Halo mamarantau di seluruh penjuru dunia! Perkenalkan, namaku Olga. Ibu dan ayahku asli Minang, Sumatra Barat. Aku sendiri lahir dan besar di Jakarta tapi lai pandai mangecek baso awak hehe. Pada tahun 2014, aku memutuskan untuk merantau ke Bonn, Jerman – aslinya demi mengejar cinta. Aku dan mantan pacar (yang sekarang jadi suami), menjalani LDR sejak 2009. Dikarenakan kami masih muda dan merasa belum mengenal satu sama lain dengan baik, kami pada saat itu belum mau menikah. Jadi aku pun pergi ke Jerman berbekal visa studi untuk menjalani program master di Bonn.
Kami menikah tahun 2016 di Jerman, saat aku telah menyelesaikan tesis master. Setelah studi, aku tinggal dan bekerja di Bonn sebagai management consultant di salah satu perusahaan konsultan kecil di sana. Di tengah carut marut pandemi, April 2020- putra kami Kayo lahir dan di bulan Agustus di tahun yang sama, kami harus pindah ke kota Mainz dikarenakan suami memutuskan untuk membuka kantor konsultan pajak bersama partnernya di kota ini. Jadi kalau ada mamarantau dari Jerman yang butuh Steuerberater atau konsultan pajak, jangan segan-segan hubungi aku yah 😀 #teteppromo.
Oh iya, saat ini aku sibuk jadi 80% stay at home mom, dan 20% nya aku mengerjakan proyek kecil di bidang foreign direct investment sebagai freelancer (yang benernya aku kerjakan hanya saat Kayo tidur siang). Sebelum aku aktif jadi freelancer seperti sekarang, aku sempat jadi vlogger di YouTube karena I love being a storyteller! Bisa dicek juga di https://www.youtube.com/oflorentyna.
Pengalaman Mencari Daycare
Selanjutnya, aku akan berbagi pengalaman dan dramaku dalam mencari daycare di Mainz, Rhineland Palatinate (Jerman: Rheinland-Pfalz) – dikarenakan setiap sistem dan peraturan bisa berbeda di setiap Bundesland/ provinsi di Jerman, jadi jangan dipukul rata yah, anak-anak dapat masuk daycare (Krippe) mulai umur 1 tahun. Mulai 2 tahun itu sudah memenuhi syarat untuk masuk TK (Kindergarten). Rata-rata memang sangat sulit sekali untuk mendapatkan daycare di kota besar di Jerman. Belum lagi pengalaman dramaku ketika berhadapan dengan petugas administrasi dari kota Mainz.
Pihak Krippe telah menghubungiku kalau tempat telah tersedia untuk Kayo – aku senang sekali! Akhirnya aku bisa lebih fokus kerja dan mungkin mengelola YouTube ku lagi. Pihak Krippe meminta surat konfirmasi dari pihak admin kota. Akupun menghubungi pihak kota TAPI kemudian pihak kota tidak tahu menahu soal itu. Aku dipingpong sampai akhirnya aku kehilangan slot di Krippe tersebut. Aku hanya bisa menangis pada saat itu 😥
Di kotaku, daycare jumlahnya sedikit sekali dibandingkan peminatnya. Yang aku tahu memang Jerman kekurangan tenaga pengasuh profesional. Aku iri sekali dengan kondisi teman-teman di Jakarta karena masalah ini bisa lebih mudah diselesaikan dengan uang. Atau mudah sekali punya babysitter menginap karena affordable (sebagaimana punya asisten rumah tangga). Atau ada anggota keluarga yang bisa dititipkan kalau mama lagi capeee banget sehingga butuh isi tangki kekuatan untuk menghadapi kerasnya dunia (ceilah). Bukan lagi rahasia kalau menjadi mamarantau itu diharuskan untuk dobel kuatnya karena apa-apa harus dihadapi sendiri. Solusinya adalah private daycare, tapi pada saat itu aku tidak menemukannya di radius 30km di rumahku. Kupikir, udah harus bayar mahal dan jalan jauh ke sana, sangat tidak worth it. Jadilah aku memutuskan untuk tetap mengurus anak sendiri di rumah sampai Kayo mendapatkan tempat di Kindergarten pada saat dia berusia 2 tahun. Rencanaku yang lain harus kukesampingkan.
Dukungan Finansial dari Pemerintah Jerman
Positifnya dalam membesarkan anak di Jerman adalah biaya sekolah negeri ‘gratis’ dan dukungan finansial yang bernama Kindergeld dari pemerintah Jerman sampai anak tersebut berusia 25 tahun. Di provinsiku besarannya €200 per bulan per anak. Makin banyak anak, makin besar juga Kindergeld yang didapat. Semua pernyataanku ada disclaimer nya yah. Gratis yang dimaksud adalah tanpa uang sekolah yang besar di sekolah negeri, misal harus bayar uang buku atau dalam perkuliahan hanya harus bayar 250-500 euro per semester. Semesteran ini juga benernya bukan uang kuliah melainkan hanya untuk mengcover biaya tiket kendaraan umum mahasiswa, jadi mereka bisa ke mana-mana gratis di satu kota/propinsi. Ada juga sekolah/universitas privat dan internasional yang bayarnya bisa 30.000€ per tahun. Semuanya dibalikin ke masing-masing orang tua hehe.

Aku pernah dapet komentar dari Instagramku, “Kok kayanya seneng-seneng mulu sih Ga, ga pusing apa biaya sekolah anak?” oh ya jangan sampai kamu ngga bisa senang-senang lagi dong kalau punya anak hehe. Atas saran suamiku yang memang hobi mengatur finansial, kami selalu menyisihkan €100 per bulan untuk biaya pendidikan tinggi Kayo. Usia sekolah kan Kayo masih tinggal bersama orang tua. Akan berat saat dia mulai kuliah misalnya. Tergantung dia kuliah di kota apa, Kayo harus membayar uang sewa dan biaya hidupnya saat dia berkuliah. Ini tidaklah murah, tergantung kota. Kami sebagai orang tua beritikad untuk memudahkan hidupnya, supaya pada saat Kayo kuliah, dia bisa fokus belajar tanpa cape mikirin besok bayar sewa pakai apa kayak mama papa nya dulu hehe. Biaya hidup pas-pasan jaman aku studi dulu sih berkisar €700-1000 per bulan yah. Kalo Kayo mau lebih-lebih, di sini selalu ada kesempatan buat kerja saat student. Jadi tolong ya nak, kalo mau yang mewah-mewah– kerja! Jangan minta-minta aja bisanya (mama galak haha). Kalau ada asumsi lain “kalo Kayo mau kuliah di Harvard gimana Ga?” ya, usaha dong cari beasiswa. Kalau ngga bisa, ya artinya emang ngga mampu kuliah di sana, udah bagus dimodalin (mama galak lagi xD).
Gimana caranya? Yuk kita mulai itungan matematikanya.
Jadi Kayo kan menerima 200€ / bulan sejak dia lahir. €100 untuk ditabung biaya kuliahnya. Dia akan menerimanya selama 25 tahun. Jadi bertotal: 100×12 = 1200, 1200×25 = €30.000.
Keliatannya banyak yah hehe, tapi jangan lupa inflasi. Jika inflasi 5% per tahun (kita ambil paling jeleknya aja ya), selama 25 tahun, itu uang 30.000 nilainya bakal cuma jadi €9.000. Ini bisa dicek pake kalkulator online. Yah, ini mah ngga nyampe biaya hidup setahun bundpap :((
Kontrak Investasi Kolektif
Nah mas suamiku yang cerdas itu (ngefans sama suami sendiri haha) menginvestasikan uang ini ke ETF. ETF adalah Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. Meskipun ETF pada dasarnya adalah reksa dana, produk ini diperdagangkan seperti saham-saham yang ada di bursa efek. ETF merupakan penggabungan antara unsur reksa dana dalam hal pengelolaan dana dengan mekanisme saham dalam hal transaksi jual maupun beli (Source: https://www.idx.co.id/produk/exchange-traded-fund-etf/). Aku ngga mau jelasin panjang lebar, nanti space nya ngga cukup. Siapa pun yang telah berinvestasi dalam indeks ekuitas Dunia MSCI global dengan ETF selama 20 tahun dapat mencapai pengembalian rata-rata sekitar 8% antara tahun 2000 dan 2020. Tergantung pada waktu pembelian dan penjualan, pengembalian tahunan berfluktuasi antara 14% dalam kasus terbaik dan 5% dalam kasus terburuk (Source: https://www.weltsparen.de/geldanlage/etf/etf-rendite/).
Jadi, bisa dihitung sendiri. ETF ini gunanya menjaga uang dari inflasi dan untung tipis-tipis-kalo beruntung. Supaya Kayo cukup bekalnya untuk dia kuliah nanti. Jika dia mau kuliah. Di Jerman banyak jalan menuju Roma – individual ngga harus kuliah setinggi-tingginya untuk mencapai kesuksesan. Misal di Jerman ada program Ausbildung, Dual Studium, daln lain-lain. Kalo Kayo ngga mau kuliah, mungkin uangnya bisa die kelola sendiri biar makin banyak hehe.
Sekian cerita, polemik dan trik aku dalam hal sekolah anak! Jika dirasa berguna, tolong dishare yah! Buat mamarantau yang mau silaturahmi, aku sekarang lebih aktif di Instagram @oflorentyna, karena aku belum ada waktu buat edit video di YouTube.
Yuk mari saling menyapa di @oflorentyna, siapa tau aku ketemu temen baru yang like-minded. Syukur-syukur tinggalnya deket Mainz juga. Sampai ketemu lagi yah di cerita selanjutnya! 😀