah lokasi heavy industrial area sehingga daerah itu lebih berpolusi.

Little Guilin, Bukit Gombah yang masih satu area dengan Bukit Batok

Daerah West juga sering dianggap lebih kumuh karena banyak non Singaporean dan blue-collar worker yang tinggal di sini. Selain itu mungkin karena jauh dari main business center, perkembangan area ini relatif lebih lambat dibandingkan East. Baru setelah tahun 2010 di area ini mulai banyak mall dan perkantoran.

Tempat-tempat menarik di daerah West: Outdoor: West Coast Park, Bukit Timah Nature Reserve, Chinese Garden/Jurong Lake, bersepeda menyusuri Park Connectors Singapore Science Center Nanyang Technical University dan National University of Singapore (main campus).

09 Ulupandan

Ulu Pandan Connector Bridge adalah salah satu spot foto favorit untuk jogger atau fun cyclist

10 Chinese Garden

Chinese Garden dan Jurong Lake

11 Kidstop

Kidstop, salah satu atraksi di Singapore Science Center, dimana anak-anak bisa mencoba berbagai pengalaman di dunia ‘orang dewasa’, seperti belanja di supermarket, melakukan ekskavasi fosil dinosaurus, menjadi cameraman untuk acara TV, dan banyak lagi

“Perseteruan” East vs West ini biarpun banyak jadi bahan candaan, kadang dianggap serius lho oleh orang Singapura, terutama bila dihubung-hubungkan dengan politik. Kalau saya dan teman-teman sih paling becandaannya seputar perlu atau enggaknya bawa paspor dan sikat gigi kalau main-main ke daerah West 🙂

 3. Central Region: adalah area yang paling keren. Harga properti di sini jauh lebih mahal dibanding area lain sehingga daerah ini dianggap sebagai daerah orang kaya-nya Singapura. Tempat-tempat seperti Orchard Road, Bugis, dan Marina Bay Sands, semua berlokasi di Central Singapore. Jadi biasanya, orang yang tinggal di Central jadi bahan disirikin sama yang lain. Paling gaya soalnya 🙂

Suasana Orchard Road saat menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru

Tempat menarik di Central Area: selain tempat-tempat yang umumnya ada di panduan wisata ke Singapura, ada juga Bishan park, taman kota yang dibuat bergaya ‘kampung’, atau hiking di MacRitchie Reservoir.

Bishan Park

March 25 2015: A poster of elder statesman Lee Kuan Yew is surrounded by messages of support and flowers outside the Singapore General Hospital.

4. North Region terbagi menjadi dua: Northwest (Woodlands, Kranji, dll) adalah daerah yang terjauh dari Changi Airport dengan jalur kereta yang paling tidak reliable :), tapi harga sewa rumah biasanya lebih murah, dan biasanya apartemennya pun lebih luas. Sedang daerah Northeast (Sengkang, Punggol), karena termasuk daerah termuda, kelebihannya adalah umur apartemen yang masih baru dan demografis penghuni yang umumnya pasangan muda.

Tempat menarik di Northwest: Selain Singapore Zoo, banyak area urban farming yang terbuka untuk umum, misalnya Bollywood Farm di area Kranji, atau Urban Barn and Farm di daerah Bukit Panjang. Ada juga Sembawang Park dimana masih terdapat pantai yang natural (karena hampir semua pantai Singapura adalah hasil reklamasi).

Singapore Zoo

Salah satu plang di Bollywood Farm

Sembawang Park Playground

Faktor-faktor yang harus dipikirkan oleh calon mamarantau dalam memilih district untuk apartemen di Singapura:

Biasanya yang pertama dilihat adalah jarak dari rumah ke kantor. Karena biarpun negara ini kecil, tapi kalau punya rumah di West dan kantornya di East lumayan juga lho, bisa menghabiskan 1.5 jam untuk berangkat ke kantor.

Kemudian, untuk yang punya anak usia SD, sebaiknya mengecek SD yang ada di sekitar rumah, apakah semua SD unggulan, atau ada SD papan tengah. Alasannya kenapa? Karena sistem penerimaan SD (primary school) di Singapura ini SANGAT kompetitif. Level kompetisinya mungkin sama dengan jaman saya mengikuti UMPTN.

Sistem penerimaan SD di sini terbagi dalam beberapa fase:

  • Fase 1: Pendaftaran dibuka untuk anak yang saudara kandungnya sedang bersekolah di primary school tersebut.
  • Fase 2A: Pendaftaran dibuka untuk anak yang orangtua atau saudara kandungnya adalah alumni SD tersebut, atau yang orangtuanya adalah staf di sekolah tersebut.
  • Fase 2B: Pendaftaran untuk Singaporean Citizen yang orangtuanya adalah volunteer di SD tersebut.
  • Fase 2C: Pendaftaran untuk Singaporean Citizen atau PR yang belum masuk di fase 2B. Sekolah akan mendahulukan Citizen dalam penerimaan.
  • Fase 3: Pendaftaran untuk foreigner dan pendaftar yang tidak mendapat kursi di fase 2C.

SD unggulan di Singapura umumnya sudah penuh oleh Singaporean citizen di fase 2B. Sehingga anak-anak PR dan foreigner biasanya memilih untuk mendaftar di SD non unggulan yang jaraknya dekat rumah. Yang repot kalau SD di sekeliling rumah adalah unggulan semua. Biasanya Ministry of Education (MOE) akan meng-assign anak tersebut di SD yang masih punya kursi kosong, yang tak jarang lokasinya jauh dari rumah si anak. Sehingga banyak foreigner yang terpaksa pindah rumah demi bisa tinggal dekat sekolah.

Sementara untuk masuk ke level SMP (Secondary school), sudah ditentukan berdasarkan nilai ujian akhir, disini disebut PSLE (Primary School Leaving Examination). Jadi jarak tidak terlalu berpengaruh. Urusan kedekatan dengan amenities (supermarket, fasilitas kesehatan, public transport, wet market), biasanya tidak jadi masalah, karena umumnya di setiap daerah perumahan terdapat fasilitas yang lengkap.

Komunitas Orang Indonesia di Singapura. Ibu-ibu rumah tangga di sini umumnya mengikuti kelompok keagamaan. Untuk yang beragama Nasrani, biasanya ada perkumpulan keluarga dari majelis persekutuan gereja masing-masing. Majelis ini cukup aktif mengadakan family gathering. Bisa juga mendapat teman yang anak-anaknya ikut sekolah Minggu yang sama.

Untuk yang Muslim, di sini ada pengajian Muslimah yang dibuat per distrik dan diatur oleh IMAS (Ikatan Muslim Singapura). Membuat kelompok pengajian di Singapura tidak bisa sembarangan, harus terkoordinir. Begitupun untuk menjadi guru mengaji, seseorang harus mendapat ijazah melalui ujian yang diadakan oleh Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). IMAS juga mengadakan kajian rutin di Mesjid Istiqamah KBRI Singapura yang mengundang pembicara dari Indonesia. Acara ini dikenal sebagai Saung Istiqamah dan sering jadi ajang silaturahim keluarga Muslim di Singapura. Selain itu, setiap bulan Ramadhan ada buka puasa bersama umat Muslim Indonesia di Singapura. Serunya, hidangan berbuka disuplai oleh semua kelompok pengajian ibu-ibu Indonesia se-Singapura.

Kelompok tahsin

Kelompok tahsin tempat saya bergabung ikut berpartisipasi menyiapkan makanan untuk Iftar IMAS tahun 2014 lalu.

Ada juga perkumpulan orang-orang dari latar belakang etnis yang sama, misalnya Paguyuban Pasundan Singapura dan KUA (Keluarga Urang Awak). Dari Paguyuban Pasundan terbentuk Indonesia Angklung Ensemble, yang cukup sering tampil di acara-acara lokal Singapura seperti Soundwaves 2012 Asia Major, Singapore Heritage Festival, dan banyak event lainnya.

13 Angklung

Indonesia Angklung Ensemble tampil di Botanic Gardens dalam salah satu rangkaian acara SG50 Celebration (50 tahun kemerdekaan Singapura)

Pementasan di Esplanade Open Theater 2011 oleh Indonesia Angklung Ensemble

Selain itu ada juga komunitas informal seperti komunitas futsal, bulutangkis, lari, dan tim basket amatir. Saya sendiri bergabung dalam kelompok pengajian dan mamarunners. Karena sama-sama berada di rantau, yang awalnya hanya untuk mencari teman yang punya minat yang sama, ternyata lama-lama jadi seperti saudara. Selain punya banyak teman, banyak informasi yang saya dapat dari teman komunitas. Contohnya info katering (dari mulai pempek sampai tumpeng) dan rekomendasi pembantu jam-jaman. Lalu ada info tukang pijat, tukang urut keseleo, sampai tukang cat murah meriah dan jasa penukaran uang. Yang paling dicari tentunya info preorder barang-barang dari Indonesia. Jadi biarpun tidak tinggal di Indonesia, kami semua cukup up-to-date dengan apa-apa yang sedang hits di Indonesia, mulai dari cireng bumbu rujak sampai jilbab Hana! (yang nggak kenal jilbab Hana silakan google yaa).

—–

Anya: Instagram @lengkengaddicts. Semua foto terlampir adalah milik Anya dan beberapa foto penunjang terhubung langsung dengan link foto asli.

Membesarkan Anak Bilingual

seerika_16Rika Melissa – Indonesian woman, currently live in Kerava, Finland with two bilingual sons, a Finns husband, and trying (hard) to learn Suomi language. Always left her heart in Jakarta.

Tentang Rika dan keluarga. Nama saya Rika Melissa, perempuan asli Indonesia yang saat ini sedang tinggal di Finlandia, tepatnya di kota Kerava. Hingga saat ini saya sudah merantau selama 12 tahun, dimulai dengan status pelajar program master di Jerman, kemudian kerja di Singapura, lalu setelah menikah, lanjut ikut suami yang jadi pelajar di Belanda dan saat ini menetap di Finlandia. Tapi kalau hati sih jangan ditanya, menclok di Jakarta terus.

Kami tinggal di Kerava yang dapat ditempuh dalam waktu 25 menit dengan kereta dari Helsinki

Jika ditanya soal hobi biasanya saya bilang hobi saya menari dan nonton film, tapi yang sebenarnya sering saya lakukan adalah makan dan tidur (hehe).

Suka jalan-jalan juga, ini saat di Old Town, Tallinn, Ibu kotanya Estonia yang bisa ditempuh dengan kapal ferry dari Helsinki.

Saat di Old Town, Tallinn, Ibu kota Estonia yang sangat cantik dan salah satu tempat wisata favorite orang Finlandia -bisa ditempuh dalam waktu 2 jam dengan kapal dari Helsinki.

Suami saya, Mikko, adalah warga negara Finlandia yang selalu punya mimpi untuk bisa hidup dan menetap di Indonesia. Kami bertemu di Istanbul waktu  sama-sama sedang liburan di kota cantik tersebut. Lima tahun setelah pertemuan tersebut, kami menikah dan saya diboyong ke Leiden, Belanda untuk menemani Mikko  yang saat itu sedang melanjutkan pendidikan di Leiden University. Sebenarnya tinggal dan menetap di Finlandia bukan bagian dari rencana kami waktu menikah dulu. Kami jatuh cinta pada Leiden, pada Belanda yang cantik, ramah dan penuh kehidupan. Rencananya kami ingin mencari kerja di Belanda jika Mikko telah merampungkan kuliahnya. Atau, kembali ke Indonesia, mencari kerja atau memulai bisnis kecil-kecilan di sana sambil berpetualang keliling pulau-pulau cantik di Indonesia.

Bersama Mikko

Bersama Mikko

Tanpa direncanakan saya hamil tiga bulan setelah menikah. Panik! Keuangan kami pas-pasan sekali waktu itu. Hidup dari uang beasiswa Erasmus-nya suami yang gak akan cukup untuk menanggung satu nyawa lagi. Rencana untuk tinggal di Belanda pun dibatalkan. Bagaimana bisa cari kerja kalau saya hamil begini? Pulang ke Indonesia juga tidak mungkin karena berarti butuh dana yang besar untuk biaya lahiran di RS. Akhirnya kami mengepak koper dan pindah ke Finlandia dengan pertimbangan Mikko akan lebih mudah cari kerja di negaranya sendiri, ditambah dengan berbagai benefit yang bisa kami dapat jika menjadi penduduk Finlandia.

Suomenlinna, pulau kecil nan cantik yang masih merupakan bagian dari kota Helsinki

Suomenlinna, pulau kecil nan cantik yang masih merupakan bagian dari kota Helsinki

Untuk sementara saja, pikir saya waktu itu. Tapi kenyataannya sudah 5 tahun lebih kami di Finlandia dan sudah dikaruniai dua anak laki-laki, Kai (5 tahun) dan Sami (3tahun).

Menurut Mikko, yang lahir dan besar di Finlandia, negaranya itu, sepi, dingin, gelap dan membosankan. Apa yang dibilang Mikko memang benar adanya, tapi kok, biarpun begitu, tinggal di Finlandia ini bikin betah? Dibalik negatif-negatifnya (yaa dinginnya yang seperti di kulkas), Finlandia juga merupakan negara yang aman dan nyaman, yang social security sistemnya sungguh jawara hiji seng ada lawan, pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak gratis dan terjamin kualitasnya, udaranya masih sangat segar bebas polusi, banyak ruang terbuka tempat anak bebas berlari, dan Finlandia yang tertutup salju ternyata cantik sekali. Seperti di negeri dongeng. Harapan untuk kembali ke Indonesia masih disimpan dalam hati. Tapi saat ini kami sekeluarga berbahagia di kota kecil bernama Kerava.

Kerava winter wonderland

Kerava winter wonderland

Kerava di musim gugur

Kerava saat autumn

Pusat kota Kerava

Pusat kota Kerava

Berkomunikasi dengan Anak Bilingual. Sebagai pelaku kawin campur, saya dan Mikko pastinya berdiskusi bagaimana kami akan membesarkan anak-anak, salah satu yang penting untuk dibahas tentunya: bagaimana kami berkomunikasi dengan anak? Ternyata kami berdua sama-sama langsung sepakat bahwa kami akan menggunakan bahasa kami masing-masing ketika berbicara dengan anak kami. Alasannya gampang saja: it feels more natural, kami ingin berbicara dengan anak dalam bahasa yang paling kami kuasai. Karena itulah kami menerapkan OPOL (One Parent One Language) dalam berkomunikasi dengan anak

Sami Kai

Kai dan Sami di Kampung Sampireun, Garut

Di luar itu juga ada alasan penting lainnya kenapa kami memutuskan untuk ber-OPOL, kami ingin anak kami punya hubungan yang erat dengan kakek-nenek dari kedua belah pihak. Saya ingin Kai dan Sami bisa bicara bebas lepas dengan ayah dan ibu saya di Indonesia. Mikko tentunya juga ingin anak-anak bisa lancar berkomunikasi dengan ibu mertua saya di Finlandia.

Kai dan Ompungnya, tidak pernah ada kesulitan komunikasi di antara mereka. Bersyukur sekali anak-anak bisa bahasa Indonesia

Kai dan Ompungnya, tidak pernah ada kesulitan komunikasi di antara mereka. Bersyukur sekali anak-anak bisa lancar berbahasa Indonesia.

Sejak anak-anak baru lahir kami konsisten ber-OPOL. Saya berbicara hanya dalam bahasa Indonesia ke anak-anak dan Mikko hanya berbahasa Finlandia. Antara saya dan Mikko sendiri sebenarnya lebih banyak menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi.

Banyak yang bertanya kenapa anak-anak tidak diajarkan bahasa Inggris saja? Kan akan lebih berguna? Kalau menurut saya sih, bahasa ibu jauh lebih berguna dari bahasa apapun juga. Bayangkan kalau anak-anak saya tidak bisa berbahasa Indonesia (atau Finlandia). Artinya sejak usia dini mereka sudah terputus komunikasinya dari keluarga dan saudara-saudaranya sendiri di tanah air karena tidak menguasai bahasanya. Tidak semua orang berbahasa Inggris, kan, di Indonesia (dan juga Finlandia!).

Bersama Oma saat dikunjungi

Bersama Oma saat dikunjungi

Lagipula, baik bahasa Indonesia dan Finlandia bukan termasuk bahasa populer di dunia ini dan sulit ditemui di luar lingkup daerahnya. Jadi, kalau bukan dari saya dan suami, dari mana lagi anak kami bisa belajar bahasa Indonesia dan Finlandia? Bahasa Inggris sudah sangat mendunia, bisa dipelajari di mana saja, anak-anak pun nantinya akan belajar di sekolah.

Apakah ber-OPOL itu sulit? Iya dan tidak. Pada hakikatnya metode OPOL cuma meminta kita untuk berbicara dengan bahasa ibu kita sendiri, bahasa yang paling kita kuasai. Apa susahnya sih? Yang agak sulit itu adalah untuk terus konsisten menggunakan satu bahasa tanpa tercampur-campur, termasuk juga membenarkan kesalahan anak ketika mereka mencampurkan dua bahasa atau lebih. Kai dan Sami biasanya suka mencampur bahasa Indonesia dan Finlandia ketika mereka baru mulai belajar bicara. Seperti misalnya “Ei bobo” yang maksudnya “Gak mau bobo” atau “Mau maito” yang berarti “Mau susu” dan lain-lain. Di saat seperti ini saya harus berkali-kali membenarkan omongan mereka. “Gak mau bobo, Kai”  atau “Mau susu, Sami”. Saya ulang-ulang terus sampai akhirnya anak-anak bisa mengucapkannya dengan benar.

One Parent, One Language

Kalau baca ini sih kesannya gampang, tapi anak-anak kan berbicara setiap menit yang berarti setiap menit pula kita harus membenarkan kesalahan mereka, berulang-ulang sampai mereka ingat. Lumayan bikin capek ya ini. Di usia 5 dan 3 tahun, saat ini Kai dan Sami termasuk lancar di kedua bahasa, Indonesia dan Finlandia. Tetap ada sekali-sekali pencampuran bahasa, terutama untuk kata-kata baru, jadi saya pun masih rajin membenarkan omongan mereka.

Dalam ber-OPOL ada beberapa prinsip yang selalu saya ingat:

  1. Tidak mencampur-campur bahasa. Misalnya: “Kai mau makan pisang?” dan bukannya “Kai mau makan banani?” Menyelipkan kata-kata asing akan menyulitkan anak untuk mendiferensiasikan bahasa. Mana yang Indonesia mana yang Finlandia.
  2. Berbicara dengan baik, benar, jelas dan lengkap. Biasakanlah berbicara dengan kalimat yang lengkap. Mengajarkan bahasa Indonesia bukan sekedar menerima anak bisa ngomong “pisang”, “kereta”, “rumah”. Tapi juga memberi contoh penggunaan kata dalam kalimat. “Saya mau pisang”, “Lihat, ada kereta lewat”. Sama prinsipnya untuk bahasa lain. Anak bisa menyebut kata “orange”, “yellow”, “car” bukan lantas berarti si anak bisa berbahasa Inggris. Dia cuma tau beberapa kata dalam bahasa Inggris. Anak yang berucap “Saya mau orange” tidak bisa dikatakan bisa berbahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris dengan benar.
  3. Mendorong penggunaan bahasa yang benar, dan tidak mendorong penggunaan yang salah. Misalnya, saat Kai bilang “Kai mau pisang”, saya beri dia pujian, saya ambilkan pisangnya. Tapi ketika Kai bilang “Kai mau banani” atau “Haluan banania”, saya tidak akan memberi pisangnya sampai Kai mengucapkannya dengan bahasa Indoensia yang benar.
  4. Rajin mengulang-ngulang. Terutama ketika anak membuat kesalahan, harus sabar untuk memberi penjelasan berulang-ulang sampe anaknya mengerti. Termasuk juga meminta anak untuk mengulangi kalimatnya supaya benar.
  5. Kembali lagi ke kon-sis-ten-si. Harus selalu-kudu-musti  konsisten. Saya terus menggunakan bahasa Indonesia, Mikko bahasa Finlandia. Jangan hari ini  ngomong  Indonesia tapi besok pakai Inggris atau Finlandia. Yang seperti ini  bisa bikin anak bingung dan memperlambat proses belajarnya.
  6. Nyaman dan PD dengan bahasa yang digunakan. Alasan utama kenapa saya berbicara bahasa Indonesia ke Kai. Karena cuma dalam bahasa inilah saya paling bebas berekspresi. Dalam proses pengajaran bahasa, komunikasi yang lancar itu penting untuk mendapatkan hasil yang optimal.
  7. Penggunaan berbagai macam media pendukung bahasa seperti buku, musik, video. Ini bisa jadi tantangan besar buat bahasa minoritas, bahasa-bahasa yang kurang populer di dunia. Misalnya saja, sulit sekali menemukan materi dalam bahasa Indonesia di sini, apalagi yang cocok untuk anak-anak. Setiap mudik ke Indonesia kami selalu memborong buku-buku dan DVD anak di Gramedia.
  8. Atur ekspektasi supaya jangan berlebihan. Terutama untuk bahasa Indonesia dan Finlandia yang memiliki perbedaan bahasa formal dan informal, poin ini penting untuk diingat. Saat ini saya berbicara dengan bahasa sehari-hari yang tidak formal dan tidak sesuai aturan EYD ke anak-anak. Kalau kami nantinya akan tinggal permanen di Finlandia, mungkin anak-anak tidak akan bisa menguasai bahasa Indonesia sampai, misalnya, tahap menulis thesis.

Perjuangan OPOL kami belum selesai. Kai dan Sami masih harus banyak belajar bahasa Indonesia dari sumber lain kalau mau mengerti bahasa yang lebih formal. Belum lagi masalah penolakan bahasa yang biasanya terjadi terhadap bahasa minoritas (dalam hal ini bahasa Indonesia karena di sini yang menjadi mayoritas tentu bahasa Finlandia). Sekarang saja Kai kadang-kadang mengeluh bahwa dia malas cerita-cerita sama äiti (ibu, dalam bahasa Finlandia) karena sama äiti harus berbahasa Indonesia. Lebih enak ngobrol sama Isi (ayah) saja pakai bahasa Finlandia.

seerika_84

Bahagia ketika berlibur di Indonesia

Keluhan Kai tidak pernah saya tanggapi, saya anggap saja angin lalu. Pokonya kalau sama äiti harus pakai bahasa Indonesia, gak ada cerita lain! Kalau tidak berbahasa Indonesia äiti akan pura-pura tuli.

Berbahasa Indonesia. Sebenarnya saat ini saya lumayan mengelus dada melihat fenomena anak-anak yang lupa akan bahasa Indonesia (atau tidak diajarkan bahasa Indonesia) begitu pindah tinggal ke luar negri. Lebih prihatin lagi melihat anak Indonesia, tinggal di Indonesia, tapi tidak bisa berbahasa Indonesia dengan alasan sekolah di international school. Kenapa orang tuanya tidak mengajarkan di rumah? Tidak ada salahnya mengajarkan bahasa lain, tapi bahasa ibu jangan dilupakan. Akan ada saatnya anak-anak akan bertanya tentang akar budayanya ketika mereka besar nanti. Penguasaan bahasa ibu akan membantu mereka dalam pencarian jati dirinya.

Menghapus penggunaan bahasa ibu juga memperkecil kesempatan anak untuk berkarya di negaranya sendiri di kemudian hari. Belum tentu kan dia akan selamanya ingin sekolah di luar negri, berkarir dan menetap di sana? Bisa jadi mereka juga ingin hidup di Indonesia, ingin punya pasangan hidup Indonesia, atau sekedar jalan-jalan ke pedalaman Indonesia? Penguasaan bahasa Indonesia akan membantu anak untuk mencapai hal-hal tersebut. Lagipula, anak-anak punya kemampuan ajaib untuk menyerap beberapa bahasa sekaligus. Mereka tidak perlu belajar, cuma perlu diajak berbicara. Kalau bisa dua bahasa kan lebih baik daripada satu? Anak-anak bilingual (atau bahkan multilingual) katanya punya intelenjesi yang lebih tinggi, lebih kritis dalam berpikir dan lebih cepat dalam mempelajari bahasa baru di kemudian hari.

——–

Untuk kisah lainnya tentang kehidupan di Finlandia, Rika menulis di http://seerika.wordpress.com/ atau untuk keseharian, bisa follow IG @seerika.

Disclaimer: foto-foto pada laman ini adalah karya Rika dan keluarga – dan beberapa diambil dari URL yang terhubung langsung dengan image gambar. Diedit oleh: @chiceniza.

Merantau di Singapura

AjengAjeng Ika Nugraheni – Previously worked as a Personal Assistant for Ministry of Public Works under UNDP’s Agency for the Rehabilitation and Reconstruction of Aceh and Nias. Now enjoying her time being  a ‘Personal Assistant’ for her little family in Singapore and working remotely for two institutions in Indonesia.

Merantau ke Singapura: Tahun 2012 pindah ke Singapore mengikuti suami yang bekerja di sini sebagai Software Engineer di salah satu perusahaan bidang media dan secure communication. Anak saya, Maika Lemoni Amanda (Lemon) sekarang berumur 4 tahun lahir di Jakarta, sudah K1 (setara TK A). Sejak pindah ke Singapore, kami memutuskan untuk tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga. Saya bekerja secara remote untuk dua institusi di Bogor dan Jakarta. Jadi selain mengerjakan tugas-tugas untuk pekerjaan tersebut, saya dan suami bersama-sama mengurus rumah dan anak.

2

Singapore first to do: Tidak ada dokumen yang harus diurus ketika sampai di sini. Visa sudah diurus oleh perusahaan sponsor sebelum kami tiba. Ketika kami sampai, kami hanya diminta untuk melakukan tes kesehatan saja untuk melengkapi persyaratan. Setelah tes kesehatan dinyatakan lolos, kami bisa mengambil kartu identitas di Ministry of Manpower sekaligus melakukan fingerprint scan.

Visa: Jenis visa yang dimiliki oleh suami saya saat ini adalah Employment Pass (EP) alhamdulillah bisa memberikan sponsor tinggal (Dependent Pass, DP) untuk istri dan anak. Pengurusan DP inipun juga diurus oleh perusahaan sponsor. Saat ini status kami masih foreigner. Masih dalam proses pengajuan Permanent Resident (PR) sejak 3 bulan yang lalu, doakan dapet ya 😀

Picture by: Nazura Gulfira

View from Marina Bay Sands

Foreigner: Dengan status kami sebagai foreigner, tidak ada benefit yang menonjol yang kami dapatkan. Biaya rumah sakit, sekolah sampai daftar perpustakaan semuanya bayar. Berbeda dengan PR. Kalau sudah PR, mencari sekolah untuk anak bisa lebih mudah, bisa mencari sesuai dengan yang diinginkan. Jumlah jatah kursinya di bawah citizen soalnya. Kalau foreigner ya terima nasib aja dapet sekolah di mana. Jadi cuma bisa milih sekolah dan berdoa mudah-mudahan masih ada sisa kursi di sekolah tersebut. Kalau jatah sudah habis untuk citizen dan PR (dan foreigner lain) ya pasrah, hehehe. Kesehatan juga begitu. PR mendapat subsidi lebih banyak dari pemerintah daripada foreigner.

Permanent Resident: Kalo PR dan citizen wajib punya account Central Provident Fund (CPF). Uang yang masuk ke rekening ini didapat dari potongan gaji tiap bulan. Baik employer dan employee harus sama-sama berkontribusi untuk CPF ini. Besarannya berbeda-beda. Tergantung di perusahaan lokal atau internasional dia bekerja. Dana CPF ini dibagi 3 peruntukannya: Pertama, Medisave Account, bisa dipakai untuk keperluan rumah sakit (jadi kalo mau vaksin anak dan urusan dengan rumah sakit bisa dipotong dari simpanan ini). Kedua, Special Account, untuk investasi yang bisa dipakai di masa pensiun. Ketiga, Ordinary Account, bisa dipakai untuk membeli properti, asuransi, investasi dan lain sebagainya. Nah, nanti kalau sudah berumur 55 tahun, pemerintah akan membuat Retirement Account yang dananya di combine dari Spesial Account dan Ordinary Account, dan bisa dicairkan dengan jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan sehari-hari. Jadi selain mendapatkan beberapa kemudahan dibanding foreigner, menjadi PR juga jadi punya tabungan yang diatur oleh pemerintah. Walaupun kesannya ‘dipaksa’ tapi sebenarnya bermanfaat juga untuk kita sendiri.

by Nazura Gulfira

Marina Bay Sands

Remote Worker: Sejak pindah ke sini, otomatis saya harus resign dari pekerjaan saya. Bos saya di Kementerian PU tetap meminta saya membantunya dalam beberapa hal, jadi saya diperbolehkan bekerja jarak jauh. Thanks to technology! Jadi bekerja jarak jauh itu sangat memungkinkan. Saya tetap bisa membantu beliau untuk urusan draft surat menyurat, mengecek laporan dan beberapa dokumen agreement project baik dengan sumber dana dalam negeri atau luar negeri. Selain itu, saya juga sempat membantu tim Komunikasi Bornean Orangutan Survival Foundation (BOSF), sebuah NGO yang mendedikasikan kegiatannya untuk konservasi orangutan dan habitatnya. Saya membantu Tim Komunikasi untuk membuat produk-produk komunikasi, salah satunya mengompilasi cerita dan laporan yang didapat dari lapangan menjadi suatu artikel dan dimuat di Web mereka. Sesekali saya juga ikut membantu menyusun laporan dan cerita adopsi untuk diberikan kepada para donatur. Dulu kalau sedang ada kegiatan pelepasliaran orangutan, saya ikut ke hutan. Kalau sekarang, sambil tiduran di kasur atau sambil nungguin masakan mateng, stand by, tunggu giliran untuk bantu apapun yang bisa dilakukan dari jarak jauh hahaha.

Freelancer: Kalau ada Ibu yang ingin bekerja sebagai freelancer di Singapura, mereka harus mendaftarkan diri mereka sebagai ‘badan usaha’. Hal ini harus dilakukan karena berhubungan dengan pembayaran dan pajak. Pendaftarannya mudah dan cepat, bisa cek di https://www.acra.gov.sg. Nah, karena saya bekerja untuk institusi di Indonesia, maka saya tidak perlu melapor di sini. Pendapatan juga dalam Rupiah, jadi tidak eligible untuk membayar pajak di Singapore.

Tips saya untuk mamarantau yang juga bekerja dari rumah:

  • Harus punya jadwal. Saya tetap mendahulukan kepentingan rumah tangga dulu baru jika semuanya sudah selesai dikerjakan, saya akan mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Ada kalanya saya harus mendahulukan pekerjaan tetapi sebisa mungkin tidak terlalu mengganggu kebutuhan anak saya, misalnya.
  • Harus ikhlas, hahaha. Kadang beberapa pekerjaan baru bisa dikerjakan ketika malam hari ketika semua pekerjaan rumah sudah selesai dan anak sudah tidur. Kadang capek sekali. Pengennya ikutan tidur. Tapi namanya juga kerja, jadi ya harus tanggung jawab dan…ikhlas 😛
  • Berbagi tugas dengan suami. Rasanya tanpa menjadi Ibu bekerja pun, sudah selayaknya kepentingan rumah tangga dikerjakan secara bersama-sama. Jadi kalo lagi dikejar deadline, tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan suami untuk urusan rumah. Saling support lah 😀

Mencari apartemen: Kami tinggal di apartemen milik pemerintah, Housing and Development Board (HDB). Beberapa tahun yang lalu, kemudahan ini tidak bisa dimiliki oleh foreigner. Foreigner hanya bisa menyewa private apartment/condo. Alhamdulillah ketika kami tiba, peraturan ini sudah dihapus.

4Beda antara HDB dan private apartment adalah di harga (tentu saja) dan fasilitas. Di private apartment biasanya ada fasilitas gym, kolam renang dan activity room (bisa di sewa). Kalau di HDB, tidak ada. Tetapi jangan khawatir karena pemerintah Singapore menyediakan playground, alat-alat olahraga di setiap sudut HDB dan activity building (community center) di setiap distrik. Pemerintah juga menempatkan bangunan-bangunan HDB dekat dengan MRT station dan halte bus. Setiap komplek HDB juga dilengkapi dengan supermarket, convenience store, klinik kesehatan dan berderet ruko-ruko. Biasanya, sekolah anak juga ada yang memakai bangunan HDB. Jadi, kalau tidak/belum punya kendaraan pribadi, tinggal di HDB rasanya lebih efisien.

Ada juga condo yang dekat dengan fasilitas publik, tetapi sepertinya tata kotanya memang sengaja memprioritaskan HDB agar lebih mudah diakses.  Tidak ada syarat khusus untuk menyewa property, kecuali membeli. Foreigner hanya boleh membeli private apartment. Sedangkan PR bisa membeli resale HDB (bukan unit baru), dengan syarat sudah menjadi PR minimal selama 3 tahun.

Biasanya calon penyewa bisa mencari property di website seperti www.propertyguru.com.sg/. Semua transaksi antara calon penyewa dan pemilik biasanya dilakukan dengan perantara agent. Untuk menyewa property di Singapore, selain menyiapkan harga sewa, harus disiapkan juga agent fee (biasanya sebesar setengah harga sewa, jika kontrak sewa 1 tahun) dan deposit untuk pemilik property (biasanya seharga 1 bulan sewa untuk kontrak 1 tahun). Selain itu, juga ada biay stamp duty, untuk pengurusan administrasi dengan pemerintah.

Range harga apartemen: Singapore memang terkenal dengan harga property yang muahal :p Untuk harga sewa HDB di tengah kota (kebetulan saya tinggal di central), 2 bedroom berkisar antara $2100 – $2800 per bulan, tergantung lokasi dan furnish/non furnish. Sedangkan condo, 2 bedroom di daerah yang sama, harga sewanya berkisar antara $2900 – $4500 per bulan.

Pembagian district di Singapura

Sekolah Anak: Fasilitas sekolah gratis hanya berlaku untuk citizen saja. PR membayar tetapi jauh lebih murah daripada foreigner. Kalau di Indonesia masih ada pro kontra belajar calistung, di sini mau gak mau memang sudah harus belajar calistung sejak dini. Tidak heran, banyak sekali anak umur 4 tahun sudah mengikuti les calistung ini, untuk persiapan masuk ke SD. Lalu untuk masalah toleransi. Anak saya sekolah di Kindergarten yang ada di Masjid. Walaupun begitu, mereka juga merayakan hari raya agama lain. Dari Natal, Deepavali sampai Chinese New Year. Dari kecil sudah dipupuk rasa toleransi yang tinggi. Maklum ya, tinggal di negara yang multi agama dan etnis. Pemerintah sangat menjaga diversity ini.

AFP Photo

Pre-school children tour the Garden by the Bay

Vaksinasi: untuk anak, vaksinasi wajib hampir sama dengan di Indonesia kecuali MMR. Vaksin MMR sudah jadi wajib kalo di sini. Waktu pemberian vaksin pun agak sedikit beda. Kalo di Indo, MMR dosis pertama di umur 15-18 bulan, dosis kedua di umur 5 tahun. Kalau di sini, dosis pertama di umur 12 bulan, dosis kedua di umur 15-18 bulan. Biasanya sebelum masuk SD, daftar imunisasi ini akan di cek oleh National Immunisation Registry , kalau ternyata ada yang kurang dan tidak sesuai, akan diminta untuk melengkapi dulu, tapi ya gak gratis juga hihihi. Kecuali citizen ya, mereka punya subsidi khusus dari pemerintah (berupa baby bonus dan atau rekening khusus Medisave milik orangtua).

Transportasi: Sejauh ini kami gak kepikiran untuk punya kendaraan pribadi. Sudah cukup dengan MRT, bus dan taxi yang mudah diakses. Plus juga, transportasi publik ini juga sangat ramah terhadap Ibu (dengan anak-anak) dan kaum disable. Semuanya bisa naik transportasi umum dengan nyaman, aman dan murah. Lagipula harga mobil di sini mahal sekali. Harus bayar ijin juga. Belum pajak dan harga BBM nya juga gak murah. Untuk perbandingannya, satu harga mobil di sini bisa buat beli 3-4 mobil di Indonesia. Untuk naik bus dan MRT, pakenya kartu yang bisa diisi ulang. Biasanya ez-link atau nets. Adult Monthly Pass dihargai $120 untuk unlimited perjalanan selama 30 hari. Ada juga discount fare yang ditujukan untuk penumpang lanjut usia, disable dan pelajar. Lalu ada kartu-kartu khusus yang berafiliasi dengan institusi tertentu, misalnya kartu kredit, yang bisa digunakan untuk kartu perjalanan. Ohya ini beberapa aplikasi yang membantu buat cek jadwal MRT dll: Gothere.sg, GrabTaxi, dan SG NextBus.

Bus

Di MRT dan Bus yang nyaman untuk anak-anak dan keluarga

Anak dengan tinggi di atas 90 cm sudah harus bayar. Tapi untuk anak-anak TK (walaupun tingginya sudah di atas 90 cm) tetap bisa gratis kok, asal mengajukan permintaan dulu ke ticketing office. Nanti dikasih kartu khusus. Sejauh ini sih belum pernah pake yang monthly pass. Soalnya biaya transportasi dalam sebulan baik saya dan suami, gak ada yang sampe $120.

https://muhammadmdrahim.files.wordpress.com

Kendaraan umum di Singapura: aman dan nyaman

Komunitas Indonesia: Kenal dengan mamarunnerSG sejak pindah kesini. Kebetulan Shinta dan Thalia, salah dua dari founder The Urban Mama mengajak untuk bergabung di grup WhatsApp yang isinya Ibu-Ibu Indonesia yang tinggal di Singapore yang lagi keranjingan lari. Kebetulan taun itu saya lagi seneng-senengnya lari, kesenengan dikasih running track bersih aman tersebar di seluruh penjuru negri :p

6

MamarunnerSG

Keluarga MamarunnerSGWalaupun kemampuan olahraga kami berbeda-beda (ada yang udah ikutan marathon, triathlon sampe jago yoga, tapi ada juga yang larinya cuma 5K aja mulu :p) tapi ya cocok-cocok aja tuh. Saling berbagi jadinya. Beberapa dari kami sering janjian lari bareng kalo rumahnya deketan, atau training bareng menjelang race. Semakin kesini hubungan ini jadi lebih dari hubungan ‘ibu-ibu yang sama-sama suka lari’ tapi udah kayak keluarga. Whatsapp group ngebahas dari mulai olahraga sampai urusan sekolah anak. Minimal satu bulan sekali ketemu untuk arisan dan makan-makan. Gak cuma Ibu-Ibu aja yang ngumpul, tapi juga para suami dan anak-anak Sebagai kaum rantau yang jauh dari keluarga support group kayak gini tentu saja ngebantu banget ☺

Tempat favorite untuk jalan-jalan di Singapore:

1. Museum: Singapore punya banyak sekali museum. Beberapa diantaranya: Peranakan Museum, National Museum of Singapore, Singapore Art Museum, Mint Museum of Toys, Science Center dan masih banyak lagi.

Peranakan Museum

( Picture: www.lowsweetling.com)

Mint Museum of Toys

Kebanyakan museum memberikan free entry untuk citizen dan PR. Untuk foreigner biasanya membayar, sesuai dengan golongan usia. Untuk student dan senior, diberikan harga khusus. Museum-museum itu juga memberikan free entry kepada seluruh pengunjung di hari dan jam tertentu. Jadi kalo mau berkunjung, lebih baik cari infonya dulu di website mereka. Siapa tau bisa dapet yang gratis ☺

(Picture by: Nazura Gulfira)

National Museum of Singapore

2. Playground, park atau library. Singapore itu surganya taman. Kebetulan jarak 1 km dari rumah, sudah bisa sampai ke Bishan Park. Bisa sepedaan, lari-larian, main frisbee atau melihat anjing bermain di area dog run. Kadang kami juga jalan-jalan ke Singapore Botanic Garden. Banyak sekali pilihan playground dan tempat bermain outdoor. Tempat-tempat ini tersebar di mana-mana. Bisa dilihat daftarnya di sini https://www.nparks.gov.sg/.

9

Far East Organization Children’s Garden at Garden by the Bay

Konser Singapore Symphonic Orchestra di Singapore Botanic Garden

Singapore juga punya pantai, walaupun buatan hehehe. Tapi lumayan lah kalau cuma pengen main pasir dan basah-basah dikit :p Selain bisa bermain pasir, kita juga bisa menyewa pit untuk barbeque di beberapa pantai (selain pantai-pantai di Sentosa). Sewanya murah, hanya $20 bisa dipakai seharian penuh. Bisa juga mendirikan tenda, tapi tetap harus ijin dulu.

Siloso Beach dan Pasir Ris

3. Perpustakaan. Kami suka ke perpustakaan. Perpustakaan ada di setiap distrik dan within walking distance dari pemukiman. Semuanya swalayan dengan mesin-mesin canggih yang awalnya bikin saya beneran bengong, pas pertama kali masuk ke salah satu public library.

Di salah satu cabang perpustakaan: kita bisa pinjem buku dengan cara seperti ini

Koleksinya lengkap dari buku anak-anak berbagai bahasa sampai koleksi audio dan video. Karena masih foreigner, kami harus membayar sekitar $50 untuk biaya keanggotaan selama satu tahun. Maksimal bisa meminjam 16 buku dalam satu kali pinjam dengan durasi 21 hari. Tidak ada biaya tambahan waktu pinjam buku.

13

Bishan Public Library

Oh ya, ada jadwal untuk aktivitas anak-anak di setiap perpustakaan yang diadakan di hari-hari tertentu. Jadi silahkan cek ke website http://www.nlb.gov.sg/ untuk jadwal di setiap public library.

[Photo: National Library Board]

Children having a fun reading experience at the green library “My Tree House”

National Public Library of Singapore

4. Jalan-jalan. Dengan keluarga: paling jalan ke Orchard Rd. Makan siang, jajan es uncle (es potong yang ada di Orchard) dan jalan-jalan ke mal atau yang paling sering kami lakukan, ngopi di Tiong Bahru Bakery sambil gambar-gambar.

“Es Krim Uncle”

Kongkow

Kongkow dengan temanteman wanita: biasanya ketemu pagi hari waktu anak-anak masih sekolah. Ngopi, sarapan di Tiong Bahru Bakery atau beberapa coffeeshop di Holland Village seperti Baker and Cook atau d’Goods.

Holland Village

Makan dengan keluarga: Paling sering ke Sari Ratu dan Ayam Bakar Ojo Lali (semuanya ada di Lucky Plaza), atau yang sekarang lagi disukai, Encik Tan, menjual makanan lokal Singapore dan halal. Susah soalnya cari makanan lokal Singapore yang halal. Jadi kalo pengen ngerasain Fried Oyster yang halal, bisa dicoba di sini. Atau kalo lagi pengen makan dimsum enak, biasanya ke Tang Tea House Hongkong Café di Bedok. Agak jauh sih dari rumah, tapi demi dimsum halal dan enak, dijabanin juga deh!

Oh ya, untuk persoalan halal dan tidak halal ini, saya merasa Singapore lebih ketat dibanding di Indonesia. Beberapa foodcourt sengaja memisahkan stall halal dan non halal. Kalau pun di satu atap, piring yang digunakan berbeda warna. Biasanya warna hijau (kadang putih) untuk makanan dari stall halal, dan selain warna tersebut untuk stall non halal. Penjualnya juga pro aktif memberitahu kita kalo makanan yang dijualnya gak halal. Misal: chicken rice. Stall nya sih memang cuma jual nasi hainan dan ayam saja, tapi ternyata ayam yang dipakai bukan ayam dari rumah potong berlabel halal. Atau ternyata kaldunya mengandung bahan yang tidak halal. Mereka pasti akan memberitahu kita. Kadang galak :p Sering deh diomelin uncle-uncle dulu pas awal-awal. Kalo sekarang sih, karena males diomelin lagi jadinya yang pasti-pasti aja deh, selalu lihat ada logo halal atau tidak di stall nya. Untuk kami yang muslim, ternyata menjadi minoritas di negara tetangga, gak susah kok. Malah rasanya lebih diperhatikan sama pemerintah ☺ Banyak sumber untuk mengetahui berbagai macam restoran halal di Singapore. Kalau di instagram biasanya saya cek @thehalalfoodblog.

5. Belanja. Pakaian: paling sering di H&M, Cotton On atau Uniqlo. Biasanya saya suka belanja banyak di bulan-bulan Singapore Great Sale. Harga baju-baju jadi murah karena diskon gila-gilaan, jadi bisa sekalian belanja untuk stock.

Groceries. Paling sering belanja di Fairprice atau Giant yang paling dekat dengan rumah. Biasanya dua supermarket ini memang ditempatkan di daerah pemukiman. Jadi hampir di setiap komplek HDB pasti ada salah satu (atau bahkan dua-duanya) supermarket ini. Biasanya supermarket ini juga ada di stasiun MRT. Sayur dan buah-buahan hampir semuanya import karena Singapore gak punya lahan luas untuk pertanian. Paling banyak produk datang dari Malaysia dan Indonesia. Jadi kalo mau cari bahan masakan khas Indonesia, tidak begitu sulit. Tapi kalau mau cari bahan-bahan import non asia yang gak biasa, bisa ke Cold Storage. Barangnya lebih bervariasi. Ada juga pasar basah. Gak di semua distrik ada sih. Tapi saya lebih suka belanja di supermarket karena untuk produk daging dan ayam sudah ada label halalnya. Jadi lebih tenang hehehe. Nah, kalau mau jajanan Indonesia seperti krupuk aci, segala macam snack, minyak kayu putih, bumbu instan untuk masak soto atau indomie yang asli Indonesia, biasanya belanja di Indo Stop, di Lucky Plaza lantai 2.

Buat yang ga pernah ke Singapura dan tiba-tiba harus pindah ke sana, ada tips how to deal with Singaporean? Atau hal-hal yang berpotensi menjadi culture shock?  Waktu pertama pindah kesini, bawaanya parno! Hahaha. Kalo mau apa-apa hati-hati banget. Cari petunjuknya dulu, saking takutnya salah dan melanggar aturan. Singapore kan terkenal banget dengan denda untuk hal-hal seperti buang sampah sembarangan, vandalism, makan/minum di dalam kereta/bus, bawa duren di kereta/bus, merokok sembarangan, ketauan ada jentik nyamuk di rumah dan masih banyak lagi.

Tapi untungnya semua peraturan tersebut sangat jelas. Jadi segala macam sticker peringatan ada di mana-mana. Semua serba teratur. Semua serba antri (bahkan ada yang bilang, Singaporean itu suka banget antri, semakin panjang antrian semakin suka, padahal kadang gak tau apa yang diantriin :p). Tapi walaupun awalnya parno, lama-lama jadi suka dan kadang jadi ikutan concern kalo misal ngeliat turis makan di kereta, menyerobot antrian, atau memaksa pakai lift duluan padahal ada nenek-nenek atau ibu-ibu membawa stroller bayi lagi antri, rasanya pengen negur hihihi.

Sama seperti negara lainnya, Singaporean tersebar di strata sosial yang berbeda-beda. Pandangan dari suatu kelompok tidak bisa dijadikan patokan. Mereka sangat menghormati para foreigner yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda, termasuk Indonesia. Tetapi ada juga sentimen khusus untuk Indonesian, contohnya ketika terjadi kabut asap kiriman akibat pembakaran hutan di Sumatera: Hal ini jadi kasus yang berulang setiap tahun. Karena terus menerus terjadi tanpa perbaikan yang berarti, banyak tanggapan negatif terhadap pemerintah Indonesia. Biasanya juga jadi terbawa ke hubungan Singaporean-Indonesian sehari-hari. Gak terlalu ekstrim sih, cuma kasus itu kayaknya yang paling ‘nempel’ bagi Singaporean.

Singapore haze 2013 – kontras saat kejadian dan sebelum

Soal toleransi juga lumayan kental. Suami dan beberapa teman saya cerita, jika ada acara kantor, lalu mereka mau makan-makan, pasti yang ditanyai adalah muslim dulu. Kalo ada muslim di acara itu, catering yang dipesan pasti halal. Mereka juga pasti menyediakan menu vegetarian dan juga menghormati orang India yang tidak makan beef. Saking banyaknya agama dan suku di sini, justru kepedulian satu sama lain sangat terasa.

Singaporean juga sangat menyukai olahraga. Gak heran deh kalo jam 11 malam masih liat orang lari keliling komplek. Banyak juga yang bike to work, suami saya salah satunya. Banyak sekali acara olahraga yang diadakan baik oleh pemerintah atau swasta. Run race mulai dari yang fun run sampai triathlon. Kalau pergi ke reservoir, bisa liat orang latihan mendayung. Pokoknya, mereka sangat aktif sekali. Lingkungan seperti ini yang bikin kami selalu ikut terpacu untuk terus aktif dan menjaga kesehatan.

How to deal with Singaporean? Kalem aja, lakuin segala sesuatu sesuai perintah. Kalo kita gak ngelakuin sesuatu yang salah, mereka gak akan bereaksi berlebihan kok.

Yang paling disukai dari tinggal di Singapura: Semua hal yang serba teratur, jelas dan efisien! Dan juga lingkungan yang sehat, bersih, menyenangkan dan ramah untuk anak-anak. Yang paling gak disuka? Mahal! :p

———-

Ajeng:  https://mskpk.wordpress.com, IG: @misskepik.

Some pictures are provided by Ajeng – and some others directly linked to the images URL.

Making The Most of Upper West Side with Your Baby

Screen shot 2014-11-26 at 2.15.08 PM

Yania Andarini has been living in New York City since 2013 to accompanying her husband pursuing Master degree in Columbia University. She’s embracing the days of Manhattan’s hustle and bustle with little Harsya.

Two days after my husband was admitted to a graduate school in New York, our doctor told us that I was also carrying a baby inside my belly. It was beyond words. We could not express our gratitude to the Lord Almighty as we felt that we were among the luckiest couple. Not only we were trusted to become a parent, but also we were going to New York City, the land of opportunity.

Fast forward several weeks, after the bubble of euphoria had popped, we got worried because it would cost a shipload of money to raise a baby at one of the most expensive city in the world—all alone with no relatives and with a very limited student budget. However, with the help of the Lord Almighty and so many loving families in Jakarta, we decided to rise to the challenge and depart to New York.

Needless to say, we are running a very tight ship, here. But luckily, there are places that cost us a very little amount of money—even for free—to take our baby out and play. Here are some places and facilities that we usually hang out with our baby in my neighborhood in the Upper West Side at Manhattan:

  1. Hit up your local libraries for no cost. New York Public Library (NYPL) are great places for parents and babies to spend time together. In addition to a vast array of fabulous children books collections, some of the libraries–in my case, they are the NYPL Morningside Heights and the NYPL St. Agnes–have a play room with a lot of toys where babies or toddlers can play. By bringing your baby to a library and exposing them to tons of interesting books, it will develop a good reading habit for babies since their early years. On another note, sometimes the libraries also conduct a storytelling session where the librarians enthusiastically read books for dozen of cute little babies.

photo 2

  1. Your local bookstores do not only sell books, they have tons of interesting activities, too. You can enjoy free storytelling every day at your local bookstore. Storytelling is wonderful and full of educational activity. The best part of it, it is free! Storytelling introduces your baby to language and helps them to develop their verbal skills. It is also a great place to interact with other baby of similar ages. Here are some local bookstores which provide free storytelling within my neighborhood:

photo 1

  • Bank Street bookstore on Broadway and West 112 St. has a free daily story hour at 10.30 a.m. The storytellers do not only read out loud, but they also invite the babies/toddlers to sing together. Occasionally, they invite famous authors to read together. Have I mentioned that we can also interact with other cool mommies?
  • Book Culture bookstore on Broadway and West 114 St. offers a free storytelling time in various language– French, Spanish and English. The storytelling was located on its lower level. The schedule for the activity is every Saturday at 15.30

photo 4

Bank street bookstore also provides puppet show every Saturday and Sunday at 13.00 p.m. for one hour. This program is primarily intended for toddler but babies are also welcomed to attend.

  1. Stroll over New York parks with your babies and loved ones. New York City is a jungle of concretes but it is also a home for a lot of beautiful parks. During the summer, you can always bring your baby to parks and meet a lot of friends there. On top of that, you can play with your baby on a slushy green grass, do a swing or even play water splash!

photo 1

Luckily, there are three parks within 20 minutes of walk from my apartment—the Riverside Park, the Morningside Heights Park and the Central Park. My favorite is the Riverside Park, since it is so close from my apartment and it provides many children playground. Every afternoon at 5 pm I take my baby to the Riverside Park to play with other babies or to just enjoy the scenery of the majestic Hudson River adjacent to the park.
photo 3

There are many more places of interest in the Upper West Side—places like the Museum of Natural History and the Metropolitan Museum. However, I am yet to visit those places with my baby. Once I do, I will let you know. In the meantime, enjoy your parks, libraries and bookstores!