Catharina Aulia – A mother of 4 years old daughter, Mikha, an owner of small online business and a co-founder of pop up market event planner in Jakarta. Currently live in Haarlem to accompany her husband who is pursuing his MBA degree in Netherlands.
Merantau di Harleem
Cerita rantau kami berawal diawal tahun 2015, ketika suami saya Dony mendapatkan beasiswa MBA nya di Belanda. Berhubung perusahaan tempat suami bekerja tidak memiliki policy mengenai unpaid leave selama 1 tahun, sehingga akhirnya suami memutuskan untuk mengajukan resignation. Sementara di saat yang bersamaan sayapun baru 1 tahun merintis sebuah usaha event planner bersama beberapa rekan yang penggarapannya lebih spesifik pada penyelenggaraan thematic pop up market. Tujuan mendirikan usaha ini adalah untuk memberikan sebuah platform bagi pengusaha-pengusaha berbakat Indonesia to sell their products yang biasanya kami selenggarakan di beberapa mall di Jakarta.
Tahun 2015 menjadi saat-saat yang cukup challenging bagi kami berdua, selain karena keputusan yang diambil cukup beresiko, di sisi lain saya harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepindahan kami ke Belanda dan saya juga harus berkomitmen untuk tetap fokus menjalankan tanggung jawab saya dalam mempersiapkan event-event yang dalam waktu dekat akan digelar. Jadi hingga saat ini hati di Belanda pikiran di Jakarta 😀
Three Months of Juggling
Di Belanda kami sempat berpindah dua kali tempat tinggal, awalnya kami tinggal di kota Tilburg yang berada di North Brabant province di mana daerah tersebut lebih dekat dengan perbatasan Belgia dibandingkan dengan kota-kota besar yang lebih kita kenal seperti Amsterdam, Den Haag, atau Rotterdam. Lalu, Setelah 9 bulan kami tinggal di Tilburg, perusahaan dimana suami melakukan research-nya berada di Amsterdam. Karena waktu tempuh Tilburg – Amsterdam cukup panjang sekitar dua jam, maka untuk menghemat waktu, energi dan biaya akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih mendekati kantor dan pilihannya jatuh di Haarlem, kota kecil yang cantik di North Holland hanya sekitar 10 menit dari Amsterdam.

Suasana dekat kediaman kami di Harleem
Semua tidak menjadi lebih mudah dari yang saya bayangkan, karena hanya satu minggu sejak kami tiba di Tilburg, Dony harus langsung menjalankan studinya full time setiap hari dari pagi hingga pukul 6-7 malam dan hampir tidak bisa digangggu karena tugas-tugas yang cukup banyak juga. Sehingga diawal kedatangan kami, saya harus beradaptasi sendiri dengan kultur, cuaca, jadwal public transport yang punctual dan mencari tahu sendiri segala sesuatunya tanpa suami, termasuk juga mengurus segala hal adminstratif seperti pengurusan verblijf atau ID Card, pendaftaran ke municipality, sekolah anak dan lain sebagainya. Selain berjibaku dengan urusan rumah tangga dan mengurus Mikha di usia toddler yang selalu ingin mendapat perhatian, sayapun harus bekerja dan berkomunikasi lintas benua secara intens dengan rekan-rekan di Jakarta setiap hari dengan perbedaan waktu yang cukup jauh sehingga tidak jarang kami berdiskusi dari subuh hingga larut malam.
Tiga bulan pertama tinggal di Tilburg, saya merasa cukup sulit dan kami cukup banyak melakukan penyesuaian. Pada bulan-bulan ini saya sempat berada di titik depresi, lelah, kesepian dan selalu ingin pulang kembali ke Jakarta. Saya merasa buruk dalam menjalankan seluruh peran saya sebagai ibu, istri yang sekaligus harus bekerja menjalankan usaha saya dengan kondisi long distance seperti ini. Sering saya berada pada kondisi 24 jam mungkin hanya tidur 3 jam saja untuk bisa menjalankan seluruh peran ini terutama jika sudah mendekati event.

Haarlem dan Tilburg
Mungkin suami merasa jika hal ini terus menerus didiamkan akan berdampak buruk bagi kami bertiga dan saat ini kami tidak mempunyai banyak pilihan, maka kami sepakat jika Dony mendapat libur agak panjang, maka saya pun harus mengambil day off atas pekerjaan saya dan waktu tersebut kami gunakan untuk explore tempat baru atau berlibur ke negara lain untuk me-recharge our mood and energy or simply just to reward ourselves after a series of hardworks.
Dalam artikel ini saya berbagi mengenai destinasi wisata keluarga kami ke Yunani beberapa waktu lalu.
Berlibur ke Oia, Santorini
Thira atau sering dikenal dengan nama Santorini merupakan sebuah pulau vulkanik di Laut Aegea yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, 20 km dari daratan Yunani. Pulau ini merupakan kelompok Kepulauan Cyclades. Pulau ini memiliki luas wilayah 73 km² dan populasi 13.600 jiwa (2001).

Santorini Map
Thira atau Santorini pada awalnya bernama Strongyle yang berarti bundar, dinamakan Strongyle karena bentuk dari pulau ini berbentuk bundar. Menurut pakar sejarah, pulau Santorini ini terbentuk kurang lebih 3500 tahun yang lalu akibat dari letusan gunung berapi Gunung Thera. Ledakan yang terjadi menurut para ahli sangat besar dan dahsyat, hal ini terbukti dari adanya sebuah Kaldera yang luas di tengah pulau sehingga membentuk sebuah lembah yang dalam dan pada akhirnya terisi oleh air laut yang bernama Laut Aegean.
Sebetulnya rencana kami untuk berlibur ke Santorini sudah direncakan sejak akhir tahun lalu untuk summer holiday, namun berhubung suami baru akan menyelesaikan kuliahnya di bulan Oktober, maka judulnya late summer holiday :D. Walaupun telat dan suhu pada awal Oktober di Belanda sudah mencapai 5 celcius degree, surprisingly ternyata Santorini masih panas bangettt. Walaupun kalau dilihat secara temperatur hanya sekitar 24-27 derajat celcius, which is sudah tidak terlalu tinggi temperaturnya, tetapi real feelnya masih cukup terik dan panas.

Family
Perjalanan menuju Santorini kami lakukan melalui jalan udara. Berangkat dari Schipol Airport, directly menuju Santorini Airport (JTR) memakan waktu sekitar 3jam 20 menit. Ada beberapa pilihan maskapai dari Schipol antara lain KLM, Aegean Air atau Transavia untuk budget flight. Sesampainya di airport, kami dijemput oleh bus service yang sudah di arrange dari hotel tempat kami menginap di Oia.
Mengapa disarankan untuk menggunakan fasilitas jemputan dari hotel? Karena ternyata rumah, toko, maupun hotel-hotel di Oia tidak memiliki alamat! Sehingga untuk Mama yang berencana berlibur kesana bersama keluarga, untuk kenyamanan dan mengurang keribetan disarankan agar menggunakan jasa penjemputan dari hotel. Waktu yang ditempuh dari airport menuju Oia sekitar 30 menit, dengan biaya sekitar €30 untuk 1 keluarga (max. 4 orang). Dan jangan lupa siapkan tips untuk driver seharga segelas kopi, berkisar antara €3 – €5. Alternatif lainnya adalah menggunakan bus lokal dan turun di Oia bus stop. Untuk tarifnya saya kurang paham tapi mungkin sekitar €2-5 per orang. Berhubung Oia merupakan desa cantik dengan gang-gang sempit, maka kendaraan tidak bisa masuk sampai ke depan hotel, sehingga semua kendaraan bermotor hanya bisa berhenti di bus stop dan koper harus kita bawa sendiri menuju hotel atau dengan bantuan porter yang disediakan pihak hotel.
Oia (baca : ii-a) adalah the most famous villages in Santorini. Oia terletak diatas tebing yang terdiri dari jajaran rumah, whitecaves resorts dengan balkon view Kaldera dan Aegean sea yang spektaaaaaa, blue domes church, windmill dan anak tangga yang cukup curam. Oia dikenal diseluruh dunia for its quiet life, most beautiful, picturesque and fantastic sunset in Santorini.

View from Sunset Spot in Oia
Hari pertama, sesampainya di hotel, rasanya gak pengen kemana-mana lagi. Karena view dari balkon kami is beyoooond our imagination. Sambil nyeruput kopi atau segelas juice, kaldera, laut Aegea dan blue domes beautifully captured in front of our eyes! Sementara menunggu sunset pada pukul 19.00, kami mulai berkeliling sekitar Oia dari pukul 4.30 sore. Yang perlu diketahui jika kita berencana membawa anak adalah lupakan stroller. It won’t work untuk strolling around dan menikmati pulau ini sambil mendorong stroller, jalanan cukup sempit mungkin kurang dari 2 meter lebarnya dan very busy and crowded di jam-jam tertentu, ditambah lagi kontur jalan yang mengharuskan kita naik turun berpuluh dan beratus anak tangga untuk mendapatkan spot yang bagus untuk menikmati sunset. Karena kontur jalan beberapa area di Oia cukup curam, naik turun dan a bit slippery, saya dan Mikha sempat beberapa kali terpeleset hingga terjatuh padahal kami sudah berpegangan pada railing tangga, sehingga disarankan menggunakan sepatu atau alas kaki yang cukup nyaman dan bahan alas yang tidak licin.

Menjelang malam di Oia
Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, Oia dikenal dengan sunset yang begitu cantik and we are the witness of that beauty! That’s the most beautiful sunset I’ve ever seen in my entire life! Merindiing liat sunsetnya. Oia is veryyyy beautiful in every corners. Dan bagi yang hobi fotografi seperti suami saya, ada satu sunset spot, (agak sulit mendeskripsikan lokasinya) gambaran strukturnya seperti benteng dan kita bisa naik ke atasnya. Di situ kita benar-benar bisa melihat dan mengcapture suasana sunset, windmill, blue domes church dan seluruh desa ini dengan jelas. Untuk bisa mendapatkan posisi atau spot yang bagus kita harus berada di lokasi ini minimal 1 jam sebelum sunset karena spot ini akan dipenuhi oleh turis bahkan mereka sudah berada di lokasi ini 2 jam sebelumnya.
Greek Restaurant
Ada beberapa Greek restoran yang kami kunjungi selama di Oia, salah satunya kami mencoba 1 resto kecil bernama Pitogyros letaknya berada di sebrang Lolita’s gelato. Kami pesan chicken gyro dan lamb kebab gyro dengan harga €3/each, we simply say both Gyros were a BOMB. It was the best Gyros in town! Sayang gak ada fotonya karena udah keburu masuk perut.

PitoGyros
Restoran kedua yang kami kunjungi adalah Kasteli, letaknya tepat didepan Canava suites. Not a fancy restaurant, semacam restoran keluarga, mereka menjual beberapa traditional Greek food tapi yang the bessssstt dan wajib dicoba adalah grilled lamb ribs-nya. It’s finger lickin’ good. Saking susah move on, dua kali kami makan malam di sini ini dengan menu yang sama. Untuk harga per platenya hanya sekitar €9.
Restoran ketiga yang kami coba adalah Ammoudi Fish tavern, letaknya berada di Ammoudi bay dibawah Oia village, bisa turun dari Oia melalui tangga tapi sepertinya tidak direkomendasikan kalau membawa anak usia toddler karena tangganya cukup curam dan pasti sangat melelahkan untuk mereka. Alternatif lain dengan taxi biayanya €10.
Kalau saya baca reviewnya sih the best seafood restaurant in Oia. Saya akui the view was stunning, laut Aegean, sunset dan Oia village. Tapi untuk seafood plater yang kami pesan dengan harga €65 adalah overrated, mahal dan rasanya biasa banget. Jadi mungkin restoran ini lebih menjual view atau mungkin kami salah pilih menu. Kalau saya kurang merekomendasikan makan disini kalau niatnya bukan untuk makan cantik atau lagi laper.

View of Amoudi Bay (via Camchowda.com)
Santorini Sailing Tour
Sebetulnya ada banyak tempat-tempat yang dapat di-explore dari Santorini, kita bisa naik donkey untuk explore seluruh desa, atau Santorini wine tasting tour karena Santorini juga dikenal dengan pabrik anggurnya dan bisa juga pergi ke desa lain untuk mendapatkan ambience yang berbeda seperti mengunjungi Fira, Imerovigli, Firostefani dan lainnya dengan berjalan kaki maupun naik lokal bis. Berhubung liburan kami cukup singkat dan harus dipilah-pilah mana yang sekiranya fun juga untuk Mikha, maka hari ke-3 kami memilih untuk melakukan sailing tour. Seluruh sailing tour disana dikelola oleh Santorini Yachting Club, harganya cukup variatif mulai dari €85 per orang untuk group besar sebanyak 48 orang per boat, €130 untuk semi private berisi 10-15 orang per boat, hingga €170 per person untuk tour yang lebih private. Anak kecil dengan batasan umur 4 atau 5 tahun tidak dikenakan biaya. Sailing tour yang kami ikuti memakan waktu sekitar 5 jam. Kami dijemput sekitar pukul 1 siang lalu menikmati tour hingga sunset. Harga tersebut sudah termasuk antar jemput hotel, sailing tour dan buffet. Kapal akan berhenti 3x yaitu di hot spring, red beach dan white beach dan kita bisa berenang ataupun snorkeling di ketiga spot ini. Kedalaman laut sekitar 10-18m, dan kapal berhenti 25 menit hingga 1 jam di tiap spot untuk memberikan kesempatan bagi yang ingin berenang di spot tersebut.

The Boat (via santoriniyachtingclub)
Mikha superrr happy karena dia pun saya ajak untuk ikut merasakan berenang di laut, ini menjadi pengalaman pertamanya, sambil sesekali ketelen air laut. Selama kami berenang papa-nya tegang banget dari atas kapal, jadilah hasil fotonya backlight dan goyang semua. Jangan lupa membawa baju dan handuk lebih juga sunblock untuk menjaga kulit dari sengatan matahari. Dan bagi yang membawa anak kecil walaupun terik, saya sarankan juga untuk membawa baju tebal atau jaket karena angin laut yang cukup kencang dan dingin.
Ibukota Santorini: Fira
Hari terakhir di Santorini, kami memutuskan untuk meng-explore daerah Fira. Fira sendiri adalah ibukota dari Santorini. Walaupun dari segi arsitektur secara garis besar mirip dengan Oia yang didominasi oleh bangunan berwarna putih diatas tebing kaldera, feel dan ambience di Fira berbeda dengan Oia. Oia moodnya lebih relax, sementara Fira lebih ramai dengan shopping street-nya, cafes dan night clubs. Sepanjang jalan sempit kanan kirinya dipenuhi oleh butik-butik yang menjual branded watch, jewellery, maupun kios-kios souvenirs. Untuk yang mau shopping, Fira menawarkan lebih banyak pilihan.

View Nea Kameni dan Thirassia from Fira

Shopping area, Fira
Ada berbagai cara untuk menuju Fira dari Oia. Bisa dengan berjalan kaki sekitar 2-3 jam, rental kendaraan dan bisa juga menggunakan bus lokal dengan tarif €1,8 per orang sekali jalan dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Dari Fira kita bisa mendapatkan panoramic view kaldera sekitar 18km dari Akrotiri hingga Nikolaus dan pulau vulkanik Nea Kameni. Disini kami mengunjungi gereja Katolik St. John The Baptist dimana uskup Santorini menetap dan juga ada 2 museum yang dapat dikunjungi Archeological Museum of Thera dan Museum of Prehistoric Thera.

Sunset view from Fira

Donkey Trail Fira – Thira – to Mesa Gialos port
Last Day in Santorini
Keesokan harinya kami check-out untuk kembali pulang ke Belanda. Yang perlu diperhatikan dari Santorini airport adalah ukurannya yang cukup kecil dan beberapa hal masih dilakukan secara manual, sehingga paling tidak 2 jam sebelumnya harus sudah sampai di Airport karena mereka hanya memiliki 3 loket check in.
Antrian begitu panjang, begitu pula saat security check in. Bahkan untuk memasukkan koper ke bagasi pun kita harus drop sendiri di tempat terpisah (bukan di loket check in), walaupun lokasinya masih berdekatan dengan loket check-in. Jadi proses kami selesai pada saat sudah last call boarding pesawat. Jadi prosesnya memang kurang efisien dan staff yang ada juga tidak terlalu banyak.
Sekian perjalanan kami ke Santorini semoga cerita kami cukup berguna bagi mamarantau yang berencana berlibur kesana. Kami memang tidak bisa explore terlalu banyak karena berkaitan dengan waktu kami yang singkat dan karena membawa anak kecil juga membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempersiapkan dan mempertimbangkan hal-hal yang penting yang bisa menjaga keamanan dan kenyamanan anak.
Pics are courtesy of Lia and Family, otherwise stated or linked to the original images.
Mbak Catharina, bisa tahu insurance company yang digunakan saat berdomisili di Netherlands? Terima kasih
LikeLike
Mbak Catharina, bisa tahu nama hotel yang mbak nginap di Oia? ada suggestions untuk hotel2nya? Terima kasih
LikeLike