
Agita Rachmasari – Indonesian. Dentist. Haidi’s wife ~ Jenna’s mom. Amateur Photographe. Live in Astana, Kazakhstan.
Hallo…! Nama saya Dian Agita Rachmasari, biasa dipanggil Agita. Saya lahir di Medan 30 tahun yang lalu. Sejak kecil menempuh pendidikan berpindah-pindah kota Indonesia karena mengikuti orang tua, dari Samarinda, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, terakhir berkuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta jurusan Kedokteran Gigi dan akhirnya menyandang gelar Dokter Gigi pada tahun 2013. Pada tahun yang sama saya juga dinikahi oleh sahabat saya, Haidi Nur Hashfi yang saat ini sedang bertugas sebagai Diplomat di KBRI Astana, Kazakhstan. Saya dan suami dikaruniai seorang putri bernama Jennaira Khansa noura (3,5 tahun), yang lahir di Melbourne ketika suami melanjutkan study S2 di sana.”

Pindah ke Astana, Kazakhstan
Pada mulanya kami menerima kabar mengenai kepindahan ke Astana sekitar 4 bulan sebelum keberangkatan. Ketika mendengar kabar dari suami bahwa dia akan ditugaskan di Astana selama kurang lebih 3 tahun dan meminta saya dan putri semata wayang kami yang saat itu baru saja berusia 1 tahun, dalam pikiran saya “Lah pergi lagi? Belum juga setahun pulang ke Indonesia.
Duh Astana itu dimana ya? Negara apa ya?”


Antara dag dig dug, exited, sedih, penasaran rasanya saat itu karena ini pertama kalinya bagi saya mendampingi suami bertugas sebagai diplomat di luar negeri. Saya langsung cari informasi mengenai Astana, persiapan-persiapan untuk keberangkatan dan keperluan selama di sana, serta menyusun rencana keuangan keluarga kami. Untunglah waktu itu ada grup ibu-ibu baik hati, istri-istri teman seangkatan suami yang banyak memberi informasi mengenai persiapan untuk penempatan luar negeri ini.
Selama 4 bulan, kami menyiapkan segala rupa kebutuhan yang harus dibawa dari Indonesia seperti beberapa setelan jas dan teluk belanga untuk suami, kebaya dan pakaian-pakaian nusantara untuk saya dan si kecil, souvenir-souvenir khas Indonesia, serta kebutuhan bahan-bahan makanan yang tidak tersedia di Astana atau barang-barang yang menurut kami lebih terjangkau jika dibeli di Indonesia. Tidak begitu banyak yang kami urus selain itu karena Jenna masih belum sekolah dan saya juga sedang tidak bekerja.
Kami dijadwalkan berangkat pada tanggal 19 Agustus 2016 tengah malam dengan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi si kecil Jenna. Saat bangun pagi hari di tanggal tersebut, Jenna dalam keadaan demam dan batuk, mungkin karena lelah karena sebelum berangkat sering pergi bolak balik Jakarta-Serpong untuk suatu urusan dan ikut berpergian untuk persiapan keberangkatan lainnya. Siang hari kami sempatkan membawa Jenna ke dokter untuk dapat meminta perawatan untuk meredakan sakitnya. Dan malam hari kami bertiga berangkat menuju Astana.
Perjalanan kami kurang lebih selama 24 jam dengan penerbangan Jakarta-Seoul selama 7 jam, transit di Seoul 9 jam, dan penerbangan Seoul-Astana selama 8 jam. Selama perjalanan alhamdulillah Jenna tidak rewel sama sekali, tetap ceria walau sedang batuk. Hanya masalah makan saja yang agak susah, karena kondisi tenggorokan yang kurang nyaman sepertinya. Dan pada tanggal 20 tengah malam kami tiba di Astana yang sudah mulai sejuk.
Proses Adaptasi Anak dan Keluarga di Astana
Usia Jenna ketika pindah ke Astana masih terbilang cukup kecil, yaitu 1 tahun 5 bulan. Jenna cukup cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan di Astana. Bahkan ketika baru tiba Jenna sudah sangat senang di tempat tinggal barunya. Dan yang paling membuat ibunya gembira, Jenna justru jadi gampang sekali makan setelah pindah ke Astana (setelah sebelumnya drama GTM yang nggak berkesudahan
Lalu, meskipun udara di Astana sudah mulai sejuk menuju dingin, tetapi Jenna terlihat menikmati karena memang anaknya kurang suka cuaca yang panas. Mungkin juga Jenna tipe anak yang suka dengan hal-hal baru dan sudah saya ajak berpindah-pindah tempat sejak bayi, jadi dia tidak merasa canggung dan cepat beradaptasi ketika baru pindah. Selain itu ada situasi penting yang tidak berubah bagi Jenna, yaitu tetap bersama Ibu dan bapaknya seperti situasi sebelum-sebelumnya.
Perbedaan dengan Kehidupan di Indonesia
Banyak sekali perbedaan yang dirasakan dengan di Indonesia ya. Pertama dari segi cuaca, karena Astana termasuk negara 4 musim yang ketika musim dingin sangat-sangat ekstrim. Suhunya bisa mencapai -40°C dan biasanya musim dingin berlangsung sekitar 7 bulan. Karena itulah Astana mendapat sebutan “The Second Coldest Capital City in The World”.

Kemudian cita rasa makanan di Astana juga berbeda dengan di Indonesia. Kebanyakan makanan disini bercita rasa asin atau sedikit hambar dan tidak begitu variatif seperti di Indonesia dan roti adalah makanan pokok warga setempat.

Bumbu-bumi khas Indonesia pun tidak dapat ditemukan di Astana, seperti kecap manis, lengkuas, kemiri, pala, daun jeruk, tempe, daun pandan, dan lain sebagainya. Untungnya bahan makanan seperti tahu, kecambah, kacang kedelai masih bisa didapatkan di Toko Korea.
Kemudian bahasa, jelas beda ya. Tapi lebih menantangnya di Astana jarang orang yang bisa berbahasa Inggris. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Russia, tetapi bahasa resminya adalah bahasa Kazakh. Pusing juga awalnya karena saya belum bisa bahasa Russia dan membaca huruf Cyrillic. Akhirnya dengan berbekal bahasa tubuh dan google translate lah komunikasi saya.
Contoh sign di jalan
Kegiatan Sehari-hari Sebagai Seorang “Mamarantau”
Kegiatan sehari2 saya disini sebagian besar masih bergulat dengan pekerjaan ibu rumah tangga dengan 1 anak batita pada umumnya.
Saya mulai menyukai masak memasak ketika mulai tinggal di luar negeri, mencoba resep-resep makanan khas Indonesia ataupun resep lainnya. Karena ketika ingin makan makanan Indonesia mau tidak mau saya harus membuat sendiri dam ternyata itu menyenangkan buat saya.
Kegiatan di luar rumah, sesekali pertemuan dengan ibu-ibu Dharma Wanita di kantor suami, mendukung kegiatan di kantor suami misalnya menyediakan makanan khas Indonesia untuk acara-acara bazaar, serta acara spesial seperti menyambut tamu-tamu penting dari Indonesia yg berkunjung ke Astana atau menghadiri acara di kedutaan lain.
Beberapa bulan yang lalu kantor suami juga membuka kelas seni dan bahasa Indonesia-Russia untuk warga lokal serta WNI yang berada di Astana. Saya pun mengikuti kedua kelas tersebut karena saya memang pada dasarnya suka dengan seni, dan belajar bahasa Russia untuk lebih memudahkan dalam interaksi sehari-hari.

Pertama kali saya belajar tari di sini adalah Tari Piring yang berasal dari Sumatera Barat dan Tari Enggang yang berasal dari Kalimantan. Selain itu saya berlatih bermain angklung. Lagu pertama saya adalah Es Lilin dari Jawa Barat. Selama latihan ataupun berkegiatan, Jenna selalu saya bawa karena saya tidak membawa ART di Astana. Alhamdulillah Jenna bisa mengikuti dengan baik, dengan dukungan dan pengertian dari teman2 juga tentunya. Bahkan Jenna sangat senang jika ikut latihan menari, dia bisa ikut berjingkrak jingkrak olah tubuh. Atau ketika ikut kelas bahasa Indonesia-Russia, Jenna secara tidak langsung ikut mendengarkan dan belajar juga.
Kegiatan yang berkesan sejauh ini adalah latihan menari dan bermain angklung. Karena entah mengapa rasanya membuat saya semakin bangga dan cinta dengan budaya Indonesia, bisa belajar sejarah dan maksud dari tarian maupun lagu-lagu daerah Indonesia, serta memang merupakan hobby saya menari dan hal-hal berbau musik yang sudah lama sekali tidak dilakukan.

Di samping itu, pada acara Resepsi Diplomatik RI ke-72 di Asrana ini, saya bisa berkesempatan tampil pertama kali membawakan Tari Piring dan bermain angklung membawakan lagu Yamko Rambe Yamko, Closer, dan Kamazay (lagu populer Kazakhstan) bersama teman2 baik dari Indonesia maupun warga Astana.
Suka Duka Kehidupan di Astana
Sejauh ini fasilitas kesehatan yang saya rasakan kurang sreg di sini. Pengalaman pertama saya di sini ketika Jenna demam tinggi hingga 39°C ketika beberapa bulan kami baru tiba. Dokter di sini jarang sekali yang bisa berbahasa Inggris, sehingga kami harus dibantu oleh staf orang lokal untuk menerjemahkan ke bahasa Russia. Bagaimanapun rasanya kurang puas jika berkonsultasi tidak secara langsung (harus lewat perantara), kadang saya mendapatkan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan saya karena salah tangkap oleh penerjemah.
Lalu ketika Jenna harus tes darah, mereka menggunakan jarum untuk dewasa untuk tangan semungil anak usia 1,5 tahun ☹. Padahal waktu itu saya periksa di rumah sakit ibu dan anak, tetapi mereka tidak punya jarum untuk anak. Lalu obat-obatan yang diberikan untuk Jenna yaitu berupa tablet semua, dan saya harus menggerus sendiri di rumah karena Jenna yang ketika itu masih berusia 1,5 tahun masih belum bisa minum obat dalan bentuk tablet. Lalu Jenna diminta untuk kontrol lagi setelah 1 bulan dan masih mendapatkan obat-obatanan yang saya juga kurang paham obat apa karena tidak mendapatkan penjelasan dengan baik, padahal kondisinya waktu itu sudah sehat.
Kalau dari cerita teman yang sudah hampir 3 tahun tinggal di Astana, hal itu sudah lebih baik dari pengalaman dia sebelumnya. Karena sebelum-sebelumnya, pasien biasanya akan diberi resep obat injeksi beserta alat suntiknya. Kemudian, anggota keluarga pasien akan diajarkan cara menyuntik obat oleh dokter agar bisa memberikan obat suntik kepada pasien di rumah. Tak heran masyarakat biasa di sini mahir dalam menyuntik. Aneh sih menurut saya sebagai praktisi kesehatan juga, tapi ya mau bagaimana lagi. Sejak pengalaman itu saya sangat memperhatikan kesehatan keluarga di sini.
Selain itu karena Astana termasuk kota yang kecil dan tidak begitu banyak tempat wisata, kota terdekat berjarak lumayan jauh, serta musim dingin yang berlangsung lama membuat saya sering dilanda rasa bosan. Hiburan paling sering yaitu jalan2 ke mall, tetapi kalau mengingat ada negara yang lebih kecil lagi saya harus sudah lebih bersyukur ya.
Harapan Sebagai Keluarga Diplomat
Sepertinya masalah utama yang sering dihadapi adalah mengenai pendidikan anak terutama untuk jenjang sekolah dasar dan selanjutnya, karena tidak semua negara memiliki sekolah indonesia. Meskipun Jenna belum memasuki usia sekolah, tapi ada rasa khawatir bagi saya bagaimana pemilihan pendidikan Jenna nantinya. Mengingat perbedaan kurikulum di Indonesia dengan di luar negeri, dan jika masuk ke sekolah internasional di Indonesia sangat mahal biayanya. Harapan saya ada perhatian dari instansi yang terkait mengenai masalah ini, seperti misalnya ada sekolah untuk anak2 dari para diplomat ketika berada di Indonesia atau mungkin dengan solusi lainnya.

Ketika keadaan tidak mendukung atau tidak sesuai dengan harapan kita, beranilah berbuat sesuatu atau mencoba hal yang baru meskipun kita tidak pernah tau hasilnya seperti apa. Karena bisa jadi kita temukan kesenangan dan manfaat di dalamnya. Dan yang paling penting adalah selalu bersyukur dan percaya bahwa Allah selalu bersama kita dimanapun dan bagaimanapun kita berada.
—-
Interview oleh tim phdmamaindonesia.com kepada Gita.
Wow nggak kebayang suhunya sampai -40 derajat, trus makanan tradisional “Beshmarak” yang dari daging kuda, enakkah mbak? kalo bayanganku, daging kuda nggak seempuk daging domba yaa… Semoga sehat2 di Astana. Tks sharingnya
LikeLike
Terima ksh atas cerita dan infonya…salam kenal mbak dian…perkenalkan nama sy yuli kebetulan suami sy jg akan bertugas ke astana, bolehkah sy minta info ke mbak dian lwt japri?? Terima ksh sebelumnya
LikeLike