Arfi Binsted – A housewife, live in Onewhero, Tuakau, Districts Waikato, New Zealand. Home educators (Home Schooling) for her children, love to gardening, sketching, and painting, an artist at heart, freelance illustrator and food photographer. Founder of Klub Berani Baking (KBB) and co–author Food Photography Made Easy by EmpatRana.
Tentang keluarga. Saya lahir dari Ibu keturunan Sunda-Jawa, dan Ayah saya (almarhum) keturunan Jawa. Mereka dilahirkan di Sumatera dan saya pun dilahirkan di Pendopo (it’s Pali now if I’m not mistaken), Sumatera Selatan. Almarhum Ayah saya adalah karyawan di perusahaan minyak swasta – sehingga sejak kecil saya sudah terbiasa tinggal di daerah pedalaman; melihat monyet-monyet bergelantungan di hutan seberang perumahan atau babi hutan yang selalu merusak kebun sayuran Ayah-Ibu saya. Di mana ada pemboran minyak, di situlah kampung saya. Jadi ketika saya pindah ke daerah pertanian di Selandia Baru, saya tidak merasa asing lagi. Meskipun tidak melihat monyet – monyet bergelantungan seperti halnya di tepi hutan Sumatera, tapi saya familiar sekali dengan suasana pedesaan.
Merantau di Onewhero. Saat ini, saya dan keluarga sudah 12 tahun tinggal di daerah yang disebut Onewhero (dalam bahasa Maori berarti ‘Tanah Merah’), setelah sebelumnya selama setahun tinggal di Point Chevalier, suburb yang terletak di pusat kota Auckland. Dulunya, di Onewhero terjadi kegiatan vulkanik di dalam bumi yang menyebabkan terjadinya kawah yang disebut Kaipo Flats. Kawah ini sekarang menjadi pemukiman warga dan kawasan perternakan (dairy farms). Kami tinggal di tempat yang lebih tinggi dari Kaipo Flats, di sebuah bukit yang cukup tinggi dari permukaan air, di atas lahan 3,2 hektar dan bentangan perbukitan hijau sebagai pemandangan sekitar.
Kami memilih tempat ini karena dekat dengan ibu mertua yang memerlukan perawatan dan bantuan sebab telah berusia lanjut. Kami juga merasa cocok dengan lingkungan sekitar dan yakin ini adalah tempat yang baik untuk membesarkan anak-anak dan tempat yang mendukung untuk bercocok tanam, udara yang bersih, nyaman dan tenang.

Onewhero terletak di antara Auckland dan Hamilton city (yakni kota besar di Waikato District); kedua kota besar tersebut bisa ditempuh dengan 1.5-2 jam menggunakan kendaraan pribadi
Ke Auckland selain pakai kendaraan pribadi, juga bisa naik kereta api. Untuk ke Hamilton sepertinya tidak ada train service, sebab orang jarang sekali naik kereta api di sana. Semua bisa dilihat di jadwal keberangkatan yang tersedia di website Railway New Zealand. Kota terdekat dari kampung kami adalah Tuakau. Dengan berkendaraan sekitar 15-20 menit sudah sampai. Ada juga Pukekohe, yang bisa ditempuh dengan 30-35 menit berkendaraan. Dengan demikian, Onewhero termasuk daerah blusukan. Kemana-mana harus berkendaraan sendiri, sebab tidak ada angkot, bis atau taxi yang tersedia sebagai sarana angkutan umum di sini. Kecuali service bis sekolah, bis umum umumnya hanya memberi service hingga Tuakau saja.
Di Pukekohe pun jarang sekali saya lihat ada bis dan taxi yang lalu lalang seperti di kota-kota di Indonesia. Orang-orang lebih suka berkendaraan sendiri atau jika mereka harus bekerja di luar kota, seperti Pakuranga, Onehunga, atau Auckland, mereka lebih suka commuter memakai jasa kereta api jika tidak ingin menyetir di tengah-tengah kemacetan di beberapa ruas jalan, seperti di sekitar Titirangi, Papakura, Manukau dan Auckland pada rush hours.
Ketika pertama kali datang ke Selandia Baru, saya sempat melongo ketika berkendaraan di motorway. Kapasitas motorway disini melebihi kapasitas jalan-jalan toll di Jakarta tapi kendaraan yang lalu lalang justru lebih sedikit. Saya sempat tanya ke suami ‘where are the people gone?’. Well, that’s the way it is. Selandia Baru hanya berpenduduk kurang lebih 4,509,900 orang yang terbentang dari Pulau Selatan (South Island), Pulau Utara (North Island), dan Stewart Island., menurut data sensus penduduk terakhir di tahun 2014.

“Aotearoa” adalah nama Maori untuk Selandia Baru; dibagi menjadi Pulau Utara dan Pulau Selatan.
Orang Kiwi. Keluarga, kerabat dan teman-teman dekat yang sudah mengenal saya sejak saya pertama menginjakkan kaki ke Selandia Baru 13 tahun yang lalu telah menganggap saya bagian dari mereka, sebagai seorang Kiwi. Sebutan ‘Kiwi’ ini ada sejarahnya loh. Dulu sebutan ini dipakai sebagai julukan para serdadu Selandia Baru (Royal New Zealand Air Force) yang ikut berjuang di Perang Boer II di Afrika, karena emblem seragam atau camp regimen mereka bergambar burung Kiwi. Hanya lewat gambar burung yang tak bisa terbang itulah penduduk lokal dan tentara-tentara dari negara lainnya mengenali para serdadu itu berasal dari Selandia Baru.

Penggunaan “Kiwis” untuk merujuk suku asli Selandia Baru umumnya dipandang sebagai simbol yang membanggakan bagi masyarakat Selandia Baru
Long story short, pada akhirnya pada tahun 1918, kamus Oxford menyertakan sebutan ‘kiwi’ sebagai deskripsi semua orang yang berasal dari Selandia Baru, dan tim rugby The All Blacks secara resmi menggunakan istilah ini untuk menamakan tim mereka pertama kalinya pada tahun 1938 meskipun sebelumnya sebutan ini sudah digunakan oleh olahragawan Kiwi di kompetisi dunia internasional. Jadi, sebutan ‘Kiwi’ adalah untuk orang-orang Selandia Baru dan ‘kiwi’ untuk burung kiwi untuk membedakan what kiwi someone refers to, sementara secara jamak untuk orang adalah ‘Kiwis” dan untuk burung adalah ‘Four kiwi’.
Penduduk Lokal. Khusus di Onewhero, orang-orang pendatang asal Asia sangat bisa dihitung dengan jari, sebab warga Waikato Districts didominasi oleh Maori, sebagai suku asli, dan Pakeha (sebutan untuk mereka yang berkulit putih asli Selandia Baru). Ada sekitar 35,000 orang yang terdaftar sebagai anggota Iwi (suku) Maori dari 63,381 orang terdata lewat sensus penduduk Waikato Districts tahun 2013. Dari data itu pula saya lihat persentase penduduk asal Asia yang tersebar di berbagai kota Waikato Districts hanya 3,8% saja. Jadi bisa dibayangkan saya seringkali merasa rindu kampung halaman.
Masyarakat di Selandia Baru menurut saya baik dan ramah. Mereka tidak segan-segan say ‘hi’ dengan senyum lebar atau sekedar anggukan ‘acknowledgement’ meskipun tidak kenal saya, bahkan banyak yang sekedar memulai small talk sampai terkadang deep in conversation meskipun baru kenal saat itu.
Walau demikian, saya pernah beberapa kali mengalami racial abussive statements dari seorang remaja di pusat kota Auckland, dan beberapa kejadian tidak mengenakkan oleh beberapa ibu-ibu di pre-school ketika anak saya masih bersekolah di sana, tapi nothing major, tidak saya pusingkan, really. So far, saya memiliki teman-teman yang baik dan selalu siap membantu, teman-teman seniman yang selalu supportive terhadap karya-karya saya, dan keluarga yang selalu mendukung aktivitas saya. That’s all it matters, really.
Adaptasi. Hingga saat ini saya belum merasakan banyak hal yang tidak disukai tinggal di sini, hanya saja saya mengharapkan adanya masjid atau paling tidak musholla, yang dekat dengan kampung saya, sebab kalau mau pergi ke masjid harus berkendaraan satu jam lebih ke Otahuhu, atau ke pusat kota Auckland.
Saya tidak punya masalah dengan pergantian 4 musim di sini, sebab saya menyukai setiap musimnya. Bagi saya, setiap musim memiliki karakteristik yang berbeda dan sama-sama menarik. Karena winter di daerah saya masih terbilang hangat jika dibandingkan dengan musim dingin di negara-negara Eropa atau South Island, kami seringkali berlibur ke daerah skiing di Mount Ruapehu, yang terletak di daerah sebelah selatan Taupo. Di sini anak-anak bebas bermain toboggan atau belajar ski di Happy Valley, atau sekedar sightseeing ke atas gunung lewat chairlifts dan mampir ke Knoll Ridge Chalet, sebuah cafe tertinggi di Selandia Baru. Cafe ini berada sekitar 2020 meter dari permukaan air.
Saya suka tinggal di Onewhero, desa tempat kami tinggal ini. Di rumah kami, setiap pagi bahkan sepanjang hari, saya bisa dengarkan suara cicit burung, lenguhan sapi atau suara mesin traktor di kejauhan, jeritan burung merak di lembah, it is so peaceful. Jika musim panas tiba, suara-suara jangkrik dan tonggeret pun ikut meramaikan suasana pedesaan. Udara di tempat saya bersih, sejuk, dengan langit biru, jika tidak sedang ditutup gumpalan-gumpalan awan tebal (orang Maori menyebut Selandia Baru sebagai Aotearoa yang artinya Long White Clouds).
Tradisi. Satu tradisi Maori yang terus dilestarikan adalah hangi, yaitu memasak makanan di dalam bumi, dengan cara menggali lubang, dilapisi dengan arang membara, lalu atasnya ditumpuk daging dan sayuran selapis demi selapis, sebelum ditutup lagi dengan tanah. Selain hangi, makanan khas Selandia Baru sedikit banyak serupa dengan tradisi kudapan Inggris. Hari Minggu selalu dijadikan sebagai ‘Sunday Roast’ dimana keluarga menikmati kebersamaan dengan hidangan daging panggang beserta sayuran dan umbi-umbian.

“Hangi”
Biasanya ham merupakan makanan khas yang dihidangkan secara istimewa di meja makan saat Natal, selain daging domba muda panggang dengan saus daun mint. Salmon juga menjadi bintang bagi beberapa meja makan keluarga, biasanya bagi mereka yang tinggal dekat dengan sumber air. Akaroa Salmon biasanya amat mahal dan istimewa, dihidangkan secara utuh dengan bumbu-bumbu segar, baik dipanggang maupun diasap. Pada umumnya Kiwi menghidangkan makanan, khususnya makan malam, berbasis pada daging, umbi-umbian, dan greens (bisa salad, atau rebusan buncis, bayam, kacang polong dll). Untuk desserts, tentu yang paling populer adalah pavlova yang disajikan dengan irisan buah kiwi, atau berries di musim panas, selain Anzac cookies dan scones juga pilihan populer menjadi camilan teman minum teh atau kopi di pagi atau sore hari.

Biskuit Anzac adalah biskuit manis yang populer di Australia dan Selandia Baru dibuat dengan menggunakan rolled oats, kelapa kering, gula, mentega, golden syrup, baking soda dan air mendidih. Anzac biskuit telah lama dikaitkan dengan “Australia dan New Zealand Army Corps” (ANZAC) didirikan pada Perang Dunia I
Namun, sebagai orang Indonesia asli, sesekali saya rindu masakan Indonesia. Karena saya tinggal di pelosok desa, jauh dari perkumpulan masyarakat Indonesia yang terletak di pusat kota, saya selalu berupaya ‘mendatangkan’ dan membudayakan Indonesia lewat masakan-masakan tradisional saya. Meskipun seringkali ada beberapa bahan-bahan segar yang perlu diganti atau ditiadakan karena tidak mungkin didapat di daerah saya, setidaknya aroma masakan Indonesia sudah mampu membunuh rindu sesaat.
Hobi Berkebun. Sebetulnya saya suka berkebun sejak lama, it is in my blood. Kedua kakek saya sama-sama petani dan peternak ayam dan ikan. Mereka berkebun hingga mereka tidak lagi mampu melakukannya secara fisik. Ketika kecil, saya tinggal bersama nenek saya dan beliau mengajarkan saya berkebun. Beliau sering mengajak saya mencari rumput untuk sapi dan kambing, mengajarkan saya menanam seledri, kangkung, genjer, dan membuat tempe.
Kedua orang tua saya pun suka berkebun. Saya masih ingat kalau Ibu saya selalu memetik daun singkong, cabe, jagung, atau bengkoang di kebun belakang rumah, memungut telur itik di sekeliling kolam kecil, atau memanen kacang tanah. Saya ingat alm Ayah saya membungkus paria yang sedang tumbuh dengan kertas supaya bisa matang sempurna dan tidak dikerubuti oleh serangga-serangga hama, membuat buah-buah yang bergelantungan itu seperti lampion putih. Kami memiliki tempat tinggal yang selalu ada ruang untuk berkebun, meskipun sering berpindah-pindah dari hutan Sumatera Selatan ke hutan di tanah Riau sebelum akhirnya kembali ke Sumatera Selatan. Jadi, tanah, cacing, pupuk dan pedesaan tidak asing buat saya.

Beberapa teman yang bisa ditemui di dekat rumah: Burung Tui (burung asli Selandia Baru), Ulat Monarch Butterfly, dan Ayam kalkun yang merupakan salah satu burung liar yang berkeliaran di daerah kami
Saya sangat bersyukur ketika pada akhirnya Allah menyatukan saya dengan suami yang juga hobi berkebun.Kami tinggal di lahan seluas 3,2 hektar dengan kondisi tanah perbukitan dan padang rumput. Ketika pertama kali pindah ke desa ini, lahan yang pada akhirnya menjadi kebun sayur adalah bekas lapangan dressage kuda. Jadi Anda bisa bayangkan betapa datar dan padatnya lokasi tersebut.
Kebun yang sekarang adalah kebun buah-buahan dulunya hanya ditanami dengan 50 batang pohon pir Jepang atau yang disebut nashi dan puluhan pohon pinus Sioux yang tumbuh berdekatan, sehingga sinar matahari sulit menerangi tanah. Akibatnya, lahan lembab dan berlumpur ketika hujan. Bukit-bukit di belakang rumah penuh semak belukar dan semak-semak blackberry yang merajalela, mencekik keberadaan tanaman-tanaman lainnya. Rumput pun tidak tumbuh di bawah semak-semak blackberry. And one horrible thing is…they are prickly!

Ben menerima upah hasil penjualan telur ayam; Anak-anak memungut telur; Ayam bebas berkeliaran (bahasa bekennya “free-range chickens” hehe)
Dari tahun ke tahun kami mencoba sedikit demi sedikit merombak lingkungan rumah dan perbukitan menjadi lahan-lahan yang mampu memproduksi tanaman-tanaman yang bermanfaat untuk semua mahluk hidup. Dressage kuda mulai kami rombak dengan membuat petak-petak kebun yang diisi dengan humus dan pupuk.
Hingga kini, saya masih mensuplai kebutuhan sayuran untuk rumah tangga dengan memetik langsung di kebun sesuai musimnya. Pohon-pohon nashi kami tebang dan ganti dengan aneka pohon buah-buahan, seperti buah apel aneka varian, apricot, nectarine, peach, peachcott, peacherine, anggur, plum aneka varian, buah pir aneka varian, buah guava, buah feijoa, kiwifruit, cherry, raspberry, loganberry strawberry, dan blueberry.

Beberapa hasil panen keluarga kami di musim panas (yang terdokumentasikan): ketimun, macadamia nuts, burbank plums, cabai merah, peachcotts, tomat, zuchhini, dll. From farm to table, we love growing our own foods..!
Semak-semak liar dan semak-semak blackberry kami pangkas dan musnahkan dan kami ganti dengan pohon-pohon asli Selandia Baru, pohon-pohon buah tin, selain juga pohon-pohon kacang-kacangan, seperti hazelnut, almond, walnut, chestnut, pinenut, dan macadamia.
Karena kami Muslims dan dengan tidak tersedianya daging halal di kota terdekat, maka kami memelihara ternak-ternak di padang rumput, dan menyembelih sendiri untuk kebutuhan rumah tangga hingga kurun waktu tertentu. Biasanya kami membeli anak sapi dari tetangga yang memiliki dairy farm sekitar bulan Juli setiap dua tahun sekali, sehingga kami selalu ada pasokan daging di dalam deep freezer untuk kebutuhan dua tahun ke depan.
Setiap tahun, ketika masa panen tiba, saya selalu membuat selai plum, selai strawberry, selai mixed berries (campuran dari blueberry, loganberry, black currant, dan redcurrant), plum cheese, saus tomat, dan saus plum. Resep saus plum yang ada di blog saya bisa dilihat di sini merupakan resep turun temurun dari ibu mertua saya, dan plum cheese merupakan resep andalan saya ketika harus ‘menghabiskan’ plum ketika musim panas usai.

Saus plum, yummy!
Membagi waktu sebagai Mamarantau. Meskipun saya sibuk homeschooling putra-putri saya, mengurus rumah tangga dan kebun, mengantar anak-anak ke kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang jaraknya puluhan kilometer itu, serta merawat ibu mertua yang sudah berusia lanjut, alhamdulillah saya masih sempat punya ‘me time’.
Nah, saya mempergunakan ‘me time’ saya untuk berkarya dan berkreasi di kelas-kelas seni yang saya ikuti. Saat ini saya masih menjadi anggota Life Drawing group di Auckland, dan siswa lukis watercolour di sanggar lukis Franklin Arts Centre, Pukekohe.
Saya bercita-cita ingin mengarang buku cerita anak-anak suatu hari nanti, mengangkat cerita-cerita kehidupan anak-anak saya di daerah pertanian ini, yang tentu amat sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak yang tinggal di kota-kota besar. Selain itu saya juga ingin sekali mendalami lukisan-lukisan watercolour, ingin berpameran lukisan, dan ingin bertemu dengan seniman besar yang saya kagumi: Alvaro Castanget. Beliau adalah master dalam dunia lukis watercolour. Doain ya!
Sebagai ibu tiga anak, tentu saya repot sekali, seperti halnya ibu-ibu lainnya. Sering saya ditanya kok bisa melukis, ada waktu ya? Saya bilang, ya ada. Dalam satu hari itu kan ada 24 jam, nah sempatkan satu jam untuk menggali potensi diri, 23 jam dedikasikan untuk keluarga, kerjaan, rumah dan teman mungkin? Satu jam aktualisasi diri ini amat penting. Di sini kita bebas dan (hopefully) secara jujur melihat diri sendiri, melihat potensi kita dan mencoba kembangkan. Penting atau tidaknya sih tergantung dengan apa yang kita prioritaskan saat ‘me time. Karena saya lebih suka berkreasi daripada menghabiskan uang di salon kecantikan, belanja, atau rumpi (just because I am not fashionable dan ngga suka belanja atau ngobrol ngalur ngidul) sana-sini ya saya habiskan waktu 1 jam itu untuk memotret, melukis, merajut, menulis atau sekedar doodling.

Pada tahun 2007 pertama kali bikin tantangan KBB setelah sebelumnya bikin polling “apa ada yg mau bergabung buat berani terima tantangan dan baking bareng?”. Ternyata antusias loh ibu-ibu di Indonesia hahaha. We dare. We bake. We photograph. We eat. We create. We commune. We share. Berani? Ayo gabung!”
Jadi, prioritaskan yang penting, gali potensi diri, dan mantapkan aktualisasi diri. Just because we live in a small space, it does not mean we cannot think big, motto saya yang pernah saya tulis di Facebook wall saya. Meskipun kita sibuk mengurus anak dan suami, jangan lupakan kita juga seorang individu yang punya cita-cita. Get in touch with yourself, find your best interest, and start exploring. Ketika kita memulai eksplorasi diri, tidak berarti kita bisa mengaktualisasikannya dalam satu malam saja. It takes time. Apalagi kita cuma punya waktu yang tidak sebanyak saat mengurus anak, suami dan rumahtangga. Tapi ingat, sedikit demi sedikit, secara perlahan tapi pasti, jalan akan terbuka, ketika kita berusaha. So, rock and roll, sisters!
——-
Facebook: Arfi Binsted ; Twitter: @arfibee ; IG: @pena_ilalang. Email: arfi.binsted@gmail.com. Blog; www.homemadesbyarfi.com
Semua foto pada laman ini adalah karya Arfi Binsted – beberapa foto (map,kiwi,hangi,anzac) diambil dari beberapa situs yang terhubung langsung dan dengan keterangan dari Wikipedia.
Suka sekali dengan postingan inii… Membacanya seperti saya berada dan mengalami sendiri, seru, penuh tantangan, seperti seorang pionir tepatnya, mengapa saya tulis begini, karena tulisan ini menyajikan sisi lain hidup di LN pada umumnya..
Kebanyakan teman-teman yg tinggal di LN itu berdomisili di kota yg cukup besar, dan saat saya membaca tulisan ini, saya merasa diajak kesatu waktu dimana saya tinggal dan besar di satu desa kecil di Jawa Barat bersama aki nini 🙂
Salam kenal ya teeh.. Duuh itu kabayang, bikin selai sendiri, panen buah dan sayur2an sendiri.. apple pie yang hhhmmm sudah pasti yummy sekalii.. aaahh suka pisaan…
Paragrap terakhir itu setuju sekali, saya juga sedang memulai menggali potensi diri meski belum optimal..😊
Gambarnya…lukisannya.. aaahh sukaaaa…
Euuuh ini saya drtd nulis suka meluluuu hehe tp ya memang saya sukaaaaa… 😊😊
LikeLiked by 1 person
Iya Teh Wie, sungguh memberikan nuansa yang berbeda ya…! Kadang2x mamarantau yang tinggal di suburb aja merasa udah ndeso banget, tapi kalo liat kehidupan dan foto2nya Mba Arfi, seolah kota yang tadinya terasa “kampung” jadi ga terlalu “ndeso” (ngerti khaan maksudnya, hehe). Kutipan terakhir juga sangat memotivasi para Ibu.. :
“Just because we live in a small space, it does not mean we cannot think big”.
Btw, jadi ga sabar nih pengen tanya-tanya Teh Wie tentang membesarkan 4 barudaks di sana, menjadi istri sholehah, awet muda (uhuy), dan membudayakan Bahasa Sunda :). Tunggu email dari kami yaa..!
LikeLiked by 1 person
Punteeen baru dibalas ini komentarnya… lagi riweuuh hehe
Aaahh jadi deg-deg-an nunggu surat cintanya.. hihi
LikeLike
Ini keren banget…..thank you mamarantau.
LikeLike
Sama-sama Ibu Winda, kapan-kapan tulis tentang Masdar yaa :p
LikeLike
keren banget mba… Berkebun , punya ternak sendiri.. Aaah indah semua hasil dapur juga didapat dari kebun yg ditaman sendiri , keren banget…
LikeLiked by 1 person
Banget banget kerennya ya…! *ingin punya kebun juga*
LikeLike
Suka banget baca cerita mbak Arfi, nge-fans, selalu mengispirasi semua kegiatan2nya dan jadi banyak tau ini dan itu…. (saya juga suka baca blog beliau).
Thanks mamarantau, for sharing the stories dari para perantau. Keren !
LikeLiked by 1 person
Terima kasih ya teman-teman atas apresiasi dan support-nya. Terima kasih MamaRantau 🙂 Semoga kita akan selalu menjadi ibu-ibu yang penuh inspirasi dan bermanfaat bagi keluarga, lingkungan, dan masyarakat sekitar, amiiin.
LikeLike
Duhhh keren bgt eii… Keren ceritanya, keren foto2nya, keren lukisan2nya… Btw, salam kenal ya mba Arfi… 😃
LikeLike
Keren banget..jd ingat buku Litle house nya laura ingals..
LikeLiked by 1 person
Gila..ini mah bener2 gila kerennya! Kayak hidup di pelm2…what a wonderful life, mba arvi! Semoga selalu diberkahi dan dirahmati Allah Swt
LikeLike
Hai salam kenal nama sy nanay di tolitoli sulawesi tengah. Pengen banget deh punya kehidupan macam mba’.
Soalnya sejak baca buku seri little house jadi punya keinginan punya pertanian di barat gitu, kan di indo jarang ada berry, apalgi dikampung sy. My number 085340339194.
LikeLike
Ini nih cerita pengalaman hidup diwilayah pedesaan yg saya cari, berawal dr nonton film trus kefikir gimana ya hidup orang” luar yg di pedesaan ap sama kyk disini (indonesia) hehe, nice share mba terus berkarya ya :thumbs:
LikeLike
asslmualaikum… subhanallah membaca cerita nya jadi ingin juga kesana… dalam hati selalu ingin hidup di pedesaan seperti itu… namun apa daya… tak sampai…
LikeLike
Saya sedang googling untuk persiapan solo trip ke NZ Bulan agustus nanti. Eh, jadi ketemu blog ini. Sharing-nya menginspirasi, mba. Jadi kepikiran mampir ke rumah mba trus bawa makanan Indonesia. Hihi…
LikeLike
Assalamualaikum Mbak…
Q sukaaaa bgt baca tulisan Mbak yg sgt inspiratif
Qodarullah,, almarhum Mama sgt suka berkebun tapi hal tsb gak menular ke diriQ.
Tapi Q suka dgn suasana yg tenang & damai dgn byak tumbuhan2 yg bermanfaat.
Q punya impian, ingin tinggal di New Zealand, terutama di Auckland (Aamiin)
Ohya Mbak…
Smoga segera di bangun mesjid / mushola di desa Mbak & makin banyak muslim yg tinggal disana
Aamiin
Q sukaaaa bgt dgn kreatifitas Mbak dgn kesibukan yg luar biasa byak bgt
Smoga berkah yaa Mbakkk
Makaseeehhh
By_Arie Bekasi (muslimah yg msh jomblo) 🙂
LikeLike