Pengalaman Hamil dan Melahirkan di Belanda

Oleh Karina Miatantri-Kienast

Disclaimer: Info tentang kehamilan dan melahirkan yang saya bagikan adalah murni pengalaman saya di Nieuw-Vennep dan Haarlem. Sistem dan pengalaman mungkin saja berbeda di kota lain atau periode yang berbeda.

Awal perjalanan hidup saya menjadi Mamarantau juga adalah awal saya menjadi seorang Mama, karena Freya adalah anak pertama saya dan suami. Praktis ketika saya hamil, saya harus mencari tahu tentang kehamilan dan melahirkan di Belanda. Untungnya sistem kesehatan di Belanda sangat meringankan dan sederhana bagi ibu hamil. Semuanya terstandardisasi sehingga saya tidak perlu bingung mencari di mana dokter kandungan atau rumah sakit yang terbaik. 

Secara umum, asuransi di Belanda sudah mencakup biaya kehamilan dan persalinan yang mendasar. Tapi rekomendasi saya, jika berencana hamil di Belanda, bisa mengambil asuransi yang cakupannya lebih prokehamilan, karena asuransi dasar tidak mencakup biaya seperti persalinan di rumah sakit tanpa kebutuhan medis, kursus kehamilan, kraampakket, konsultan laktasi. Ketika hamil, saya baru mengetahui ternyata asuransi saya tidak mencakup beberapa hal di atas. Memang bukan hal yang signifikan, tapi alangkah baiknya kalau sudah dicakup. Sayangnya saya baru tahu informasi tentang asuransi prokehamilan ini setelah melahirkan, karena awalnya saya kira semua asuransi sama saja. Untuk membandingkan cakupan antarasuransi, bisa menggunakan situs seperti ZorgKiezer atau Independer. 

First Thing First

Langkah pertama yang dilakukan setelah mengetahui kehamilan adalah menghubungi dokter keluarga yang kemudian merujuk saya ke bidan terdekat, yang jaraknya hanya 4 menit naik mobil dari rumah. Bidan lalu menjadwalkan saya untuk pertemuan pertama dan echo/USG minggu ke-11. Pada pertemuan pertama, saya agak kaget karena hampir semua bidan sangat muda dan tampil santai. Tim di klinik tersebut terdiri dari sekitar 10 orang yang mencakup bidan, echoscopist/sonografer, dan bidan magang. Mereka cukup dipanggil dengan nama depan saja dan berpakaian santai memakai jeans dan boots, tidak ada yang memakai atribut seperti jubah dokter. Saya dan suami diwawancara menyeluruh tentang latar belakang keluarga, kesehatan, gaya hidup dan riwayat penyakit. Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan echo, hari perkiraan lahir bayi dikalkulasi. 

Setahun sebelum kehamilan, saya menjalani operasi endometriosis untuk 2 kista saya dengan proses pemulihan yang lumayan traumatis. Setengah takut saya bertanya apakah masih bisa melahirkan per vaginam? Bidan menjawab, karena operasi hanya di ovarium dan tidak membuka rahim, masih bisa per vaginam. Lega sekali rasanya karena teman saya yang melakukan operasi yang sama di tahun 2020 lalu hamil disarankan untuk operasi caesar dengan alasan luka operasi yang masih tergolong baru.

Pemeriksaan kehamilan di Belanda dilakukan sebulan sekali, dan echo hanya di minggu 11, 20, 30 dan 36. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan di Jakarta. Setelah memasuki 36 minggu, pemeriksaan menjadi sekali seminggu, tetap tanpa echo. Kalau observasi lebih lanjut diperlukan, akan dirujuk ke dokter kandungan di rumah sakit. Karena saya sering sekali mendengar pengalaman teman di Jakarta yang melakukan operasi caesar terkait tali pusar yang melilit leher/badan bayi, saya bingung ketika bidan tidak pernah membahas hal ini di setiap echo. Akhirnya saya bertanya, apakah tali pusarnya melilit? Mereka menjawab kemungkinan besar iya, karena bayi bergerak aktif setiap hari. Tapi ini adalah sesuatu yang normal atau tidak menjadi pertimbangan mereka untuk melakukan operasi caesar. Lagi-lagi saya bersyukur dengan pendekatan Belanda yang memandang kehamilan sebagai proses kehidupan yang alami dan tidak memerlukan intervensi medis, kecuali diperlukan.

Memasuki trimester kedua, saya diminta memilih mau melahirkan di mana, di rumah sakit atau di rumah. Ibu saya sempat protes ketika saya ingin melahirkan di rumah. Masak mau di rumah? Kan tidak steril, tidak ada alatnya dan pasti berantakan? Sejalan dengan pendekatan alami Belanda terhadap kehamilan, sekitar 30% wanita di Belanda melahirkan bayinya di rumah. Ibu yang sebelumnya tinggal di rumah kami pun melahirkan bayinya di dalam rumah yang sekarang kami tinggali. Dengan usia rumah yang sudah lebih dari 120 tahun, entah berapa bayi yang sudah lahir di rumah kami. 

Meskipun lumayan populer, melahirkan di rumah bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan semua ibu hamil, karena kondisi ibu dan bayi harus sehat dan tidak ada kondisi medis yang menghalangi. Karena saya mendapatkan lampu hijau dari bidan dan kondisi janin sehat, akhirnya kami mantap memilih melahirkan di rumah. Pertimbangan kami adalah melahirkan di rumah adalah hal yang wajar di Belanda dan bidan berpengalaman dalam hal ini, nyaman karena tidak perlu pulang cepat-cepat dari rumah sakit (kalau tidak ada komplikasi, 3-4 jam setelah melahirkan di rumah sakit, kita sudah disuruh pulang), dan kalau saya perlu ke rumah sakit pun, jaraknya dekat. 

Untuk pantangan selama hamil, Belanda juga berbeda dengan Indonesia. Saya masih sering bersepeda selama hamil dan berkebun di Groenste Tuin. Makanan yang dilarang untuk ibu hamil di Indonesia seperti sayuran mentah justru diperbolehkan, tapi udang, tuna dan kerang tidak diperbolehkan. Saat trimester kedua, saya ngidam usus dan paru sapi, yang agak susah didapatkan di toko daging biasa. Untungnya banyak orang Indonesia yang menjual makanan jadi via internet, termasuk bacem usus dan paru. Jadilah jabang bayi kesampaian makan jeroan.

Trimester ketiga

Menyusun Birth Plan

Memasuki trimester ketiga, saya mulai menyusun birth plan yang isinya di mana saya ingin melahirkan, posisi melahirkan, suasana ruangan (misalnya ada musik atau lilin), dukungan bidan seperti apa, siapa yang hadir selama proses melahirkan, siapa yang memotong tali pusar, dll. Bidan memberikan banyak kebebasan bagi ibu hamil untuk menentukan proses kelahiran.

Contoh Birth plan

Pada hari kelahiran, saya diminta untuk menelpon mereka kalau kontraksi sudah berjarak 1 menit atau air ketuban pecah. Lalu, 1 bidan piket akan datang dengan 1 orang suster. Jadi, saya tidak tahu bidan mana dari klinik tersebut yang akan menemani proses kelahiran. Saya memilih 2 opsi persalinan, water birth di bath tub rumah atau menggunakan birth stool, kursi khusus melahirkan dengan lubang di tengah tempat duduknya. Kami juga meminta teman baik Holger yang kebetulan punya latar belakang pendidikan kebidanan untuk ikut hadir menemani. Untuk posisi mendorong bayi, ibu hamil bisa memilih mau jongkok, rebahan, berdiri dengan satu kaki naik ke kursi, posisi merangkak, bersender ke suami… Ganti-ganti posisi pun boleh, sesuai kenyamanan ibu.

Birth stool
Contoh penggunaan birth stool

Memilih Perlengkapan Bayi: Barang Seken, Mengapa Tidak?

Dalam memenuhi perlengkapan bayi, orang Belanda tetap memegang prinsip memakai ulang barang yang masih layak pakai. Teman-teman saya yang memiliki bayi menanyakan apakah saya mau memakai barang atau baju bayinya yang sudah tidak diperlukan, karena banyak barang yang hanya dipakai beberapa bulan. Begitu juga baju yang kadang hanya dipakai 1-2 kali sudah kesempitan. Tips lainnya adalah mencari perlengkapan bayi di Marktplaats, Facebook Marketplace atau pasar King’s day dengan harga yang sangat miring atau gratis. Selain itu, banyak supermarket, drugstore dan toko bayi yang menawarkan baby box gratis bagi ibu hamil, isinya popok, dot, botol susu, makanan bayi, sabun, sampo, dll. Alhasil, kami tidak membeli satu mainan pun, co-sleeper, baby nest dan kursi dipinjamkan teman, tempat tidur, lemari dan berbagai perlengkapan lainnya gratis dan dalam kondisi sangat baik. Beberapa barang ada yang beli baru, supaya tidak perlu memikirkan transpornya. Bukannya tidak sayang anak, tapi saya ingin menghindari konsumsi berlebihan karena barang bayi itu bagus dan menggemaskan semua. Kalau tidak ingat harga atau ukuran rumah yang kecil, rasanya semua barang mau dibeli.

Salah satu baby box gratis, isinya mulai dari popok, kaus kaki, botol susu sampai bir 0% Alkohol

My Birth Story: Beda 180o dari Birth Plan

Manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan. Rumah sudah kami bersihkan menyeluruh, lebih tepatnya suami yang sibuk gosok bath tub dan lantai ruang keluarga sampai bersih karena saya sudah susah (baca: malas) bergerak. Kraampakket yang berisi perlengkapan persalinan di rumah sudah siap di depan pintu. Pada pagi hari tanggal 9 Mei 2022, setelah tidak tidur sama sekali pada malam harinya, di usia kehamilan 39 minggu 5 hari, ketuban saya pecah di rumah dan warnanya hijau. Bidan piket langsung datang ke rumah untuk mengecek kondisi saya. Saya dan suami kemudian diberi penjelasan bahwa karena air ketuban hijau atau meconium, artinya ada peningkatan risiko persalinan, dan saya tidak boleh melahirkan di rumah, harus di rumah sakit. Sempat kecewa tidak jadi melahirkan di rumah, tapi saya dan suami berusaha tenang. Kami juga masih bisa ketawa senang dalam perjalanan ke rumah sakit karena sebentar lagi putri kami lahir.

Di rumah sakit yang jaraknya sekitar 30 menit dari rumah, saya dan suami diantar ke ruang persalinan yang bentuknya seperti kamar rawat inap biasa. Tim dokter dan bidan jaga memperkenalkan diri dan memberitahu bahwa kondisi vital bayi dimonitor dan saya akan mulai diinduksi untuk mempercepat kelahiran. Teman Holger datang dan kami semua masih bisa mengobrol santai, saya belum merasakan kontraksi yang signifikan. Awalnya saya mencoba menghafal nama bidan dan suster yang datang mengecek setiap 30 menit sekali, tapi ternyata mereka berganti shift setiap 3-4 jam. Jadi dari awal kedatangan sampai Freya lahir, mungkin saya bertemu dengan 5-6 bidan dan suster berbeda. Samar-samar dari kamar sebelah kanan dan kiri ibu-ibu yang teriak kesakitan sudah bukan seperti suara manusia lagi, ya ampun sesakit itu kah… Saya pasang lagu kencang dan birth affirmation audio untuk menjaga mood tetap santai dan siap menyambut bayi. 

A person lying in a hospital bed

Description automatically generated

Awal proses induksi, masih bisa senyum

Sekitar jam 8 malam, saya memasuki fase active labour dengan kontraksi yang wow, tidak bisa digambarkan dengan kata-kata haha… Kadang 10 menit tanpa jeda. Tentunya sudah tidak bisa ketawa lagi, tapi menangis juga tidak. Saya berusaha sekuat mungkin untuk melakukan teknik pernapasan Lamaze yang saya pelajari di kursus pranatal. Suami memegang tangan kiri, dan Eva teman kami memegang tangan kanan saya. Ajaibnya sampai Freya lahir saya tidak pernah sekalipun teriak seperti adegan melahirkan di film, karena dalam hati saya terus berpikir, “Mungkin setelah ini ada yang lebih sakit dari ini. Tahan ya, napas saja terus. Napas terus. Simpan tenaganya, nanti habis kalau teriak.” Sedang melahirkan pun saya sempat overthinking, pemirsa. Suami saya bingung, istrinya yang mudah mengaduh kalau tergores atau terbentur sesuatu kok ya sanggup melalui 9 jam kontraksi tanpa berteriak atau menangis. Kalau diingat kembali, sungguh salut dan terharu dengan diri sendiri.

Waktu menunjukkan jam 3 pagi. Sampai saat ini, sudah lebih dari 40 jam saya belum tidur. Kontraksi meningkat dan mereda terus menerus seperti ombak. Akhirnya saya mencapai bukaan 10, tapi urgensi untuk mendorong bayi masih lemah. Setelah mencoba mendorong dengan posisi rebahan selama 15 menit, bidan menanyakan apakah saya ingin mencoba mendorong di birth stool. Ternyata posisi duduk ini sangat memudahkan karena terbantu gravitasi ketika mendorong bayi secara vertikal ke bawah. Recommended banget posisi melahirkan ini.  Tiga puluh menit kemudian, pada pukul 4.55 pagi, lahirlah Freya dengan tali pusar yang melilit lehernya sampai 4 lilitan! Bidan sigap melepas lilitan tali pusar dan meletakkan Freya di lengan saya. Waktu serasa berhenti… Saya dan suami bergeming takjub memandang bayi mungil di gendongan saya, tangisnya memenuhi ruangan kamar yang temaram, dingin dan hening.

Bersama suster, asisten bidan, Freya, suami dan teman

Setelah Holger memotong tali pusar Freya dan kondisi bayi dipastikan sehat, Freya dikembalikan ke pangkuan saya dan tim bidan meninggalkan kami bertiga saja di dalam kamar untuk inisiasi skin to skin. Dipikir-pikir, jika hamil di Indonesia, bisa jadi saya harus operasi Caesar, karena ada 4 faktor risiko sebagai berikut pada kehamilan saya:

  1. Operasi endometriosis 1 tahun sebelum kehamilan;
  2. Tali pusar melilit leher 4 kali;
  3. Usia kehamilan (hampir) 40 minggu; dan
  4. Meconium atau air ketuban hijau.

Pascanatal dan Kraamzorg

Bidan menjelaskan, setelah sarapan selesai saya bisa mandi dan dipersilakan pulang. Sekitar jam 10 pagi, 5 jam setelah kelahiran Freya, kami sudah kembali di rumah. Rasanya luar biasa lelah dan mengantuk, sampai saat ini saya belum tidur 48 jam. Di rumah, hanya ada saya dan suami karena kedua orang tua belum datang ke Belanda dan tidak tahu selanjutnya harus bagaimana. Hanya bisa setengah tertawa, “Now what do we do with this baby?”

Muka-muka kurang tidur

Breastfeeding anytime anywhere

Untungnya perawat kraamzorg datang tidak lama kemudian. Bersyukur sekali Belanda punya fasilitas unik pascanatal yang disubsidi pemerintah, apa lagi bagi kami yang first time parents dan jauh dari keluarga. Kraamzorg adalah perawatan yang khusus membantu ibu dan bayi pada 7-8 hari pertama setelah melahirkan. Fungsi utamanya adalah memastikan pemulihan ibu secara efektif dan efisien serta bayi tumbuh dengan baik. Bantuan yang diberikan mulai dari, tapi tidak terbatas kepada:

  • mengecek kondisi fisik ibu dan bayi dan menghubungi bidan/dokter jika diperlukan;
  • mengajarkan cara merawat bayi seperti mengganti popok dan memandikan;
  • memasak sarapan dan makan siang untuk ibu;
  • membantu proses menyusui supaya lancar;
  • menjaga bayi ketika bapak dan ibu perlu istirahat;
  • menjaga area rumah tetap bersih dan higienis.

Perawat kraamzorg yang membantu masa postpartum

Berkat perawat kraamzorg, masa postpartum yang seperti roller coaster rasanya lebih ringan dan banyak terbantu. Di bulan pertama setelah kelahiran, kami tidak perlu banyak keluar rumah karena tim bidan dan posyandu pun melakukan check up ibu dan bayi ke rumah. Cuma kurang tukang pijat seperti di Indonesia yang bisa ke rumah, hanya bisa mengandalkan suami untuk pijat badan yang rasanya remuk setelah melahirkan.

Tradisi Jerman dan Belanda, memasang burung bangau di depan rumah kami saat Freya baru lahir

Berkaca ke pengalaman hamil dan melahirkan di Belanda, sebagai orang awam saya memandang Belanda menganggap kehamilan sebagai proses alami, dengan intervensi medis seminimal mungkin. Walaupun kadang terkesan sederhana dalam mengecek kehamilan, bidan sigap melakukan eskalasi ke dokter spesialis jika ada kekhawatiran tentang kondisi janin. Masa postpartum cukup menenangkan karena adanya kraamzorg dan kunjungan bidan ke rumah yang tidak hanya mengutamakan kondisi fisik, tapi juga dukungan mental bagi ibu. 

Satu hal yang saya dan suami sangat apresiasi di Belanda adalah betapa tingginya kebebasan bagi ibu hamil dan orang tua dalam merencanakan kelahiran dan merawat anak. Bidan atau dokter siap membantu tapi akan mundur teratur kalau kami tidak setuju dengan suatu hal. Untuk isu ini, pembahasannya mungkin perlu artikel Mamarantau lanjutan. Sementara sampai sini dulu. Terima kasih sudah membaca. Semoga sehat dan semangat selalu semua Mamarantau!

Groetjes uit Nieuw-Vennep,

Tantri

Advertisement

Merantau di Nieuw-Vennep, Belanda

Karina Miatantri-Kienast

Hoi allemaal, nama saya Karina Miatantri-Kienast, biasa dipanggil Tantri. Ibu 1 anak yang saat ini tinggal di kota kecil Nieuw-Vennep. Jarang sekali yang pernah mendengar nama kota ini di Belanda, meskipun lokasinya sangat strategis, dengan kereta hanya 10 menit ke Bandara Schiphol dan 25 menit ke Amsterdam atau Den Haag. Dengan sepeda juga bisa dengan mudah gowes ke Keukenhof, kebun tulip favorit turis yang selalu ramai setiap musim semi tiba.

Salah satu dari 3 jembatan ikonik Nieuw-Vennep rancangan Calatrava

Kota Kecil Nan Strategis

Di Nieuw-Vennep saya tinggal dengan Holger, suami saya yang berasal dari Jerman, dan Freya, putri kami yang lahir di musim semi 2022. Sebelum tinggal di sini, saya pernah merantau di beberapa kota Belanda pada 2 periode berbeda, yaitu Groningen dan Utrecht (2015-2016) dan Rotterdam (2020).

Namun, di luar periode waktu itu saya tinggal dan bekerja sebagai Analis Infrastruktur di kota kelahiran saya, Jakarta. Sebagai big city girl dari Jakarta, jujur saya mati gaya tinggal di kota kecil. Di ketiga kota Belanda tempat tinggal sebelumnya, banyak sekali pilihan konser musik, kelas tari, seni, festival dan area kota yang bisa dieksplor.

Setelah menikah dan pindah ke Nieuw-Vennep pada pertengahan 2021, saya sempat stres karena kotanya sangat sepi. Kota ini memang lebih ramah anak dan cocok untuk keluarga dibandingkan kota besar. Banyak ruang terbuka hijau dan aktivitas olahraga yang bisa dicoba.

Amsterdamse waterleidingduinen, hutan cagar alam dekat rumah yang penuh dengan hutan liar

Karena saya memutuskan untuk fokus mengurus anak dan berhenti bekerja kantoran tapi tetap ingin punya aktivitas di luar rumah, beberapa bulan pertama saya aktif mencari inisiatif lokal dan aktivitas yang sesuai minat saya. Ternyata di kota kecil dengan penduduk 31.000 jiwa ini, banyak kegiatan sukarela dan inisiatif yang menarik untuk berbagai usia. Berikut ini adalah beberapa di antaranya yang saya ikuti.

Berkebun Organik di De Groenste Tuin

Orang Belanda senang sekali berkebun dan merawat tanaman. Kebanyakan rumah di sini penuh dengan berbagai macam bunga dan tanaman hias warna-warni. Selain itu, banyak lahan tidur yang dimanfaatkan sebagai volkstuin (kebun rakyat). Lahan dibagi menjadi petak-petak kecil yang ditanami sayuran dan buah-buahan. Suatu hari saya tidak sengaja menemukan De Groenste Tuin, kebun organik yang mencari sukarelawan. Wah, kapan lagi bisa belajar menanam sayuran dan buah-buahan secara gratis. Lucu kan, saya yang dari negara agraris tropis tidak tahu cara menanam makanan sehari-hari.

Rumah kaca tempat menanam tomat, cabai, basil, dll.

Bersama sukarelawan kebun yang kebanyakan oma-oma Belanda, saya belajar cara menyiapkan tanah untuk musim tanam tahun depan, menutup lahan dengan daun supaya terlindungi dari salju dan embun es, mencabut rumput liar, hingga panen wortel, kentang, labu, cabe, akar seledri (celeriac), bawang perai (leek), arugula, bunga-bungaan yang bisa dimakan, dll. Setiap akhir hari, oma-oma selalu menawarkan sayuran hasil panen untuk saya bawa pulang. Jadi saya bisa mencicipi hasil kebun juga, yang beberapa belum pernah saya lihat atau makan sebelumnya. Selain sehat fisik dan mental karena seharian jongkok mengolah tanah di udara terbuka, saya pun bisa latihan Bahasa Belanda dengan para oma dan pengunjung kebun.

Pertama kali Freya bertemu dengan para Oma di Groenste Tuin
Setiap hari Minggu, hasil kebun yang semuanya organik dijual dengan harga terjangkau
Open day tahunan dengan live music dan olahan hasil kebun

Ketting Kledingruil: Tampil Modis dan Ramah Lingkungan

Sejak kuliah di Bandung di awal tahun 2000-an, saya senang thrifting ke Tegalega untuk belanja baju atau tas vintage. Saya juga salah satu pelanggan Chicalega, merek baju co-founder Mamarantau kita tercinta 😀 Bahkan sudah seperti personal buyer saja, Chica hafal model-model baju yang saya suka.

Saat kuliah S2 di Groningen, untuk pertama kalinya saya mengenal konsep clothing swap, yaitu acara dimana setiap peserta bisa membawa sejumlah pakaian untuk ditukar dengan pakaian peserta lain. Intinya, tukaran baju. Acara ini selalu super seru, karena bisa kenalan dengan peserta lainnya dan saling kasih saran. Namanya juga perempuan ya… Rumpi banget.


Lockdown akhirnya memunculkan versi baru clothing swap, yang dalam Bahasa Belanda disebut dengan ketting kledingruil (ketting = rantai, kleding = pakaian, ruil = tukar). Inisiatif ini menawarkan cara mudah untuk bertukar pakaian dengan orang lain di lingkungan/kota yang sama tanpa berkumpul di satu tempat. Ide ini muncul di Amsterdam pada tahun 2020, dan saking suksesnya, saat ini sudah berkembang menjadi 410 rantai aktif di seluruh Belanda. Cara bergabungnya mudah.

Pertama-tama, saya mencari dan mendaftar ke admin rantai yang berlokasi di Nieuw-Vennep. Lalu, nama, alamat dan nomor telepon saya dicantumkan di suatu app yang berisi daftar peserta rantai berikut dimana tas pakaian berada dan tanggal tas diperoleh. Peserta sebelum saya akan mengantarkan tasnya ke saya, setelah 3-4 hari saya akan mengantarkan tas tersebut ke peserta berikutnya. Setiap anggota harus menjaga kebersihan isi tas, dan kerahasiaan data pribadi anggota lainnya. Baju yang diperoleh pun tidak boleh dijual kembali. Semuanya bersifat sukarela dan saling percaya.

Di Grup Facebook Ketting Kledingruil Nieuw-Vennep, anggota bisa berinteraksi dan mengirimkan foto baju yang mereka peroleh dari tas atau yang dimasukkan ke dalam tas. Berkat ketting kledingruil, saya hampir tidak pernah membeli baju baru. Setiap tas datang, rasanya seperti kejutan kecil karena saya tidak tahu isinya apa. Mulai dari gala dress, sweater, celana jogging, syal, banyak sekali pakaian unik yang mungkin tidak pernah terpikirkan untuk dibeli kalau lihat di toko. Tapi ketika dicoba, eh ternyata bagus juga. Mulai dari Zara, H&M, sampai jaket Adidas pernah saya temukan di tas. Ketika saya ingin decluttering atau mengembalikan baju yang tidak ingin saya pakai lagi, saya masukkan ke tas berikutnya. Belanda bisa dibilang surganya pasar dan toko vintage. Di setiap kota ada kringloop (toko yang menjual barang bekas) atau weggeefwinkel (toko giveaway/gratis). Orang-orang di sini peduli dengan isu minimalisme, 3R (Reduce – Reuse – Recycle), konsumerisme berlebihan, zero waste, dan mereka tidak segan untuk membeli atau menggunakan barang, baju atau mebel bekas yang kondisinya masih bagus. Semakin vintage, malah semakin mahal!

Nomor tas ditandai dengan gantungan kunci

Beberapa contoh baju di dalam tas

Taalwandeling & Taalcafe

Banyak orang nonBelanda yang tinggal bertahun-tahun di Belanda tanpa bisa Nederlands/Bahasa Belanda, karena menurut data EF (English First) di tahun 2022, Belanda adalah negara dengan tingkat profisiensi Bahasa Inggris nomor 1 di dunia. Hampir semua orang bisa berbahasa Inggris, dan banyak yang mumpuni dalam bahasa Eropa lainnya seperti Jerman, Prancis atau Spanyol. Yang bisa Bahasa Indonesia juga banyak, lho! Jangan sembarangan julid di tempat umum, siapa tau mas/mbak bule di samping mengerti. Hehe.

Meskipun bisa Bahasa Inggris, saat saya pindah permanen ke Nieuw-Vennep, saya memutuskan ingin lancar berbahasa Belanda, hitung-hitung menambah keterampilan dan memperluas network. Lantaran sehari-hari selalu bicara dalam Bahasa Inggris dengan suami, maka saya harus latihan di luar rumah. Awalnya admin Ketting Kledingruil yang mengetahui bahwa saya ingin belajar Nederlands, merekomendasikan Taalwandeling (taal = bahasa, wandeling = jalan-jalan). Seperti namanya, kegiatan ini mempertemukan sukarelawan Belanda dan pemelajar/peserta, sambil berjalan santai keliling kota dan latihan Nederlands selama 1 jam setiap minggunya.

Kebetulan peserta dan sukarelawan Taalwandeling semuanya wanita. Kebanyakan sukarelawan adalah pensiunan, dan umurnya ada yang mencapai 80an tahun tapi masih segar bugar dan awet muda. Lansia di Belanda memang berbeda dengan stereotipe lansia yang mulai pikun atau kurang sehat. Saya sering bertemu dengan lansia yang sudah berumur 70-90 tahun tapi masih bergaya
muda, memakai sepatu boots, jalan dan bicara dengan lancar. Sebisa mungkin mereka akan melakukan semua aktivitas sendiri, dan tetap menjaga hubungan sosial dengan warga lain melalui kegiatan sukarela, berkumpul di senior centre yang ada di setiap lingkungan atau mengikuti klub-klub olahraga lansia, seperti jogging dan renang. Dalam hal kesehatan, saya salut sekali dan semoga bisa mencontoh orang Belanda yang cenderung aktif dan sehat sampai usia lanjut.

Peserta Taalwandeling yang antara lain berasal dari Kazakhstan, Turki, Belarusia, India, Kroasia, Eritrea dan tentunya Indonesia 😉

Setiap Taalwandeling diakhiri dengan kopi atau teh di Perpustakaan Nieuw-Vennep

Peserta Taalwandeling juga merekomendasikan saya ke kegiatan belajar bahasa lainnya, yaitu Taalcafe atau kafe bahasa. Taalcafe Nieuw-Vennep mengajak pesertanya untuk pertama-tama menonton berita mingguan dari NOS Journal, acara berita dengan Bahasa Belanda yang sederhana dan mudah dimengerti. Setelah itu, peserta dibagi menjadi 3 grup dengan fokus yang berbeda: 1)
membaca artikel berita dengan tingkat bahasa yang cukup tinggi; 2) belajar kalimat dan tata bahasa sehari-hari; atau 3) yang ingin mengobrol santai saja. Kita bebas memilih grup yang ingin diikuti di setiap pertemuan.

Taalcafe dijalankan oleh 3 sukarelawan antusias, Hans, Rob dan Anita dan diikuti oleh peserta dari berbagai negara. Takjub sekali rasanya ketika pertama kali mengikuti Taalcafe, ternyata Nieuw-Vennep yang sekecil ini penduduknya sangat beragam.

Taalcafe edisi Paskah bersama anak-anak yang sedang libur sekolah

Melalui kedua aktivitas ini, saya mendapat teman baru dari berbagai penjuru dunia, antara lain Polandia, Rusia, Kroasia, India, Kazakhstan dan Turki, dan juga negara-negara yang jarang didengar, seperti Ghana, Mauritius, Belarusia, Georgia, dan Eritrea.

Di Taalcafe saya juga berkenalan dengan Fezanne dari Mauritius yang baru melahirkan anak keduanya. Fezanne banyak memberi saran dan tips sebagai ibu hamil di Belanda dengan segala seluk beluk dan tradisinya yang berbeda. Di mana sebaiknya mencari perlengkapan bayi, merek popok yang murah meriah, memilih tempat melahirkan (di rumah atau di rumah sakit), apa yang dimaksud dengan consultatiebureau, kraamzorg dan berbagai istilah asing seputar kehamilan. Kami berdua berusaha keras untuk berkomunikasi dengan kosa kata Bahasa Belanda yang terbatas. Setelah 2 jam mengobrol, saya bertanya, “Kamu bisa Bahasa Inggris nggak, sih?”, “Bahasa Inggris itu salah satu bahasa resminya Mauritius, say.”, jawab Fezanne. “Lah dari tadi kita ribet banget ngobrol pakai Bahasa Belanda ya!”, tawa kami berdua.

Cerita lucu dengan Fezanne ini saya sampaikan di Taalcafe, dan akhirnya saya diminta jadi perwakilan untuk berbagi tentang Taalcafe pada acara ulang tahun Taalhuis Haarlemmermeer yang ke-5 di bulan Maret 2022 dengan penonton yang jumlahnya 100-200 orang. Wah, deg-degan sekali rasanya harus pidato Nederlands di depan banyak orang. Bersama Hans, administrator Taalcafe
Nieuw-Vennep, saya bercerita tentang aktivitas Taalcafe, suka dukanya pindah dari megapolitan ke kota kecil di Belanda, dan manfaat yang saya peroleh sejak bergabung di Taalcafe, terutama sebagai ibu hamil. Meskipun keringat dingin dan di atas panggung saya banyak nge-blank, tapi penonton terhibur dan (sepertinya) mengerti apa yang saya sampaikan. Setelah pidato, beberapa penonton mengapresiasi usaha saya dan ada juga yang bicara dengan Bahasa Indonesia. Belanda memang tidak kekurangan inisatif untuk berkenalan dengan sesama warga atau belajar bahasa. Masih banyak kegiatan lainnya yang bisa disesuaikan dengan waktu luang dan minat kita.

Pidato Bahasa Belanda pertama kalinya setelah 9 bulan tinggal di Nieuw-Vennep

Menari Tradisional dan Kontemporer

Ada beberapa skill orang Indonesia yang menguntungkan jika dimiliki di Belanda, antara lain memasak dan menari. Masakan dan budaya Indonesia sangat digemari masyarakat Belanda. Warung dan restoran Indonesia ada di mana-mana, bahkan supermarket di sini menjual makanan jadi seperti nasi kuning, soto medan, atau rendang. Berhubung saya tidak jago masak tapi hobi menari, saya berjodoh dengan grup tari Indonesia yang tidak jauh dari rumah. Tidak cuma tradisional, tapi tari kontemporer dan a la Las Vegas Gala juga kami sanggupi. Grup tari Indonesia di Belanda cukup banyak dan laris manis hingga ke negara-negara tetangga. Saat musim panas adalah periode tersibuk bagi grup-grup tari karena banyaknya pasar malam dan festival. Jadi, untuk yang suka menari, bisa mencari grup tari terdekat atau bahkan memulai grup sendiri.

Mewakili Indonesia di Embassy Festival 2022 dengan gabungan tari-tari nusantara

Ceritanya bersambung di part berikut tentang menjalani kehamilan dan persalinan di Belanda ya!

Merantau di Groningen, Belanda

Halo! Nama saya Monika Oktora, biasa dipanggil Monik. Ibu dua anak, yang juga sedang sekolah. Sejak kecil memiliki hobi menulis, membaca, dan akhirnya memiliki blog dan buku sendiri. 

Kami merantau ke Groningen sejak tahun 2014. Sebelumnya saya dan keluarga bermukim di Bekasi. Saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan setelah melahirkan anak pertama saya. Setelah anak saya berusia 1.5 tahun, saya baru memberanikan diri untuk melanjutkan studi S2. Suami sangat mendukung rencana tersebut, bahkan ia yang lebih semangat mendorong saya untuk lanjut kuliah. 

Alhamdulillah saya diterima di program MSc. Medical Pharmaceutical Science, University of Groningen dengan beasiswa dari Indonesia. Saya dan keluarga pun hijrah ke Negeri Kincir Angin. Saat itu, suami pun berusaha mencari peluang kerja atau sekolah juga. Walaupun tidak mudah, tapi dalam waktu yang relatif tidak lama, akhirnya suami mendapatkan pekerjaan di bidang yang sama dengan pekerjaan yang ia tinggalkan di Jakarta. Mungkin itu adalah berkah dari ridanya suami dalam mendukung pilihan saya untuk sekolah lagi, jauh dari kampung halaman. 

Di pertengahan tahun 2016, saya menyelesaikan studi S2 saya. Sementara suami masih melanjutkan pekerjaannya. Saat itu yang terpikir oleh saya adalah untuk mengambil “jeda” setelah bergulat dengan kesibukan studi plus mengurus rumah tangga. Suami kembali mengingatkan saya untuk tidak terlalu lama terbuai oleh waktu luang. Selagi ada kesempatan bagus di rantau, maka sebagai muslim yang baik, harus juga tetap berikhtiar yang terbaik. Saya pun akhirnya dimotivasi oleh suami untuk mengurus aplikasi S3. Saya mencari profesor di universitas yang sama, hanya berbeda departmen dengan bidang S2 saya dulu. Kali ini keilmuan yang saya tuju sangat terkait dengan dunia farmasi klinik, bidang yang saya geluti sejak S1 sampai bekerja (saat di Indonesia).

Saat saya mengerjakan proposal penelitian S3 dan mencari beasiswa, Allah memberikan rezeki hamil anak kedua. Alhamdulillah acceptance letter dari profesor dan beasiswa keluar berurutan sebelum saya melahirkan anak kedua saya. Empat bulan setelah melahirkan, saya harus sudah memulai studi S3 saya. Maret 2018, adalah titik balik dari perjalanan saya sebagai ibu sekaligus PhD Mama. Rasanya Masya Allah, campur aduk, tidak bisa dituliskan. Sampai sekarang saat saya kilas balik ke momen tersebut, saya hanya bisa membatin dan mengucap zikir.

“Kok bisa yah ini emak-emak anak dua mau kuliah S3? Gak kebayang apa yang di depan kayak gimana? Kebayang repot dan stresnya? Astagfirullah … Subhanallah …” 

Mengikuti PhD thesis pitch competition

Qadarullah, Allah Maha Baik, dalam segala keterbatasan dan kekurangan saya selama empat tahun studi PhD ini, banyak hikmah dan berkah yang mengiringi. Insya Allah jika diizinkan, saya akan menyelesaikan PhD saya tahun ini. 

Suasana defense PhD di University of Groningen (saat saya menjadi paranim dari calon Doktor)

Kemudahan dalam Menjalani Kehidupan di Groningen

Belanda (katanya) lebih homey untuk bermukim dibandingkan dengan negara lain di Eropa. Sebabnya mungkin bisa karena Ada hubungan sejarah dengan Indonesia sejak zaman kolonialisme dulu. Ada memori, peninggalan sejarah, kultur yang terbawa dan tercampur antara Indonesia dan Belanda.

Mencari makanan Asia dan Indonesia tidak susah. Ada toko yang menjual perlengkapan dan bahan makanan Asia, khususnya Indonesia, hampir di tiap kota besar di Belanda. Ada restoran dan rumah makan Indonesia, terutama di kota besar seperti Den Haag, Amsterdam, dan Rotterdam. Jadi kalau kangen makanan Indonesia, ya bisa jajan. Asal jangan sering-sering kalau tidak mau terkena kantong kering, hehe. Jadi selama ada bahan makanan Asia, kita bisa masak sendiri. 

Selain makanan Indonesia, mencari bahan makanan halal juga mudah. Ada gerai toko daging halal milik orang Turki atau Maroko. Untuk muslim Insya Allah aman.

Orang-orang Belanda lebih terbuka dalam berbahasa Inggris. Tidak seperti Prancis dan Jerman yang sangat ketat bagi pendatang untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa mereka, Belanda lebih terbuka. Hal ini yang membuat saya dan suami menjadi terlalu nyaman untuk tidak belajar bahasa Belanda secara intens.  

Banyak mukimin dan pelajar Indonesia. Khususnya di kota tempat tinggal saya, Groningen. Groningen ini adalah kota pelajar, dan  sangat multikultur. Komunitas orang Indonesia juga cukup banyak. 

Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke-76🇮🇩 – Gak ada pernak-pernik Indonesia, apalagi bendera 🇮🇩. Tapi gak papa. Bisa pakai bendera 🇳🇱 yang bagian bawahnya dirobek. Biar dramatis kayak pahlawan yang melakukan perobekan Bendera Londo di Surabaya 76 tahun silam😅

Tantangan hidup di Belanda

Mandiri. Apa-apa harus dikerjakan sendiri. Tidak ada orang tua dan saudara yang biasanya ada di lingkungan dekat kita, apalagi asisten rumah tangga yang biasanya meringankan beban rumah tangga. Tidak ada warteg dan warung makan padang yang tinggal beli, tidak ada g*food, g*send, atau fasilitas online lainnya yang mempermudah urusan dunia dengan hanya menggeser jari di layar ponsel.  

Transportasi. Di Groningen, paling enak ke mana-mana dengan sepeda: murah, cepat, dan nyaman. Asal: punya skill bersepeda yang lumayan, dan ingat jalan, atau bisa membaca peta. Skill bersepeda termasuk kemampuan utama kalau mau tinggal di Belanda. Ada jalur khusus untuk bersepeda, hal ini membuat kita menjadi sangat nyaman dan aman.

Ada pilihan transportasi lain seperti bus dan trem (untuk dalam kota), dan ada juga kereta (untuk antar kota). Tentunya gak ada ojek motor atau mobil online yang bisa dipesan kapan saja dengan harga terjangkau. Jadi kalau buru-buru, biasanya ya langsung ambil sepeda dan ngebut. Kalau cuaca lagi dingin (apalagi hujan), harus siap dengan jaket tebal, sarung tangan, kupluk, syal, dan kalau perlu jas hujan, biar tidak beku di jalan.

Negara empat musim. Sebagai manusia tropis yang dimanjakan kehangatan stabil matahari sepanjang tahun. Saya cukup merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan cuaca Belanda yang lebih sering berada di bawah sepuluh derajat celcius. Belum lagi hujan yang mendominasi hampir 65-70% sepanjang tahun di Belanda. Lalu saat musim dingin yang, hari terangnya pendek (mungkin sekitar 6-7 jam hari terasa terang), dan musim panas yang hari gelapnya pendek (paling pendek saat pukul 3.30 pagi sudah subuh, dan matahari baru terbenam di pukul 10 lebih).

Cherry Blossoms in Amsterdam!

Pandemi di Belanda

Selama pandemi sejak 2020 lalu, banyak sekali hal yang berubah, dan kami seperti beradaptasi lagi. Ada naik turun ketatnya dan pelonggaran aturan, tergantung pada angka kasus dan perbaikan kondisi. Ada Lock down, pembatasan di bidang horeca, jam belanja, sampai pada penyesuaian dengan work from home, serta school from home. Ada saat-saat tersulit adalah ketika lock down di puncak pandemi pertama dan kedua. Saat semuanya harus di rumah, anak-anak sekolah dari rumah, serta saya dan suami kerja dari rumah. Tidak terbayangkan hebohnya rumah saat itu. Untunglah supervisor saya juga mengerti dengan keadaan kami, well, hampir semua orang maklum dengan kondisi saat itu. 

Pemerintah juga sangat mengutamakan pendidikan anak, sehingga sektor inilah yang mendapat perhatian khusus ketika pandemi. Saat semua toko, horeca, dan tempat kerja masih ada pembatasan, sekolah anak usia 4-12 tahun adalah yang pertama kali dibuka, agar anak-anak bisa tetap sekolah dengan baik. Sekolah online saja dirasa tidak bisa mengcover pendidikan tatap muka. Tentunya dengan aturan yang ketat dan perhatian yang sangat, maka sekolah pun diusahakan tetap berjalan seperti biasa. 

Semua pengalaman berharga selama merantau di Belanda ini menjadi sayang jika saya tidak mengabadikannya menjadi sebuah buku. Akhirnya saya tuliskan pengalaman dan petualangan kami sekeluarga dalam buku. Alhamdulillah buku solo pertama saja berjudul Groningen Mom’s Journal, diterbitkan oleh Elexmedia Komputindo di awal tahun 2018.

Menyusul buku solo kedua saya berjudul The Power of PhD Mama, diterbitkan oleh NeaPublishing di awal tahun 2021. Semoga buku ketiga mengenai kisah perantauan kami akan bisa sampai ke tangan pembaca di akhir tahun nanti, aamiin.

Pendidikan dan Sekolah Anak di Belanda

Dari segi pendidikan secara umum, Alhamdulillah semuanya terpenuhi dan mudah. Pendidikan wajib mulai dari umur 4 tahun, dengan total 8-years of primary education. Pendidikan di Belanda itu gatis, accessible, dan tidak ada perbedaan mencolok antara tiap sekolah, dalam segi kualitas. Mungkin ada perbedaan kualitas atau variasi pengajaran, tapi menurut hemat saya, tidak sangat jomplang, jika dibandingkan dengan sekolah negeri vs sekolah swasta di Indonesia. 

Tipe pendidikan anak di sekolah dasar sangat menstimulasi anak untuk berpikir kritis. Tidak seperti pengalaman saya dulu ketika sekolah, yang lebih konvensional, di mana guru mengajar di depan, tapi tidak banyak praktek dari materi yang didapat. Ada banyak diskusi antara guru dan murid. Murid diajak untuk bertanya, dan memberikan pendapat. Guru juga menyesuaikan dengan pace setiap anak. Tidak pukul rata ‘one fits for all’. Rapot atau laporan akhir semester juga sangat komprehensif. Tidak berupa angka, tetapi ada penjelasan mengenai perkembangan dan kemampuan si anak di tiap-tiap bidang mata pelajaran utama. Ada juga catatan mengenai sikap dan soft skill si anak, seperti bagaimana cara dia bergaul, bagaimana ia bisa memahami situasi dan petunjuk saat belajar, bagaimana cara ia bekerja sama, dan cara dia bekerja. Mungkin karena jumlah anak dalam satu kelas tidak terlalu banyak (maksimal yang pernah saya tahu 27 anak dalam satu kelas) membuat lebih mudah bagi guru dan sekolah untuk mengatur dan memberi perhatian khusus pada tiap murid. 

Playing with friends is just as important as learning

Kadang saya bertanya-tanya, apa sih yang paling penting dalam tangga edukasi anak di usia TK-SD seperti Runa dan Senja? Pikiran saya melayang saat saya masih berseragam sekolah dulu. Paradigma yang ada adalah: 1. Pilih sekolah terbaik, 2. Jadi yang terbaik di sekolah. Katanya the better you do at school, the further you’ll go in life and be success. Jadi gak heran kalau di Indonesia orang tua berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik dan mendorong anaknya untuk berprestasi. Yang tentunya gak salah juga.

Tetapi, saya baru ngeh saat Runa dan Senja mulai sekolah di Belanda, bahwa it isn’t all about getting A grades or scoring > 80, and getting into the UGD (Universitas Gadjah Duduk). Pendidikan seharusnya memiliki tujuan jauh di atas itu. It’s also about the way of children’s well being and their development as an individual.

Yes, being smart is always good, but being survive yet happy is important. Untuk bisa survive, pintar aja gak cukup. Soft skills dan social skills penting utk ditanamkan di awal usia sekolah anak: How to make friends, be nice to them, menyelesaikan masalah bersama, bergantian saat bermain, berbagi, menjadi mandiri, be patient, be confident, dll.

Tapi tentu saya gak bisa membandingkan begitu saja edukasi di Indo dan di Londo. Sebab di Londo pendidikan bersifat merata, kaya atau miskin, anak seleb atau petani, Londo tulen atau imigran seperti kami, semua bisa dapat fasilitas sama. Sementara di Indo, orang kalangan ekonomi menengah ke bawah harus berusaha lbh keras untuk mengakses pendidikan yg baik. Belum sampai ke arah development berkelanjutan tadi. Namun semoga akan menuju ke arah yang lebih baik, aamin.

Di kelas Runa, setiap minggunya ada giliran menjadi ‘kind van de week’, atau kid of the week. Jadi si anak mendapatkan “perlakuan istimewa” dari guru dan teman-temannya. Apa saja itu? Misalnya si anak boleh duduk di sebelah sang guru saat sesi kringetje (duduk dalam lingkaran), bantu guru mencuci apel untuk dimakan saat istirahat. Kalau di esde saya dulu mungkin bantu hapus papan tulis kali yah, wkwk.. (Semacam piket dong😅).

Tapi yang istimewanya di pekan tsb, anak yang bersangkutan boleh mendapatkan testimoni dari teman-temannya. Guru meminta anak-anak untuk memikirkan dan menuliskan hal baik apa tentang si anak yg menjadi kid of the week. Runa juga pernah mendapatkan kesempatan itu. Suatu kali ia membawa pulang tumpukan kertas berisi tulisan tangan teman-temannya. Runa bilang dia senang banget baca tulisan-tulisan itu, terutama dari Sara, yang bilang “Ik vind jouw hoofddoek mooi” (Kupikir jilbabmu bagus).

Runa memang sering pakai jilbab ke sekolah, kami gak memaksakan, hanya membiasakan. Kalau Runa mau ya bagus.. apalagi pas winter kemarin malah enak pakai jilbab, anget. Kadang Runa juga suka minta pakai jepit rambut atau dikepang dua, ya gakpapa. Setelah, membaca komentar Sara, Runa jadi semangat pakai jilbab ke sekolah, Masya Allah.

Kalau dari segi fasilitas di luar sekolah atau pendidikan formal, yang paling membuat kami merasa sangat terbantu adalah 1. Keberadaan taman bermain/playground  (dalam bahasa Belanda kami menyebutnya speeltuin) yang terjangkau, ada di mana-mana, dan 2. Fasilitas perpustakaan anak/umum yang lengkap (kami menyebutnya bibliotheek).

Speeltuin

Pemerintah Belanda sepertinya mengalokasikan cukup dana untuk investasi pembuatan taman bermain. Taman bermain menjadi tempat yang mudah ditemukan di lingkungan pemukiman warga, setidaknya di Groningen ya. Sebagai contoh, di lingkungan tempat saya tinggal, dalam lingkup (katakanlah satu RW) bisa ditemukan satu taman bermain. Jika anak-anak ingin mencari alternatif taman bermain lainnya, tinggal cari dalam lingkup 500 meter sampai 1 kilometer, pasti ketemu taman bermain lain.

Gimana anak-anak tidak puas bermain di luar? Fasilitas taman bermainnya pun didesain dengan baik, kuat, dan aman untuk anak-anak kecil bermain di sana. Belum lagi di pusat perbelanjaan, juga dengan mudah ditemukan arena yang kids friendly. Saya dengar dari teman saya yang tinggal di kota besar seperti Amsterdam, menurutnya juga tidak sulit mencari arena bermain di sekitar tempat tinggal.

Bibliotheek

Saya masih ingat ketika anak kedua kami, Senja, yang lahir di Belanda, menginjak usia tiga bulan, kami medapatkan surat khusus yang menyatakan sang bayi sudah dapat mendaftarkan diri ke perpustakaan sebagai anggota. Rasanya spesial sekali mendapatkan surat yang dikirimkan oleh pemerintah kota bekerja sama dengan posyandu. Ada voucher di dalam surat tersebut untuk dibawa ke bibliotheek dan ditukarkan dengan kartu anggota beserta Boek Start, yaitu berupa seperangkat koper kecil berisi buku untuk bayi. Keanggotaan perpustakaan pun gratis sampai anak berusia 18 tahun. Tidak lupa beserta paket tersebut juga ada petunjuk bagi orang tua untuk menikmati aktivitas membaca bersama anak.

BoekStart

Memang anak-anak di Belanda dimanjakan dengan keberadaan perpustakaan yang berada di setiap wijk (distrik, katakanlah setara dengan kelurahan di Indonesia). Setiap anak bisa meminjam buku dengan gratis! Maksimal buku yang bisa dipinjam bisa sampai 15 buku dengan batas peminjaman sekitar tiga minggu. Untuk mengembalikan buku tersebut bisa ke bibilotheek manapun di seluruh penjuru kota.

Perpustakaan yang menurut anggapan banyak orang erat dengan suasana yang membosankan pun dijadikan tempat yang menarik untuk anak. Ada spot khusus membaca yang nyaman baik bagi anak maupun bagi orang tua yang ingin membacakan buku untuk anak. Koleksi bukunya pun lengkap dan menarik mulai untuk anak bayi sampai usia remaja. Perpustakaan dan buku didaulat untuk menjadi sahabat bagi anak dari sejak kecil. Jadilah, sampai saat ini, mengunjungi perpustakaan adalah salah satu bentuk rekreasi untuk Runa dan Senja.

Tempat yang menarik dikunjungi di Groningen dan sekitarnya

Groningen bukanlah kota besar, atau kota utama untuk dikunjungi para turis, seperti Amsterdam, Den Haag, atau Rotterdam. Meskipun begitu, ada beberapa tempat spesial untuk kami kalau ada kerabat atau teman yang berkunjung. Walaupun tidak semewah dan seterkenal tempat-tempat lain, untuk kami tempat ini favorit.

Martini Toren, Ikon kota Groningen

Natuurgebied Kardinge

Kardinge adalah salah satu cagar alam lokal di Groningen. Di sekitarnya ada padang rumput, pohon-pohon tinggi berjejer, sungai, dan hewan-hewan ternak yang bebas merumput. Ada track khusus untuk pejalan kaki dan penyepeda. Biasanya orang-orang berjalan santai atau jogging di sana. Semakin menarik, di sekitar sana ada kincir angin tua khas Belanda. Kincir angin ini termasuk monumen yang dilestarikan. Kita bisa mengunjungi ke dalam bangunan kincir angin ini juga lho (ada jam berkunjung, biasanya penjaganya yang membukanya).

Forum Groningen

Salah satu ikon kebanggan Groningen, dan juga tempat favorit kami adalah Forum Groningen. Bangunan 10 lantai ini adalah cultural center terbesar di Utara Belanda.

Forum Groningen

Bangunan ini baru diresmikan tahun 2019. Fasilitasnya sangat lengkap, mulai dari perpustakaan, kafe, tourist information and shop, cinema, arena belajar, tempat meeting, tempat eksibisi, sampai ada fancy restaurant di teras lantai paling atas. Dari lantai paling atas, kita bisa melihat pemandangan kota Groningen. 

Anak-anak paling betah kalau diajak ke Forum Groningen, soalnya mereka bisa memilih banyak buku untuk dibaca dan dipinjam, sambil menempati spot favorit mereka di sana. Ada juga fasilitas edukasi interaktif seperti machine learning screen, medialab, dan game interaktif. 

Reitdiephaven rumah warna-warni

Reitdiephaven adalah pelabuhan kecil di tepi barat laut kota Groningen (haven = pelabuhan). Letaknya dekat dengan rumah kami. Sebenarnya pelabuhan ini bukan destinasi turis, tapi karena di sekitar pelabuhan ini ada rumah-rumah bergaya Skandinavia dengan warna-warni cerah, jadilah tempat ini menjadi sangat menarik untuk menjadi lokasi foto, sangat instagrammable, katanya. Dari sana kita juga bisa menyewa perahu untuk mengelilingi sungai dan kanal di Groningen. 

Komunitas Indonesia di Groningen

Yang paling dirindukan ketika merantau tentunya adalah kehangatan dan guyubnya orang Indonesia. Alhamdulillah di Groningen dan Belanda ada komunitas-komunitas Indonesia sebagai penyambung tali silaturahmi sesama para perantau. Kami saling membantu, berkumpul, sampai membuat  event-event spesial untuk komunitas dan untuk umum juga. 

De Indonesian Groningen Moslem Society (DeGromiest) 

DeGromiest adalah organisasi komunitas muslim yang tinggal di Groningen. Dulu komunitas ini dibentuk oleh beberapa pelajar dan mukimin yang belajar dan bekerja di Groningen. Awalnya mereka mengadakan pengajian rutin, lama-kelamaan dirasa perlu untuk membuat organisasi untuk memayungi kegiatan-kegiatan Islam di Groningen, maka dibentuklah DeGromiest. Anggotanya juga bervariasi, kebanyakan memang pelajar, tapi juga ada masyarakat keturunan Indonesia-Belanda, Suriname, atau yang menikah campur dengan warga negara Belanda. Semakin lama komunitas orang Indonesia ini semakin besar, kegiatan-kegiatan pun semakin terstruktur. Ada kegiatan pengajian rutin, Tadarus Keliling (DarLing), Pengajian Anak (DeGromiest Kinderen), Silaturahmi akbar, penampungan infaq dan sedekah (Gerakan Lima Euro/GALIRO), sampai kegiatan mewadahi Jumatan per beberapa pekan khusus untuk orang Indonesia (kami menyewa aula sendiri). Tidak lupa ada kegiatan berbuka bersama dan tarawih ketika Ramadan, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Berikut web dan instagramnya: https://degromiest.nl/; https://www.instagram.com/degromiest/.

Perhimpunan Pelajar Indonesia di Groningen (PPIG)

Pergerakan pelajar memang sudah banyak diusung sejak zaman Moh. Hatta dan rekan-rekan sekolah di Belanda. Ternyata semangat berhimpun ini juga awet sampai sekarang. Di Belanda ada Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda yang terpusat di Den Haag. Di tiap-tiap kota yang ada universitasnya, juga terbentuk PPI yang solid dibangun oleh para pelajarnya. PPI Groningen merupakan salah satu PPI dengan anggota terbanyak di Belanda. Mulai dari mahasiswa S1 sampai S3, semuanya terhimpun dalam PPI. Kegiatan PPI Groningen yang biasanya rutin diselenggarakan setiap tahun, dan tentunya paling ditunggu-tunggu adalah event olahraga satu Eropa, GroensCup. Dalam event ini, PPI kota lain di Belanda, di Jerman, Prancis, bahkan UK juga turut ikut serta berlomba. Ditambah peserta dari komunitas Indonesia di berbagai kota di Belanda juga mengirimkan kontingennya. Perhelatan olahraga terbesar Indonesia di Belanda ini memperebutkan piala juara umum dan juara-juara tiap cabang olah raga, seperti futsal, basket, badminton, voli, tenis meja, panco, sampai game FIFA. Berikut web dan instagramnya https://ppigroningen.nl/; https://www.instagram.com/ppigroningen/ 

Forum Komunikasi (FORKOM) Muslim di kota-kota Belanda

Komunitas pengajian kota orang Indonesia semakin banyak dan bertumbuh di Belanda. Di tiap kota, bisa ditemukan komunitas pengajian kota, seperti halnya DeGromiest di Groningen, ada pengajian kota di Eindhoven, Utrecht, Maastricht, Amsterdam, Den Haag, Delft, Wageningen, Enschede, Rotterdam, dan lainnya. Komunitas ini menyebar dari ujung utara sampai selatan Belanda. Untuk menghimpun komunitas-komunitas ini, maka pada tahun 2021, didirikanlah Forum Komunikasi Muslim Indonesia di Belanda. Berikut Instagramnya https://www.instagram.com/forkom.nl/

Berkenalan lebih lanjut dengan Monik melalui: Instagram @monikaoktora monikaoktora.com