Membesarkan Anak Bilingual

seerika_16Rika Melissa – Indonesian woman, currently live in Kerava, Finland with two bilingual sons, a Finns husband, and trying (hard) to learn Suomi language. Always left her heart in Jakarta.

Tentang Rika dan keluarga. Nama saya Rika Melissa, perempuan asli Indonesia yang saat ini sedang tinggal di Finlandia, tepatnya di kota Kerava. Hingga saat ini saya sudah merantau selama 12 tahun, dimulai dengan status pelajar program master di Jerman, kemudian kerja di Singapura, lalu setelah menikah, lanjut ikut suami yang jadi pelajar di Belanda dan saat ini menetap di Finlandia. Tapi kalau hati sih jangan ditanya, menclok di Jakarta terus.

Kami tinggal di Kerava yang dapat ditempuh dalam waktu 25 menit dengan kereta dari Helsinki

Jika ditanya soal hobi biasanya saya bilang hobi saya menari dan nonton film, tapi yang sebenarnya sering saya lakukan adalah makan dan tidur (hehe).

Suka jalan-jalan juga, ini saat di Old Town, Tallinn, Ibu kotanya Estonia yang bisa ditempuh dengan kapal ferry dari Helsinki.

Saat di Old Town, Tallinn, Ibu kota Estonia yang sangat cantik dan salah satu tempat wisata favorite orang Finlandia -bisa ditempuh dalam waktu 2 jam dengan kapal dari Helsinki.

Suami saya, Mikko, adalah warga negara Finlandia yang selalu punya mimpi untuk bisa hidup dan menetap di Indonesia. Kami bertemu di Istanbul waktu  sama-sama sedang liburan di kota cantik tersebut. Lima tahun setelah pertemuan tersebut, kami menikah dan saya diboyong ke Leiden, Belanda untuk menemani Mikko  yang saat itu sedang melanjutkan pendidikan di Leiden University. Sebenarnya tinggal dan menetap di Finlandia bukan bagian dari rencana kami waktu menikah dulu. Kami jatuh cinta pada Leiden, pada Belanda yang cantik, ramah dan penuh kehidupan. Rencananya kami ingin mencari kerja di Belanda jika Mikko telah merampungkan kuliahnya. Atau, kembali ke Indonesia, mencari kerja atau memulai bisnis kecil-kecilan di sana sambil berpetualang keliling pulau-pulau cantik di Indonesia.

Bersama Mikko

Bersama Mikko

Tanpa direncanakan saya hamil tiga bulan setelah menikah. Panik! Keuangan kami pas-pasan sekali waktu itu. Hidup dari uang beasiswa Erasmus-nya suami yang gak akan cukup untuk menanggung satu nyawa lagi. Rencana untuk tinggal di Belanda pun dibatalkan. Bagaimana bisa cari kerja kalau saya hamil begini? Pulang ke Indonesia juga tidak mungkin karena berarti butuh dana yang besar untuk biaya lahiran di RS. Akhirnya kami mengepak koper dan pindah ke Finlandia dengan pertimbangan Mikko akan lebih mudah cari kerja di negaranya sendiri, ditambah dengan berbagai benefit yang bisa kami dapat jika menjadi penduduk Finlandia.

Suomenlinna, pulau kecil nan cantik yang masih merupakan bagian dari kota Helsinki

Suomenlinna, pulau kecil nan cantik yang masih merupakan bagian dari kota Helsinki

Untuk sementara saja, pikir saya waktu itu. Tapi kenyataannya sudah 5 tahun lebih kami di Finlandia dan sudah dikaruniai dua anak laki-laki, Kai (5 tahun) dan Sami (3tahun).

Menurut Mikko, yang lahir dan besar di Finlandia, negaranya itu, sepi, dingin, gelap dan membosankan. Apa yang dibilang Mikko memang benar adanya, tapi kok, biarpun begitu, tinggal di Finlandia ini bikin betah? Dibalik negatif-negatifnya (yaa dinginnya yang seperti di kulkas), Finlandia juga merupakan negara yang aman dan nyaman, yang social security sistemnya sungguh jawara hiji seng ada lawan, pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak gratis dan terjamin kualitasnya, udaranya masih sangat segar bebas polusi, banyak ruang terbuka tempat anak bebas berlari, dan Finlandia yang tertutup salju ternyata cantik sekali. Seperti di negeri dongeng. Harapan untuk kembali ke Indonesia masih disimpan dalam hati. Tapi saat ini kami sekeluarga berbahagia di kota kecil bernama Kerava.

Kerava winter wonderland

Kerava winter wonderland

Kerava di musim gugur

Kerava saat autumn

Pusat kota Kerava

Pusat kota Kerava

Berkomunikasi dengan Anak Bilingual. Sebagai pelaku kawin campur, saya dan Mikko pastinya berdiskusi bagaimana kami akan membesarkan anak-anak, salah satu yang penting untuk dibahas tentunya: bagaimana kami berkomunikasi dengan anak? Ternyata kami berdua sama-sama langsung sepakat bahwa kami akan menggunakan bahasa kami masing-masing ketika berbicara dengan anak kami. Alasannya gampang saja: it feels more natural, kami ingin berbicara dengan anak dalam bahasa yang paling kami kuasai. Karena itulah kami menerapkan OPOL (One Parent One Language) dalam berkomunikasi dengan anak

Sami Kai

Kai dan Sami di Kampung Sampireun, Garut

Di luar itu juga ada alasan penting lainnya kenapa kami memutuskan untuk ber-OPOL, kami ingin anak kami punya hubungan yang erat dengan kakek-nenek dari kedua belah pihak. Saya ingin Kai dan Sami bisa bicara bebas lepas dengan ayah dan ibu saya di Indonesia. Mikko tentunya juga ingin anak-anak bisa lancar berkomunikasi dengan ibu mertua saya di Finlandia.

Kai dan Ompungnya, tidak pernah ada kesulitan komunikasi di antara mereka. Bersyukur sekali anak-anak bisa bahasa Indonesia

Kai dan Ompungnya, tidak pernah ada kesulitan komunikasi di antara mereka. Bersyukur sekali anak-anak bisa lancar berbahasa Indonesia.

Sejak anak-anak baru lahir kami konsisten ber-OPOL. Saya berbicara hanya dalam bahasa Indonesia ke anak-anak dan Mikko hanya berbahasa Finlandia. Antara saya dan Mikko sendiri sebenarnya lebih banyak menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi.

Banyak yang bertanya kenapa anak-anak tidak diajarkan bahasa Inggris saja? Kan akan lebih berguna? Kalau menurut saya sih, bahasa ibu jauh lebih berguna dari bahasa apapun juga. Bayangkan kalau anak-anak saya tidak bisa berbahasa Indonesia (atau Finlandia). Artinya sejak usia dini mereka sudah terputus komunikasinya dari keluarga dan saudara-saudaranya sendiri di tanah air karena tidak menguasai bahasanya. Tidak semua orang berbahasa Inggris, kan, di Indonesia (dan juga Finlandia!).

Bersama Oma saat dikunjungi

Bersama Oma saat dikunjungi

Lagipula, baik bahasa Indonesia dan Finlandia bukan termasuk bahasa populer di dunia ini dan sulit ditemui di luar lingkup daerahnya. Jadi, kalau bukan dari saya dan suami, dari mana lagi anak kami bisa belajar bahasa Indonesia dan Finlandia? Bahasa Inggris sudah sangat mendunia, bisa dipelajari di mana saja, anak-anak pun nantinya akan belajar di sekolah.

Apakah ber-OPOL itu sulit? Iya dan tidak. Pada hakikatnya metode OPOL cuma meminta kita untuk berbicara dengan bahasa ibu kita sendiri, bahasa yang paling kita kuasai. Apa susahnya sih? Yang agak sulit itu adalah untuk terus konsisten menggunakan satu bahasa tanpa tercampur-campur, termasuk juga membenarkan kesalahan anak ketika mereka mencampurkan dua bahasa atau lebih. Kai dan Sami biasanya suka mencampur bahasa Indonesia dan Finlandia ketika mereka baru mulai belajar bicara. Seperti misalnya “Ei bobo” yang maksudnya “Gak mau bobo” atau “Mau maito” yang berarti “Mau susu” dan lain-lain. Di saat seperti ini saya harus berkali-kali membenarkan omongan mereka. “Gak mau bobo, Kai”  atau “Mau susu, Sami”. Saya ulang-ulang terus sampai akhirnya anak-anak bisa mengucapkannya dengan benar.

One Parent, One Language

Kalau baca ini sih kesannya gampang, tapi anak-anak kan berbicara setiap menit yang berarti setiap menit pula kita harus membenarkan kesalahan mereka, berulang-ulang sampai mereka ingat. Lumayan bikin capek ya ini. Di usia 5 dan 3 tahun, saat ini Kai dan Sami termasuk lancar di kedua bahasa, Indonesia dan Finlandia. Tetap ada sekali-sekali pencampuran bahasa, terutama untuk kata-kata baru, jadi saya pun masih rajin membenarkan omongan mereka.

Dalam ber-OPOL ada beberapa prinsip yang selalu saya ingat:

  1. Tidak mencampur-campur bahasa. Misalnya: “Kai mau makan pisang?” dan bukannya “Kai mau makan banani?” Menyelipkan kata-kata asing akan menyulitkan anak untuk mendiferensiasikan bahasa. Mana yang Indonesia mana yang Finlandia.
  2. Berbicara dengan baik, benar, jelas dan lengkap. Biasakanlah berbicara dengan kalimat yang lengkap. Mengajarkan bahasa Indonesia bukan sekedar menerima anak bisa ngomong “pisang”, “kereta”, “rumah”. Tapi juga memberi contoh penggunaan kata dalam kalimat. “Saya mau pisang”, “Lihat, ada kereta lewat”. Sama prinsipnya untuk bahasa lain. Anak bisa menyebut kata “orange”, “yellow”, “car” bukan lantas berarti si anak bisa berbahasa Inggris. Dia cuma tau beberapa kata dalam bahasa Inggris. Anak yang berucap “Saya mau orange” tidak bisa dikatakan bisa berbahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris dengan benar.
  3. Mendorong penggunaan bahasa yang benar, dan tidak mendorong penggunaan yang salah. Misalnya, saat Kai bilang “Kai mau pisang”, saya beri dia pujian, saya ambilkan pisangnya. Tapi ketika Kai bilang “Kai mau banani” atau “Haluan banania”, saya tidak akan memberi pisangnya sampai Kai mengucapkannya dengan bahasa Indoensia yang benar.
  4. Rajin mengulang-ngulang. Terutama ketika anak membuat kesalahan, harus sabar untuk memberi penjelasan berulang-ulang sampe anaknya mengerti. Termasuk juga meminta anak untuk mengulangi kalimatnya supaya benar.
  5. Kembali lagi ke kon-sis-ten-si. Harus selalu-kudu-musti  konsisten. Saya terus menggunakan bahasa Indonesia, Mikko bahasa Finlandia. Jangan hari ini  ngomong  Indonesia tapi besok pakai Inggris atau Finlandia. Yang seperti ini  bisa bikin anak bingung dan memperlambat proses belajarnya.
  6. Nyaman dan PD dengan bahasa yang digunakan. Alasan utama kenapa saya berbicara bahasa Indonesia ke Kai. Karena cuma dalam bahasa inilah saya paling bebas berekspresi. Dalam proses pengajaran bahasa, komunikasi yang lancar itu penting untuk mendapatkan hasil yang optimal.
  7. Penggunaan berbagai macam media pendukung bahasa seperti buku, musik, video. Ini bisa jadi tantangan besar buat bahasa minoritas, bahasa-bahasa yang kurang populer di dunia. Misalnya saja, sulit sekali menemukan materi dalam bahasa Indonesia di sini, apalagi yang cocok untuk anak-anak. Setiap mudik ke Indonesia kami selalu memborong buku-buku dan DVD anak di Gramedia.
  8. Atur ekspektasi supaya jangan berlebihan. Terutama untuk bahasa Indonesia dan Finlandia yang memiliki perbedaan bahasa formal dan informal, poin ini penting untuk diingat. Saat ini saya berbicara dengan bahasa sehari-hari yang tidak formal dan tidak sesuai aturan EYD ke anak-anak. Kalau kami nantinya akan tinggal permanen di Finlandia, mungkin anak-anak tidak akan bisa menguasai bahasa Indonesia sampai, misalnya, tahap menulis thesis.

Perjuangan OPOL kami belum selesai. Kai dan Sami masih harus banyak belajar bahasa Indonesia dari sumber lain kalau mau mengerti bahasa yang lebih formal. Belum lagi masalah penolakan bahasa yang biasanya terjadi terhadap bahasa minoritas (dalam hal ini bahasa Indonesia karena di sini yang menjadi mayoritas tentu bahasa Finlandia). Sekarang saja Kai kadang-kadang mengeluh bahwa dia malas cerita-cerita sama äiti (ibu, dalam bahasa Finlandia) karena sama äiti harus berbahasa Indonesia. Lebih enak ngobrol sama Isi (ayah) saja pakai bahasa Finlandia.

seerika_84

Bahagia ketika berlibur di Indonesia

Keluhan Kai tidak pernah saya tanggapi, saya anggap saja angin lalu. Pokonya kalau sama äiti harus pakai bahasa Indonesia, gak ada cerita lain! Kalau tidak berbahasa Indonesia äiti akan pura-pura tuli.

Berbahasa Indonesia. Sebenarnya saat ini saya lumayan mengelus dada melihat fenomena anak-anak yang lupa akan bahasa Indonesia (atau tidak diajarkan bahasa Indonesia) begitu pindah tinggal ke luar negri. Lebih prihatin lagi melihat anak Indonesia, tinggal di Indonesia, tapi tidak bisa berbahasa Indonesia dengan alasan sekolah di international school. Kenapa orang tuanya tidak mengajarkan di rumah? Tidak ada salahnya mengajarkan bahasa lain, tapi bahasa ibu jangan dilupakan. Akan ada saatnya anak-anak akan bertanya tentang akar budayanya ketika mereka besar nanti. Penguasaan bahasa ibu akan membantu mereka dalam pencarian jati dirinya.

Menghapus penggunaan bahasa ibu juga memperkecil kesempatan anak untuk berkarya di negaranya sendiri di kemudian hari. Belum tentu kan dia akan selamanya ingin sekolah di luar negri, berkarir dan menetap di sana? Bisa jadi mereka juga ingin hidup di Indonesia, ingin punya pasangan hidup Indonesia, atau sekedar jalan-jalan ke pedalaman Indonesia? Penguasaan bahasa Indonesia akan membantu anak untuk mencapai hal-hal tersebut. Lagipula, anak-anak punya kemampuan ajaib untuk menyerap beberapa bahasa sekaligus. Mereka tidak perlu belajar, cuma perlu diajak berbicara. Kalau bisa dua bahasa kan lebih baik daripada satu? Anak-anak bilingual (atau bahkan multilingual) katanya punya intelenjesi yang lebih tinggi, lebih kritis dalam berpikir dan lebih cepat dalam mempelajari bahasa baru di kemudian hari.

——–

Untuk kisah lainnya tentang kehidupan di Finlandia, Rika menulis di http://seerika.wordpress.com/ atau untuk keseharian, bisa follow IG @seerika.

Disclaimer: foto-foto pada laman ini adalah karya Rika dan keluarga – dan beberapa diambil dari URL yang terhubung langsung dengan image gambar. Diedit oleh: @chiceniza.

Advertisement

3 thoughts on “Membesarkan Anak Bilingual

  1. Nuke says:

    Halo Mba Rika,
    saya sudah baca tulisan-tulisan mba di blog ini, terutama tentang parenting dan pendidikan anak di Finlandia. Saya senang baca tulisan mba karena sangat memberi pengetahuan dan terkesan hangat ketika dibaca. 🙂
    Keep going ya mba. Ditunggu tulisan-tulisan menarik dan informatif mba yang berikutnya 🙂

    Like

  2. Emak Gaoel says:

    Halo, Mbak Rika. Telat kenalan nih kayanya. Baru nemu blog ini. Senang baca sharing tentang membesarkan anak bilingual Mbak Rika karena kami di rumah juga memberlakukan hal yang sama. Bedanya, kami tinggal di Bekasi. Hihihihi. Sejak anak2 bayi udah menerapkan OPOL juga, sama mama bicara bahasa Inggris, sama Papa bicara bahasa Indonesia. Alasan kenapa bilingual juga kurang lebih sama, supaya komunikasi dgn sepupu2 dan keluarga yg tinggal di luar negeri bisa lancar. Pokoknya senasib banget. Aku juga tulis serial membesarkan anak bilingual di blog. Tfs, ya. Salam kenal lagi. :*

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s