Hallo! Saya Ludia, ibu dari 3 anak laki-laki (Evan-5 tahun, Erik-2 tahun, & Edgar-1 bulan). Saat ini saya dan keluarga tinggal di Logan, Utah, karena mengikuti suami yang melanjutkan studi di sini. Sebelum pindah ke Logan, saya dan suami sempat merantau di Korea Selatan selama 11 tahun.
Pengalaman Merantau di Seoul, Korea Selatan
Tahun 2009 merupakan kali pertama saya pergi merantau jauh dari keluarga. Pada tahun itu saya berangkat untuk melanjutkan studi S2 di Seoul, Korea Selatan. Setahun sebelumnya, suami – Nanang Mahardika – (yang pada waktu itu masih berstatus pacar) sudah lebih dulu memulai studi S2-nya di Seoul. Jadi, itu adalah salah satu alasan kenapa saya memilih Korea sebagai negara tujuan melanjutkan studi lanjutan yaitu supaya bisa bertemu kembali dengan pacar. Hehe.
Pada awalnya saya dan suami hanya berencana untuk kuliah S2 di Korea, lalu setelah lulus kami ingin kembali ke tanah air untuk bekerja dan berkumpul lagi dengan keluarga. Namun, rencana tersebut berubah total karena setelah lulus S2, kami berdua mendapat kesempatan untuk bekerja di Korea. Tidak terasa kami pun tinggal di Korea hingga lebih dari 10 tahun lamanya. Setelah 11 tahun tinggal di Korea, akhirnya pada tahun 2020 kami memutuskan untuk pindah merantau ke Amerika Serikat karena suami saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral di Utah State University.
Utah State University
Suami melanjutkan pendidikan S3 di jurusan Mechanical & Aerospace Engineering, Utah State University.
Kepindahan ke Amerika Saat saat Pandemi COVID-19
Kami pindah dari Korea ke AS pada masa pandemi, jadi ada beberapa hal khusus yang perlu dipersiapkan sebelum keberangkatan. Pertama, melakukan check up kesehatan dan melengkapi vaksin untuk anak-anak. Tidak lupa mempersiapkan obat-obatan umum yang diperlukan untuk antisipasi apabila terkena sakit pada saat perjalanan. Kedua, memilih rute perjalanan yang minim kontak dengan banyak orang. Dalam hal ini kami memilih maskapai yang ketat dalam menjalankan prosedur kesehatannya, bandara dan tempat transit yang tidak terlalu ramai, juga kota yang tingkat kasusnya tidak terlalu tinggi.
Suasana di Airport Incheon – Dari Busan kami menggunakan flight pagi ke Seoul (Incheon), lalu dari Seoul transit di Seattle(Tacoma) baru lanjut ke SLC Utah. Saat itu transitnya ada pilihan LAX (Los Angeles, CA), tapi waktu itu di LA kasus COVID-nya sedang tinggi dan bandaranya lebih ramai, sehingga aku pilih transit di SEA (Seattle-Tacoma International Airport) yang lebih sepi.
Terakhir, mempersiapkan akomodasi untuk karantina setelah tiba di AS. Kami membawa dua anak balita, jadi tempat yang kami pilih harus sesuai dengan kebutuhan kami tersebut serta aman dengan standar prosedur kesehatan yang baik. Kondisi pandemi ini sempat membuat kami berpikir untuk membatalkan kepindahan kami, tapi pada akhirnya kami jadi berangkat juga.
Ketika transit di Tacoma, Seattle
Proses perpindahan kami dari Korea ke AS tergolong cukup cepat dan lancar. Anak-anak untungnya tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya. Mereka senang sekali karena banyak aktivitas outdoor yang bisa dilakukan di tempat tinggal barunya (Logan).
Di Korea, kami tinggal di apartment yang terletak di tengah kota, jadi kami tidak memiliki halaman sendiri untuk bermain anak. Playground yang ada di daerah apartment kami ukurannya tidak terlalu besar, jadi saat akhir pekan akan penuh dengan anak-anak dan para orang tua yang menemani anak mereka. Sementara itu di Logan kami dapat menikmati taman di belakang dan depan rumah, juga taman kota yang ukurannya jauh lebih luas dari taman kota yang ada di kota tempat kami tinggal sebelumnya.
Karena Logan merupakan kota kecil yang tidak padat penduduknya, taman/tempat bermain outdoor pun jadi tidak padat dengan pengunjung. Hal ini membuat saya merasa lebih tenang karena saat pandemi ini kami menghindari tempat yang ramai pengunjungnya.
Bagi saya sendiri, proses adaptasi sedikit lebih sulit daripada suami dan anak-anak. Saya terbiasa dan lebih suka tinggal di kota besar daripada kota kecil yang jauh dari keramaian. Di Logan, toko-toko dan perkantoran pada umumnya sudah tutup jam 5 sore, jadi setelah itu kota terasa sangat sepi. Restoran atau rumah makan juga kebanyakan tidak buka sampai larut malam dan layanan delivery makanan pun terbatas waktu pelayanannya. Berbagai fasilitas umum pun memiliki jam operasi yang terbatas sehingga sebagian besar waktu saya dan keluarga habiskan di rumah daripada di luar rumah. Hal tersebut membuat munculnya rasa suntuk dan bosan, tapi lama kelamaan saya dapat mengatasinya dengan melakukan kegiatan hobi, mengikuti online course, dan juga dengan berolahraga.
Tempat Favorit di Logan
Saya dan keluarga banyak menghabiskan waktu di akhir pekan dengan bermain di taman atau outdoor playground. Taman yang ada di kota Logan jumlahnya cukup banyak, jadi kami tidak pernah bosan untuk mengunjunginya karena tiap minggu kami coba mendatangi taman yang berbeda. Beberapa taman favorit keluarga kami adalah: Adams Park, Willow Park, Meril Olsen Park, Lundstorm Park, dan Elk Ridge Park.
Saya sendiri paling suka dengan Lundstorm Park karena viewnya bagus di setiap musim, area terbukanya yang luas, dan lokasinya yang berasa pas di bawah bukit membuat viewnya semakin cantik
Suka-Duka saat Merantau
Setiap hal pasti memiliki nilai plus dan minusnya, begitu juga dengan merantau. Saya dan keluarga pernah mengalami masa-masa suka dan duka selama di perantauan. Sebagai orangtua dengan tiga anak yang masih kecil, tentunya saya dan suami sering merasa lelah karena harus melakukan berbagai hal terutama urusan domestik tanpa bantuan siapapun. Namun dengan kerjasama dan pengaturan waktu yang baik,lama kelamaan kami mulai bisa menemukan ritme yang pas agar kami tidak merasa terlalu lelah dalam mengurus rumah atau mengerjakan urusan domestik rumah. Mungkin hal tersulit yang pernah saya alami yaitu saat melahirkan anak ketiga di masa pandemi. Dulu saat melahirkan anak pertama dan kedua di Korea, orangtua saya dan suami bisa datang berkunjung untuk membantu dan menemani saya di rumah. Sedangkan pada saat melahirkan anak ketiga saya di AS, orangtua/keluarga dari Indonesia tidak dapat berkunjung atau menemani. Pada saat hari H melahirkan saya hanya ditemani oleh suami, anak-anak kami dititipkan di rumah penitipan anak yang buka 24 jam karena kami tidak memiliki kerabat dekat di Logan dan rumah sakit pun tidak memperbolehkan membawa anak kecil untuk berkunjung/menginap. Hal tersebut terlihat tidak mudah, namun setelah dijalani ternyata saya dan suami mampu melewatinya dan kami menjadi pribadi yang lebih mandiri juga kompak sebagai pasangan.
Selain duka, tentu ada sukanya dalam merantau. Saya dan keluarga bisa belajar bahasa juga budaya di negara tempat kami tinggal, bisa kenal banyak orang dan punya banyak teman dari latar belakang yang berbeda, dan bisa jalan-jalan ke tempat-tempat menarik tentunya..hehe.. Salah satu tempat menarik yang pernah kami kunjungi di Utah adalah taman nasional Bryce dan Zion yang terkenal dengan pemandangan canyon-nya. Saya ingin sekali nantinya bisa mengajak anak-anak untuk mengunjungi berbagai tempat menarik di AS ini supaya mereka mendapat pengalaman berbeda dan belajar hal-hal baru di tempat tersebut.
Tulisan pendek saya ini mungkin belum memberi gambaran atau info yang cukup mengenai pengalaman merantau di kota Logan. Apabila ada yang tertarik atau ingin memperoleh info lebih lagi, bisa kontak saya langsung melalui akun sosial media (IG: @iniludi & @themahardikas, Twitter: @ludiaekaferi, FB: Ludia Eka Feri).
Hestu Rahmayani – I received Swedish Institute scholarship and firstly arrived in Sweden in 2014 for studying Master in Child Studies at Linköping University. Now I am working as a preschool teacher. Other than working as a teacher, I am also a movement enthusiast who enjoy yoga and learn about functional and embodied movements. My interest in movements grow when I started learning about yoga. The more I learn about movement, the more I understand how moving my body in everyday life give me a lot of benefits. I get a clear mind and less stress when I move regularly, either in a form of training or just walking with my son. I wrote in hestu.rahmayani.com a media to share my movement practice, with the hope that you can also start to move every day.
Pengalaman Merantau
Di tahun 2014 saya mendapat beasiswa dari Swedish Institute untuk kuliah di Master program in Child Studies di Linköping University. Saya tiba di Linköping di bulan Agustus 2014.
Saya suka dengan kota ini karena kotanya tidak terlalu besar. Selain itu kota ini cukup tenang dan kontur alamnya datar sehingga kemana-mana bisa naik sepeda.
Untuk fasilitas umum hampir semua kota di Swedia sangat bagus, jadi tidak hanya di Linköping saja. Linköping adalah salah satu kota dari wilayah Östergötland. Östergötland sendiri terdiri dari tujuh kota yaitu Linköping, Norrköping, Mjölby, Motala, Söderköping, Vadstena dan Skänninge. Hanya ada satu universitas di wilayah ini, yaitu Linköping University. Jadi Linköping bisa disebut juga kota mahasiswa.
Sebenarnya tidak ada tantangan berat tinggal di kota ini, karena kebetulan saya tidak suka tinggal di kota besar. Hidup di Linköping ini cukup tenang dan nyaman. Karena kotanya tidak begitu besar, maka tempat perbelanjaan tidak begitu banyak. Walau tidak begitu banyak, toko-tokonya cukup lengkap dan mudah dijangkau. Pada umumnya tantangan terbesar tinggal di Swedia itu adalah mendapat teman asli Swedia yg ingin sosialisasi dengan pendatang. Karena kebanyakan orang Swedia mungkin tidak seterbuka penduduk eropa selatan. Orang Swedia cenderung lebih sungkan untuk membuka diri dengan orang asing. Selama tinggal di Swedia, sebagian besar teman dekat saya adalah penduduk pendatang.
Tempat Favorit
Tempat favorit saya di Linköping yaitu di Stångån, sebuah area dekat kanal. Di sana saya suka sekali jalan kaki sambil mengasuh anak saya, karena lingkungan sekitarnya dekat kanal jadi walau sudah berkali-kali jalan kaki, saya tidakk bosan. Dengan berjalan kaki menyusuri area tersebut, saya bisa menikmati indahnya suasana alam sekitar kanal yg menghubungkan Göta Kanal di seluruh area Östergötland.
Festival di Linköping
Festival atau perayaan yg paling asik itu biasanya saat musim panas tiba, khususnya pertengahan Juni. Di pertengahan Juni ini ada perayaan “midsommar” atau mid-summer. Dalam perayaan ini, dipasanglah tiang “midsommarstången” atau “maypole”, kemudian orang-orang berdansa mengelilingi maypole tersebut sambil bernyanyi “Små Grödorna” atau dalam bahasa Indonesia Katak Kecil. Yg lebih seru lagi, lagu ini nadanya persis sama seperti lagu Kodok Ngorek. Apakah ini kebetulan? 🙂
Pengalaman Menarik
Saat masih kuliah, saya bekerja part time mengajar yoga dan sebagai “vikarie” atau staf pengajar pengganti guru yg sedang sakit. Sebelum lulus saya dikontrak untuk bekerja temporary di sebuah PAUD selama satu tahun. Walaupun bahasa Swedia masih belepotan, saya berusaha meyakinkan para staf dan kepala sekolahnya agar menerima saya bekerja disana. Jadi ini modal nekat sih 🙂
Kemudian di tahun 2016, setelah lulus, saya pun diangkat sebagai pegawai tetap di tempat tersebut. Walaupun lulusan master, saya bekerja (hanya) sebagai asisten guru. Karena saya tidak ada sertifikat mengajar dari Departemen Pendidikan Swedia. Untuk bekerja di sektor pendidikan di Swedia tidaklah mudah. Di samping harus bisa bahasa, saya juga harus punya sertifikat mengajar agar bisa diangkat sebagai guru. Akhirnya setelah menyelesaikan kursus bahasa level SMA, saya dapat mendaftarkan diri untuk sertifikasi. Sayangnya pengalaman mengajar SD dan TK di Indonesia tidak dipertimbangkan. Departemen Pendidikan Swedia hanya melihat pendidikan Sarjana Pendidikan saja sebagai syarat sertifikasi. Di tahun 2020, akhirnya saya mendapat sertifikat tersebut, namun bukan sertifikat guru TK yg didapat. Tapi sertifikat guru SD khusus untuk mengajar matematika dan kesenian. Jika ingin mengajar di SD, saya harus ikut kuliah penyetaraan selama 1 – 2 tahun. Tidak mudah memang untuk bekerja di sektor ini, namun semuanya harus tetap dijalani dengan penuh perjuangan dan kesabaran.
Di waktu senggang aku adalah host di podcast Perantau Bercerita. Perantau Bercerita adalah sebuah media untuk berbagi cerita tentang kehidupan perantauan. Selain itu ada juga segmen “ngobrolin apa” sebagai sarana beropini tentang berbagai topik yang muncul dalam perantauan. Keep in contact: Instagram: @perantau_bercerita, podcasthestu@gmail.com, hestu.rahmayani.com.
Imroatus Sholihah (Iim) – Annyeong! Nama saya Iim. Kami sekeluarga merantau ke Korea sejak akhir tahun 2018 karena suami yang melanjutkan pendidikan S3 nya di Pusan National University Busan, Korea Selatan. Di Maret 2021 kami kembali ke tanah air 😀
Busan adalah kota kedua terbesar setelah ibu kota Seoul di Korea Selatan. Walau judulnya kota besar kedua setelah Seoul di Korea tapi akses ke alam sangat terbuka. Tempat wisata alamnya pun lebih beragam, mau ke gunung ada, ke pantai juga ada. Biaya hidup di sini cenderung lebih ringan dibanding Seoul, dan kalau diskon sembako (kesenengan mamak2 ya) gak tanggung-tanggung bisa mencapai 3-5x lipatnya.
Musim Gugur yang selalu indah
Selain itu kultur Korea yang sangat dekat dengan keluarga, anak dengan ibu dan ayahnya. Kami bertetangga dengan imo dan ahjussi yang sudah berusia senja tapi masih bugar sekali, imo (bibi) ini sangat baik sekali suka memberikan buah-buahan dan sayuran seperti hasil panen, mungkin beliau memang punya rumah dan ladang sendiri di desanya.
Lalu yang saya sukai di sini yaitu akses transportasinya yang saling berhubungan. Mau ke tempat yang paling jauh pun kita hanya perlu mengetap T card sekali untuk pembayaran, jadi ongkosnya jauh dekat sama lah ya dan anak dibawah 6 tahun tak perlu membawa kartu. Karena itu kita bebas pergi kemanapun walau tanpa kendaraan pribadi sekalipun.
Tantangan Hidup di Busan
Tantangan Pertama dengan bahasa, karena kami bukan tinggal di ibu kota Korea dan bukan tempat wisata internasional jadi orang-orang di sini cenderung tidak faham bahasa Inggris bahkan dalam beberapa kata basic, jadi harus menchallenge diri buat berani mencoba bahasa Korea walau dengan dialek foreigner, hal begini jauh lebih respect orang-orangnya dengan kita dari pada harus memakai aplikasi terjemahan kemana-mana.
Ada kejadian lucu terkait nama saya. Jadi, kebiasaanku kalau belanja ke Matte (ya sejenis Giant lah ya kalo di Indonesia) mbak-mbak kasirnya selalu nanya: “Pointe juseyo”. Lalu aku menyebutkan 4 angka nomor member matteku, gak perlu pake kartu langsung terlacak namaku. “Ah….Im Ro Ah nim?”. Sama orang non Indonesia aku selalu mengenalkan namaku Imroah, bukan nama panggilan Iim. Pernah suatu ketika awal kesini berkenalan dengan warga Amerika aku mengenalkan namaku Iim malah di baca ayem ayem wkwkwk. Lama kelamaan orang Korea pada ngira namaku ya 3 suku kata itu, Im Ro Ah. Pernah sonsengnim bahasa Koreaku manggil Ro Ah sii, Ro Ah sii….lah wkwkwk. Padahal kalaupun aku mengenalkan nama panggilanku Iim masih masuk saja sama orang Korea. Tulisan hangeul Iim itu 이임 dan biasanya orang Korea baca marga 이 itu bukan “i” tapi lee. Jadi kalau Lee Min Ho tulisannya 이민호. Jadi bisalah aku semarga ya jadi Lee Im wkwkwk. Oh iya, man teman boleh banget kalau mau mampir ke vlog di YouTube aku untuk cerita-cerita lainnya di Busan ya! Termasuk kunjungan ke lokasi syuting K drama #StartUp yang sempat booming dibahas oleh para pencinta K-Drama di tanah air.
Di tempat lokasi syuting Start-up!
Tantangan kedua dengan makanan halal kami sebagai muslim, ternyata Korea masih sangat berproses menuju edukasi makanan halal. Jadi kami harus struggle dan konsisten mencari bahan-bahan basic perdapuran seperti garam, saus, yang aman bagi muslim dan edukasi ke anak-anak juga agar memfilter jajanan yang mereka dapat di luar rumah.
Tantangan ketiga tentang kultur pengasuhan, saat sampai di sini anak saya minta dipesenin taksi online seperti di Indonesia karena tidak kuat jalan kaki hehe. Di sini hampir tidak terlihat kesenjangan sosial seperti di drama Korea. Mau itu mahasiswa, dosen dan proffesor semuanya sudah terbiasa berjalan kaki. Kendaraan pribadi mungkin ada tapi biasa hanya dipakai untuk ke tempat jauh atau liburan. Dan kebiasaan seperti inilah yang di awal kami coba adaptasikan ke anak kami. Seperti sejak di sini, kalau mau jajan harus menunggu saya masak sendiri, tidak bisa lagi klik order seperti di Indonesia, karena kita menjaga kehalalan juga. Kakak yang tiba-tiba dari sekolah atau dari luar rumah mendapatkan jajanan harus lapor ke saya dulu untuk memastikan apakah aman dimakan dari segi kehalalan.
Kehidupan Bertetangga di Busan
Jadi, tempat tinggal di Korea itu bermacam jenisnya. Ada yang tipe apartemen (아파트), tipe room (원룸) dan rumah (주택). Nah qadarullahnya kami sekeluarnya menempati tipe yang ketiga, yaitu tipe rumah/주택 (baca: juteg) . Rumah di sini maksudnya ya rumah orang Korea yang disewakan, biasanya satu pagar dengan juin (pemiliknya), biasanya pula juin di lantai 2 penyewa di lantai bawah atau sebaliknya. Nah karena kami tinggalnya di rumah, jadi mengikuti aturan rumah orang-orang seperti orang Korea, dari mulai kewajiban membayar tagihan listrik, gas, dan internet semua dapat bill terpisah walau satu gedung dengan juin tetap tidak pararel, juga aturan pembuangan sampah dll, kita mengikuti aturan pemerintah setempat bukan aturan gedung atau apartemen.
Ngomong-ngomong soal tetangga di Korea, rumah kami bertetangga denga Coffee Shop ini, pemilik kafenya tinggal di lantai 2 dan di bawahnya kafe ini. Kafenya jarang ramai sebenarnya padahal posisinya lumayan strategis cuma mungkin karena agak masuk ke jalan kecil jadi kadang tidak terlihat dari jalan besar. Selain kafe ini, disebelah rumah juga terdapat pasangan ahjuma dan ahjussi yang menyewa satu plat disamping kediaman kami. Ahjuma ini begitu ramah, saya dari cuma tahu “anyeong haseo” sampai beberapa kosa kata lainnya. Ada satu anaknya laki-laki yang sepertinya bekerja di luar Busan yang suka datang setiap akhir pekan. Untuk pemilik rumah yang tinggal di lantai 2, mereka punya anak pertama yang seumuran #kakakgadis (anak pertama kami) tapi berbeda sekolah, dan adiknya yang baru lahir juga laki-laki. Sepengalaman hampir setahun bertetangga langsung dengan orang Korea di rumah orang Korea, sebenarnya orang Korea itu ramah-ramah dan kepo. Walaupun tingkat keponya gak sampe seperti orang Indonesia, kadang suka berbagi juga, ahjuma sebelah suka berbagi buah-buahan, anaknya juin suka kasih kakak snack dan permen (walau berakhir dijadikan mainan saja wkwkw), bahkan tetangga depan pernah kasih kita segepok kresek yang isinya mainan-mainan anak dan raket bulu tangkis.
Orang-orang Korea cenderung sangat menghargai orang asing yang berusaha bertutur kata sama dengan mereka berbahasa Korea. Walau salah mereka tak segan membenarkan dan mengajari. Yah walau tak seperti tetangga tetanggi di Indonesia yang banyak ajakan liwet sana sini, kami cukup nyaman hidup bertetangga disini, walau ramah dan kepo tapi tetap saling menjaga privasi.
Tempat Favorit di Busan
Tempat favorit pertama saya di Busan ada di pantai Haeundae. Saya yang tadinya tidak suka pantai jadi sangat suka sekali ke pantai karena Haeundae ini. Tempatnya bersih, ada banyak pilihan resto halal disana, dan akses kesana dari rumah pun bisa ditempuh hanya dengan menggunakan subway.
Pantau Haeundae
Di tempat ini juga suka dijadikan lokasi syuting drama Korea, yang paling dekat kemarin drama The King Eternal Monarchnya Lee Min Ho di awal tahun 2020, juga selalu ada berbagai macam festival seperti festival pasir (Haeundae Sand Festival) saat musim panas, festival lampu cantik (Haeundae Lighting Festival) saat musim dingin.
Haeundae Sand Festival 2019
Haeundae Lighting Festival
Lalu tempat kedua yang saya suka di Busan adalah Busan Citizen Park, tempat piknik keluarga melakukan quality time. Jaraknya tak jauh dari rumah, hanya berjarak 8 stasiun subway. Kami hanya perlu menggelar tikar dan membawa makanan dan bergabung dengan keliarga kecil lainnya untuk piknik masing-masing. Area Busan Citizen Park cukup luas, di sini disediakan taman pasir untuk anak-anak bermain, playground dengan berbagai macam permainan, taman bunga, taman bambu, sampai air mancur dan masuk sini pun gratis.
Busan Citizen Park
Busanjin-gu 부산진구 : Busan Citizen Park 부산시민공원
Info Komunitas Indonesia dan Muslim di Busan
Komunitas Muslim di Korea: KMI; komunitas muslimah WNI di Indonesia: Rumaisa (Ig/Fb: RumaisaKorea); komunitas PMI Korea: Perpika
Sekolah PAUD
Saya cukup terkesan dengan pendidikan usia dini (PAUD) di sini. Awalnya saya tidak akan menyekolahkan anak saya di awal karena judulnya juga sudah Orinijib yang artinya daycare. Tapi ternyata orinijib sangat memperhatikan fase perkembangan anak sesuai usianya. Saat survey saya yang pertama di orinijibnya kakak, saya langsung jatuh hati dengan sistem yang mereka tetapkan disana. Di sana anak-anak hanya bermain, memang hanya bermain tapi jelas dengan permainan edukatif yang menunjang tumbuh kembangnya.
Saat undangan konsultasi oleh kepala sekolah dan guru. Di sini saya membawa interpreter wkwkwk
Hal yang tidak begitu mudah saya berikan sejak ke Korea karena keterbatasan bahasa dan tempat. Juga anak-anak di orinijib diajarkan untuk disiplin dan mandiri sesuai fase usianya, dan yang membuat saya lebih jatuh hati lagi kepala sekolahnya sangat terbuka dan toleran dengan agama yang kami punya. Saya dan suami alhamdulillah berhasil melobby pihak orinijib agar anak kami bisa membawa bekal sendiri ke sekolah karena di Korea, kenapa? Coba cek di sini yaa…!
Untuk sekolah SD-SMA di Korea itu gratis, tapi untuk preschool seperti orinijip dan kindergarten biaya perbulannya bermacam-macam. Standar orinijip itu 400ribu-500ribu won sebenarnya, tapi alhamdulillah wa syukurillah karena kami ikut bersekolah di orinijip yang banyak menerima foreigner dan disana karena status abang sebagai hakseng (mahasiswa) dan foreigner membuat kami banyak diberikan potongan. Jadi untuk fee perbulannya kakak dikenakan biaya sebesar 250.000 won dan adik karena tidak full 100.000 won (hitung sendiri ya kalau di rupiahin berapa wkwkw rate google). Setelah biaya ini tidak dipungut biaya apa-apa lagi, sudah include jemputan, makan, cemilan pagi sore, dan lainnya.
Fashion di Korea
Ngomongin Korea, kalau gak ngomongin KPOP, drakor, skincare dan fashionnya. Saya bernah bertanya-tanya ada gak ya orang kepo sama Korea tapi tidak tersangkut hal-hal di atas wkwwk. Ngomongin fashion dan style di Korea, memang diakui sih negeri ini memang high style banget di dunia fashion dibandig negeri 4 musim lainnya. Apa hubungannya dengan 4 musim? Lah iya, setiap musim jelas tiap brand punya standar style tersendiri yang kalau selalu diikuti akan merogoh kocek yang lumayan bikin nyeri. Haha. Dan fashion disini tuh cepat sekali berputar, misal dalam suatu toko ada produk di manekin depan keluaran winter tahun ini, di tahun depan di musim yang sama produk tersebut sudah ditaruh di etalase belakang dan tertulis harga sale 1+1 wkwkwk.
Karena branding dari fashion Korea ini banyak orang-orang pendatang yang tinggal disini buka jastip, jasa titip barang-barang Korea. Mulai dari fashion, barang-barang branded, skincare nyampe rumput laut pun bisa menarik peminat calon pembeli sebenarnya.
IG: im.imroah; Blog: imroahnote.com; YouTube: Im Imroah
Hi! Nama saya Deasy Priadi, saya seorang istri dan ibu dari anak laki-laki berusia 2 tahun. Saya sudah tinggal di Amerika on/off sekitar 10 tahun, di mana 6 tahun terakhir saya merantau bersama suami. Pas kecil, saya sempat tinggal di Wisconsin bersama orang tua dan kakak, kemudian balik lagi ke Amerika untuk S2 di Baltimore, Maryland.
Setelah menikah, kami sempat tinggal di NYC di mana suami saya menyelesaikan pendidikan dokter spesialis. Lalu saya sempat melanjutkan studi di Virginia dan tinggal terpisah dengan suami (saat itu saya juga sedang hamil), kemudian pindah lagi ke Baltimore di mana anak saya lahir dan suami menyelesaikan pendidikan subspesialis. Sejak 2019, kami tinggal di Chester, Maryland di mana suami bekerja sebagai dokter. Kota ini berjarak tempuh sekitar 1 jam dari Washington, DC dan merupakan salah satu suburb kota tersebut.
Setelah anak saya lahir, saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Selain mengurus keluarga, saya juga punya online shop @sevenponies yang saya rintis dan jalani bersama dengan teman baik di Jakarta, dan juga mengurus @kebayainspiration di mana saya adalah founder dan admin, serta trading forex yang sudah saya lakukan sejak 2015. Beberapa bulan lalu, saya mulai menjadi tutor GMAT seminggu sekali untuk murid di Indonesia.
Cerita Pemilu 2020 AS
Saat ini, untuk pertama kalinya saya tinggal di kota kecil. Selama ini saya antara tinggal di kota besar atau college town, dimana penduduknya rata-rata liberal dan saya seperti hidup di dalam bubble. Saya terbiasa tinggal di kota dengan latar belakang beragam (terutama dari segi ras) dan di sekitar saya sebagian besar adalah pendukung partai Demokrat.
Tinggal di kota kecil memberikan pengalaman yang sangat berbeda. Walau Chester adalah suburb DC, masih banyak peternakan dan ladang jagung tidak jauh dari rumah. Demografinya juga sebagian besar kulit putih. County tempat saya tinggal adalah satu-satunya di Maryland yang representativenya adalah Republican. Dalam artian, semua anggota DPR dari Maryland berasal dari partai Demokrat, kecuali perwakilan dari Dapil (daerah pilih) saya yang berasal dari partai Republikan. Trump juga mendapat sekitar 61% suara di county ini. Pada awalnya saya cukup shock karena di jalanan lebih banyak liat banner dan spanduk Trump daripada Biden. Tapi beginilah potret kota kecil Amerika. Menurut saya, kota besar seperti NYC dan LA kurang representatif dari keadaan Amerika yang sebenarnya.
Di komplek tempat saya tinggal, sempat ada insiden di mana ada bendera Trump yang diambil dari halaman depan seseorang. Orang tersebut kesal dan heran kenapa ada yang tidak bisa menghargai pilihan orang lain. Akhirnya dia kembali masang bendera Trump lebih banyak lagi di halaman depan rumahnya. Haha.
Come back with more!
Blue Lives Matter
Sementara tahun 2020 selain diisi dengan kampanye dan pemilu, juga ramai Black Lives Matter atau BLM terkait kasus yang menimpa George Floyd pada bulan. Untuk BLM, saya justru lebih sering melihat atribut-atribu Blue Lives Matter yang merupakan respons terhadap Black Lives Matter. Blue Lives Matter memperjuangkan keselamatan polisi, karena semenjak protes Black Lives Matter polisi banyak yang di-antagonize. Atribut yang saya lihat umumnya bumper sticker, bendera yang dipasang di truk, dsb. Penduduk kota kecil memang concernnya berbeda sekali dengan kota besar.
Walau demikian, saya tidak pernah merasa didiskriminasi oleh orang-orang di sini. Orang-orang yang saya temui sangat ramah dan welcoming layaknya penduduk kota kecil dan tidak pernah sekalipun ada yang pernah menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menganggap saya adalah orang asing (i.e. what country are you from? Your English is so good, etc).
Yang cukup lucu adalah pengalaman suami saya di kantor di mana ada beberapa kolega yang dari kecil tinggalnya di daerah sini. Mereka menganggap suami saya adalah “city boy”. Ada satu kolega yang takut sekali dengan NYC karena dianggap tidak aman dan penasaran dengan pengalaman suami naik subway setiap hari, Ada juga yang yang benar-benar asing dengan konsep Islam dan beberapa kali bertanya “so you don’t go to church?” atau “so you don’t celebrate Christmas?” seakan-akan itu adalah suatu hal yang bikin syok. Haha. Orang-orang kota kecil banyak yang tidak ter-expose dengan keberagaman sehingga terkadang terlihat seperti ignorant, padahal mereka adalah orang yang baik dan ramah.
Kalau melihat di berita, memang saat pemilu dan protes BLM keadaan di Amerika sangat mencekam. Tapi sebagian besar terjadi di kota besar. Kota kecil seperti Chester sangat aman dan hari-hari berjalan seperti biasa saja.
Kehidupan di Masa Pandemi COVID-19
Masing-masing county memiliki kebijakan sendiri perihal lockdown dan quarantine. Presiden tidak memiliki wewenang untuk memberlakukan lockdown dan quarantine secara nasional. Bahkan gubernur hanya dapat memberikan himbauan. Masing-masing county kemudian memutuskan sendiri apakah perlu lockdown/tidak. Sama halnya dengan keputusan membuka sekolah, dsb.
Saat ini tidak ada lockdown/quarantine. Public school sudah mulai buka (hybrid) dan private school, preschool, dan daycare sudah buka sejak beberapa bulan lalu. Anak saya sudah sekolah in-person sejak September. Restoran, gym, dan salon juga sudah buka walau kapasitasnya disesuaikan. Lagi-lagi karena kota kecil, tidak sulit melakukan social distancing dan berhubung tidak ada public transport, semua orang punya mobil sehingga penyebaran COVID bisa ditekan.
Supermarket memiliki jam-jam khusus di mana mereka buka hanya untuk populasi berisiko (orang tua, orang dengan underlying health condition). Vaksinasi terhadap tenaga kesehatan dan orang tua juga sudah mulai berjalan. Secara garis besar, hidup sudah berjalan seperti normal walau dengan penyesuaian.
Zara Novita Sari– Salam! Saya Zara. Saya seorang dokter yang saat ini menjadi full-time mom. Tahun ini adalah tahun ketiga saya di York. Bukan New York yang di Amerika ya, tapi ini York atau Old York di Inggris. Merantau ke Inggris untuk kedua kalinya. Sebelumnya, saat masih lajang, saya menghabiskan satu tahun di Inggris untuk S2 (MSc in Reproductive and Developmental Medicine) di The University of Sheffield.
Kali ini saya merantau dengan status sebagai istri, mendampingi suami yang menempuh program doktoral (PhD in Electrical, Electronics, & Communication Engineering) di The University of York.
Tentang York
York adalah kota wisata andalan Inggris. Kota tua ini dikelilingi oleh dinding (York City Walls) sehingga jika ingin memasuki pusat kota kita akan melewati gerbang-gerbang kuno Ciri khasnya yang lain adalah ada beberapa jembatan cantik yang melintasi dua sungai yang membelah York yaitu River Ouse & River Foss.
Hampir setiap sudut kota kecil ini menyimpan sejarah dan keindahan, mulai dari peninggalan The Roman Empire, Viking, hingga kerajaan Inggris saat ini. Di sini terdapat York Minster (katedral terbesar di Eropa Utara), The Shambles (jalan tua yang menjadi inspirasi Dioagon Alley di Harry Potter), Clifford’s Tower, National Railway Museum, dan berbagai tempat bersejarah lainnya.
Terdapat desa-desa kecil di sekitarnya. Kami tinggal di salah satu village, namanya Heslington, tempat dimana kampus The University of York berada. Suasananya damai, tenang, & jauh dari keramaian, cocok untuk belajar & juga sebagai tempat tinggal. Daerahnya juga masih hijau, banyak ditemukan pepohonan di sepanjang jalan. Hampir sepanjang hari bisa mendengar kicauan burung. Kalau berjalan-jalan di sekitar rumah sering bertemu tupai dan beraneka unggas. Warga di village ini juga suka berternak & bercocok tanam sehingga kami sering bertemu & menyapa petani saat melintasi “allotment” (ladang) serta melihat kuda & gerombolan sapi di jalan.
Tidak jauh dari rumah terdapat beberapa lapangan besar. Kami sering mengajak batita kami bermain di sana. Salah satunya bernama Outgang, sebuah lapangan Cricket & Football, yang di pinggirnya terdapat playground dengan wahana yang cukup lengkap. Di sana juga terdapat banyak pohon blackberry liar yang buahnya sering kami petik dan menjadi salah satu favorit anak batita saya.
Akomodasi di York dan Komunitas Pelajar Indonesia
Pada tahun pertama, kami tinggal di akomodasi khusus mahasiswa sehingga bertetangga dengan para mahasiswa dari berbagai negara termasuk dari negeri sendiri, Indonesia. Tahun ke tiga, kami pindah ke rumah yang hanya selemparan batu dari rumah sebelumnya. Bedanya, kawasan ini didominsi para warga Inggris, umumnya para lansia yang ramah. Jika bertemu kami sering saling menyapa dan kadang mengobrol. Mereka pun sangat senang mengajak bercanda balita saya. Sambutan yang baik ini menghangatkan hati perantau seperti saya.
Di sini juga ada komunitas pelajar Indonesia Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) York. Beberapa agendanya adalah pengajian bulanan, gerebek alias pertemuan berkala, dan halal bi halal. Agenda ini sangat ditunggu-tunggu karena merupakan ajang berkumpul dan bercengkrama serta menikmati sajian nikmat khas Indonesia.
Jika sedang berjalan-jalan di York City Centre dan ingin menikmati makanan halal, bisa mampir di Middle Feast yang memiliki menu shawarma yang lezat. Atau jika sedang berada di sekitar kampus The University of York, bisa memesan delivery food halal dari Chenab, makanan khas Pakistan.
Tantangan Merantau di York
Sebagai kota wisata terkenal, tidak heran jika berbagai komoditas hingga tempat tinggal di York mematok harga “turis” alias lebih mahal dari kota-kota umumnya di Inggris. Rumah satu kamar tanpa furniture lengkap (semifurnished) dipatok di atas GBP 500/bulan. Angka itu belum termasuk biaya energi (listrik/gas), internet, air, dll.
Warga York kebanyakan adalah warga lokal Inggris alias bule. Persentasi warga pendatangnya masih jauh lebih sedikit dibanding kota-kota lain. Begitupun warga muslim di sini juga tidak begitu banyak. Jarang ditemukan prayer room kalau berjalan-jalan di pusat kota. Untuk mesjid, di sini ada 2 mesjid, satu di sekitar pusat kota dan satunya lagi berukuran lebih besar berlokasi di dekat kampus The University of York.
Restoran halal di sini masih terbatas. Sehingga untuk makanan harus dimasak sendiri. Untungnya ada beberapa toko bahan makanan halal yang menyediakan berbagai daging halal, rempah-rempah Asia, bahkan kecap & saos cabe asal Indonesia.
Tempat Favorit di York
Yang menjadi tempat favorit saya dan balita saya adalah perpustakaan kota, York Explore Library & Archive, yang cukup aktif mengadakan kegiatan rutin terutama untuk anak-anak. Salah satunya adalah kegiatan “read aloud” yang diadakan setiap minggu. Perpustakaan ini juga memiliki area khusus untuk anak berisi beraneka ragam buku yang bisa dipinjam hingga 20 judul untuk satu orang anak.
Bisa dibilang York itu siap menerima turis sepanjang tahun sehingga selalu punya acara menarik setiap bulannya. Beberapa yang pernah kami ikuti adalah Viking Festival, York Ice Trail, & Science Night.
Sangking banyaknya acara yang digelar sepanjang tahun sampai-sampai kami tak bisa mengikuti semuanya. Yang sayangnya sekali kami lewatkan adalah festival balon udara “York Balloon Fiesta” & “York Residents Festival” (beberapa hari khusus yang memberikan kepada warga York agar bisa menikmati fasilitas & tempat wisata dengan harga diskon atau bahkan gratis).
Nah, kalau mamarantau berkunjung ke York & punya waktu lebih, bisa berkunjung ke Harrogate. Ini adalah kota transit yang tidak jauh dari York yang memiliki “viaduct” (jembatan tinggi) dan sebuah kastil di atas bukit dengan pemandangan yang indah.
Atau, jika ingin suasana pantai, bisa ke Filey, sebuah kawasan pinggir pantai yang tidak jauh di York.
Pengalaman Persalinan
Pengalaman tak terlupakan selama di sini adalah saat menjalani persalinan di York Teaching Hospital. Saya melalui proses persalinan yang cukup lama dan sulit hingga berakhir dengan emergency Caesarean section. Uniknya, lokasi kamar operasinya bersebelahan dengan kamar bersalin. Berbeda dengan kamar operasi di Indonesia yang biasanya di gedung khusus atau minimal berbeda lantai dari ruang tindakan. Karena berada di teaching hospital (rumah sakit pendidikan), saya sempat ditangani oleh dokter muda yang didampingi dokter senior untuk flebotomi (pengambilan darah). Kejadian-kejadian di rumah sakit ini mengingatkan kembali pada masa-masa pendidikan dokter yang saya lalui beberapa tahun lalu di Indonesia.
Sebenarnya masih banyak kisah-kisah menarik selama di Inggris, semoga saya dapat segera merampungkan buku tentang ini. Mohon doanya ya 🙂
— Cerita lebih lanjut tentang York dapat disimak di IG: @sarizaranovita. FB: Zara Novita Sari. Twitter: @sarizaranovita
A mother. Currently living in Oxford, UK, with her son and husband who is pursuing his Doctoral degree at the University of Oxford. She is a full-time mother who also runs a small business back in Indonesia. She loves houseplant, enjoys travelling, reading, and baking.
Halo! Nama saya Mega Aisyah Nirmala. Saat ini, saya dan keluarga merantau di Oxford, salah satu kota di Inggris yang lokasinya sekitar satu jam perjalanan dengan kereta dari London. Dulu waktu pertama kali mendengar kata Oxford, yang terlintas dalam pikiran saya adalah kamus Oxford, hahaha. Tapi ternyata memang ada hubungannya. Kamus Oxford ini diterbitkan oleh Oxford University Press.
Kami sudah tinggal di Oxford selama kurang lebih 3.5 tahun. Kepindahan kami kesini dalam rangka menemani suami yang sedang menyelesaikan Doctoral Programme in Computer Science di University of Oxford. Di saat yang bersamaan, ia juga bekerja sebagai Research Associate di kampusnya.
Sebelum merantau ke Oxford, kami sama-sama menempuh pendidikan S2 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Bidang suami saya adalah Teknologi Informasi sedangkan saya sendiri mengambil Master of Business Administration. Setelah pindah ke Oxford, saya menjadi ibu rumah tangga. Sembari mengurus suami dan anak, saya juga masih mengurus bisnis Airbnb yang ada di Yogyakarta, meskipun saat ini sedang berhenti sementara karena pandemi. Selain itu, saya juga punya hobi baru; houseplants dan baking. Di sela-sela kesibukan itu, kami senang jalan-jalan, mengeksplorasi tempat-tempat menarik di sekitar kami.
OXFORD: AND ANCIENT AND MAGICAL CITY
Semenarik apa sih kota Oxford? Bagi kami, sangat menarik. Kota Oxford dijuluki sebagai theLearning and Cultural City karena memang kota Oxford itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari University of Oxford. Kota Oxford adalah kota yang sangat tua. Kota ini memiliki arsitektur bangunan yang menurut saya ancient dan magical. Tidak sedikit bangunan-bangunan di kota ini maupun kampus-kampus di University of Oxford yang berusia lebih dari 500 tahun. Untuk penggemar Harry Potter, tentu saja kota ini tidak bisa dilewatkan. Universitas inilah (dan juga Cambridge) yang banyak menginspirasi JK Rowling dalam menulis novel masterpiece-nya. Jadi tidak heran kalau banyak tempat di University of Oxford yang dijadikan lokasi pengambilan gambar film Harry Potter.
Ancient and Magical Oxford.
Selain suasana kotanya yang magical, penduduknya pun sangat menyenangkan. Orang Inggris memang terkenal dengan keramah-tamahannya. Mereka mudah sekali menyapa atau sekedar melempar senyum ketika berpapasan dengan siapa saja di jalan. Saya masih ingat waktu awal-awal pindah ke Oxford, seorang kakek-kakek menawarkan diri untuk membawakan belanjaan saya yang waktu itu memang cukup banyak. Terharu sekali rasanya. Juga seorang teman yang baru saya kenal, tiba-tiba mengucapkan ‘Happy Ramadan’ karena memang saat itu sedang bulan Ramadan. Contoh lain lagi, saat berbelanja di toko/pasar, para penjualnya selalu menyapa dengan ramah misalnya dengan bertanya ‘Can I help you, love?’ manis sekali. Waktu anak kami masih bayi, banyak orang-orang di jalan yang menghampiri untuk sekedar menyapa atau memberi pujian. Hal-hal kecil ini ternyata sangat membekas di hati saya. Meskipun begitu, perlakuan yang tidak menyenangkan juga pernah kami alami. Apalagi kami termasuk kaum minoritas di sini. Tapi secara keseluruhan, kami tidak menemukan masalah yang cukup berarti dengan penduduk di sini.
Kami tinggal di apartemen yang dimiliki oleh University of Oxford. Tetangga-tetangga kami berasal dari berbagai belahan dunia. Ada juga tetangga yang sama-sama berasal dari Indonesia. Bisa dibilang kami tinggal di kawasan yang sangat multicultural. Kami mempunyai tetangga-tetangga yang menjadi teman baik sampai saat ini. Biasanya para tetangga yang sama-sama mempunyai anak, secara rutin bertemu untuk sekedar menemani anak-anak bermain bersama, pergi ke playground, masak-masak, merajut dan lain sebagainya.
Satu hal yang sangat saya sukai dari komunitas yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai belahan dunia adalah betapa mereka sangat suportif dan positif terhadap sesama.
Kami menyukai kota Oxford karena Oxford bukanlah kota besar, tidak terlalu sibuk, padat atau pun ramai. Kami biasa berjalan kaki atau bersepeda untuk bepergian. Setiap hari, suami saya berangkat ke kampus dengan bersepeda. Sejak anak kami sudah agak besar, kami lebih banyak bersepeda kemana-mana (tadinya lebih banyak dengan stroller). Dari rumah, pusat perbelanjaan, terminal bus, stasiun kereta, dan lain sebagainya, semua bisa dijangkau dengan jalan kaki maupun bersepeda. Momen bersepeda dengan anak menjadi momen yang sangat berharga bagi saya.
Sepeda yang kami beli dari tetangga seberang blok. Senang sekali!
TEMPAT-TEMPAT MENARIK DI OXFORD
Meskipun kota kecil, namun ada banyak hal yang bisa dijelajahi dari kota ini. Tidak sedikit teman-teman yang pernah ke sini, jatuh hati pada kota Oxford.
Setiap sudut Oxford menarik bagi kami. Ada beberapa hal yang berkesan dan tidak boleh dilewatkan saat tinggal atau mengunjungi kota Oxford. Diantaranya adalah:
Port Meadow. Ini adalah padang rumput yang menjadi salah satu destinasi favorit kami untuk sekedar jalan-jalan atau melihat sapi dan kuda. Banyak orang yang berolahraga atau sekedar berjalan-jalan bersama anjing peliharaan di sini. Tepat di sebelah padang rumput, terdapat sungai Thames dan dermaga kecil di mana banyak kapal-kapal bersandar. Jika musim dingin, padang rumput ini dijadikan tempat penampungan air, sehingga terlihat seperti danau yang menambah keindahan Port Meadow.
Port Meadow di musim dingin, padang rumput yang berubah menjadi danau sementara.
Giant Market. Pasar terbuka ini lokasinya di dekat terminal bus kota Oxford, dibuka beberapa kali dalam seminggu. Namun, khusus pasar sayur dan buah hanya ada setiap hari Rabu. Selain pedagang sayur dan buah, ada juga pedagang keju, ikan, dan kebutuhan rumah lainnya. Ada juga berbagai kios makanan dari berbagai negara. Ada setidaknya 3 kios yang menyediakan makanan halal. Biasanya setelah selesai berbelanja, meski tidak selalu, kami mampir untuk menikmati makanan di salah satu kiosnya.
Covered Market, Pasar ini sudah ada sejak 1 November 1774. Di dalamnya ada berbagai macam toko (baju, aksesoris, tanaman, sayuran), café dan restoran, toko barang-barang antik dan juga barbershop. Salah satu tempat favorit kami di Covered Market ini adalah kios Ben’s Cookies. Kios kecil di dalam Covered Market ini adalah cikal bakal Ben’s Cookies yang sekarang mempunyai banyak cabang baik nasional maupun internasional.
Kios Ben’s Cookies di Covered Market.
Kampus-kampus di University of Oxford.
Kampus-kampus di Oxford jumlahnya lebih dari 30. Salah satu kampus favorit kami adalah Christ Church College. Kampus ini bukan kampus yang tertua meskipun juga sudah berusia 500 tahun. Bangunannya megah dengan artitektur yang menawan. Kampus ini juga digunakan sebagai salah satu lokasi pengambilan gambar film Harry Potter. Dining hall di beberapa kampus ini yang menginspirasi JK Rowling dalam mendeskripsikan dining hall di Hogwarts. Beruntung, sebagai mahasiswa University of Oxford, suami bisa membawa tamu-tamu untuk mengunjungi kampus-kampus ini tanpa dipungut biaya.
Dining hall di Christ Church College yang menjadi inspirasi JK Rowling dalam menggambarkan dining hall di Hogwarts.
Selain bisa membawa tamu-tamu pribadi ke kampus-kampus ini dengan gratis, student card juga berfungsi sebagai kartu diskon yang bisa digunakan di beberapa toko.
Tempat-tempat shooting Harry Potter seperti Christ Church College, New College, Divinity School di Bodleian Library menjadi tempat favorit kami, karena saya dan suami sama-sama penggemar Harry Potter. Selain Harry Potter, ada beberapa film lain yang mengambil gambar di kampus-kampus ini. Di antaranya adalah; Exeter College, lokasi shooting film Dr Strange dan Natural History Museum lokasi shooting beberapa film Marvel.
Exeter College di musim dingin.
City Center Oxford.
Pusat perbelanjaan ini selalu ramai pengunjung, terlebih saat libur musim panas. Ada banyak toko, restoran, café, dan lain-lain. Kita juga bisa menikmati street performer yang bergantian menghibur para pengunjung yang lewat. Biasanya toko-toko di sini buka dari pukul 9.00 – 20.00 pada hari Senin-Sabtu. Di hari Minggu, mereka buka lebih siang dan tutup lebih awal, sekitar pukul 17.00.
Bodleian Library, Radcliffe Camera dan Bridge of Sight.
Kata orang, belum ke Oxford kalau belum ke ikon-ikon kota Oxford yang ini. Bodleian library, perpustakaan utama University of Oxford ini merupakan salah satu perpustakaan yang tertua di Eropa. Perpustakaan yang memiliki lebih dari 12 juta koleksi ini merupakan perpustakaan terbesar kedua setelah The British Library.
Radcliffe Camera atau yang juga dikenal sebagai The Camera (dalam Bahasa latin, camera berarti room, ruangan), adalah sebuah gedung yang di dalamnya terdapat Radcliffe Science Library. Perpustakaan ini juga merupakan perpustakaan tua ikonis yang dimiliki University of Oxford.
Oxford Centre of Islamic Studies (OCIS). Pusat Studi ini meneliti tentang Islam, dari perspektif multi-disiplin dan semua aspek budaya dan peradaban Islam. Di sini banyak diselenggarakan kuliah, seminar, dan workshop yang berkaitan dengan Islam. OCIS memiliki masjid yang dibuka setiap waktu salat dan juga digunakan untuk menyelenggarakan salat Idulfitri. Tahun lalu kami berkesempatan untuk salat Idulfitri di sini setelah sebelumnya mencicipi pengalaman salat di lapangan sekolah dan masjid-masjid lain di Oxford.
Setelah sholat Ied di Oxford Center for Islamic Studies (OCIS).
Museum.
Ada beberapa museum di Oxford. Menariknya adalah, semuanya gratis! Natural History Museum dan Pitt River Museum menyimpan koleksi di bidang arkeologi dan antropologi. Ashmoleon Museum of Art and Archaeology di Beaumont street, adalah salah satu museum yang menyimpan Egyptian Mummy. Sedangkan History of Science Museum adalah museum yang koleksinya berupa artefak-artefak bersejarah di bidang pengetahuan. Semua museum ini dikelola oleh University of Oxford.
Suasana di dalam Pitt River Museum.
YANG TIDAK BOLEH DILEWATKAN DI OXFORD
Punting.
Punting adalah kegiatan mengitari sungai dengan sebuah perahu yang disebut punt dan didayung dengan pole. Untuk membuat perahu bergerak, pole harus didorong ke arah dasar sungai. Ada beberapa kampus di University of Oxford yang memberikan fasilitas free punting untuk mahasiswanya, salah satunya kampus suami saya. Biasanya kami harus memesan punt 1-2 minggu sebelumnya.
Ada banyak penyewaan punt di Oxford. Harga sewanya berkisar antara £18-20/jam untuk satu punt yang bisa diisi sekitar 6 orang.
Punting di Sungai Cherwell, Oxford. Punter-nya lagi istirahat.
Afternoon Tea.
Orang Inggris terkenal sekali dengan budaya minum tehnya. Tidak ada salahnya mencoba minum teh di café-café di Oxford. Lebih asik lagi, bisa mencoba di café-café tua yang gedungnya sudah berusia ratusan tahun.
Pick Your Own Farm.
Kegiatan ini biasanya disediakan oleh berbagai farm di musim panas. Pengunjung bebas memetik buah sendiri. Buah-buahan seperti apel, pear, blackberry, strawberry, dan raspberry bisa dipetik sendiri kemudian ditimbang dan dibayar.
Oxford Open Door.
Ini adalah event tahunan di kota Oxford. Ada banyak tempat wisata, institusi, dan kampus yang buka dan membebaskan biaya masuk alias, gratis! Event ini biasanya diselenggarakan beberapa hari di bulan September. Oxford Open Door adalah salah satu waktu terbaik untuk mengunjungi kota Oxford.
St Giles Fair.
Ini juga merupakan event tahunan di Oxford. Event ini bisa dibilang pasar rakyatnya kota Oxford. Ada banyak wahana bermain dan makanan tradisional khas pasar rakyat dijual di fair ini. Fair ini diselenggarakan 2 hari di bulan September.
St Giles Fair, nemenin anak main komedi putar karena belum bisa sendirian.
OXFORD, KOTA KECIL YANG MAHAL
Hidup di kota Oxford termasuk mahal dibandingkan dengan kota-kota lain di Inggris. Tidak heran jika jumlah beasiswa studi di Oxford disamakan dengan beasiswa studi kota London. Kebetulan, kami tinggal di salah satu akomodasi yang dimiliki University of Oxford. Meskipun harga akomodasi kampus lebih murah dibanding di luar kampus, tapi tetap saja mahal dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Inggris. Harga sewa flat 2 kamar yang kami tempati saat ini adalah £1158/bulan atau sekitar 23 juta rupiah dan sebentar lagi akan naik menjadi sekitar £1.200 karena setiap tahun harga sewanya naik 5%.
Oxford tidak selalu turun salju tiap tahun. Bahkan sebelum kami ke Oxford, tidak ada salju selama 4 tahun. Kami beruntung, di tahun pertama di Oxford, salju turun. Ini di taman di depan apartemen kami.
Sebagai keluarga muslim, kami membutuhkan bahan makanan halal (daging, ayam, dan semacamnya) yang tidak selalu tersedia di setiap toko atau supermarket. Tapi kami beruntung masih bisa belanja bahan makanan halal online atau pergi ke kawasan muslim Cowley Road yang jaraknya pun tidak terlalu jauh. Di sepanjang jalan itu, berderet toko-toko dan restoran halal. Ini merupakan salah satu tempat favorit kami untuk berbelanja bahan makanan halal atau sekedar makan-makan di akhir pekan. Untuk makan di restoran biasanya kami berdua menghabiskan £25-30 atau sekitar lima sampai enam ratus ribu rupiah sekali makan. Kadang-kadang kalau sedang tidak bisa memasak, kami membeli kebab untuk lauk berdua. Lumayan, harganya cukup terjangkau, sekitar pada jenis-jenis kebab £7-10.
Salah satu kegiatan di akhir pekan, ngeteh atau jajan di cafe di pusat kota.
Selain itu, ada katering yang menjual masakan Indonesia. Biasanya dijual sekitar £6-7 per porsi sudah termasuk nasi dan lauknya. Walaupun demikian, harga makanan-makanan tersebut memang jauh dibandingkan dengan harga mentahnya. Harga daging mentah sekitar £9/kg, ayam £3/kg, beras £6-8/kg, dan telur £1-2/lusin. Itulah mengapa kita memilih untuk memasak setiap hari.
Untuk biaya potong rambut juga terhitung mahal. Suami saya biasanya menghabiskan £12 (240 ribu rupiah) di barbershop termurah. Nonton di bioskop dihargai £5 untuk mahasiswa dan sekitar £12 untuk dewasa, itupun harga khusus di hari kerja. Berenang untuk 2 dewasa dan 1 balita sekitar £9-10.
Hanya ada bus dan taxi sebagai moda transportasi umum di dalam kota Oxford dengan tarif yang cukup mahal. Tiket bus misalnya, jarak terdekat dimulai dari £2 sekali jalan. Sedangkan taxi, tarif minimalnya sekitar £5.5.
KOMUNITAS WARGA INDONESIA
Biasanya, warga Indonesia yang tinggal di Oxford berkumpul saat PPI (Perkumpulan Pelajar Indonesia) mengadakan acara. Selain PPI, ada juga pengajian At-Taqwa, yang biasanya dilaksanakan satu bulan sekali. Selebihnya, lebih banyak pertemuan informal sesama ibu-ibu saja. Kadang berkumpul karena hobi yang sama, atau hanya sekedar menemani anak-anak kami bermain.
Main salju bareng teman-teman Indonesia yang tinggal satu komplek.
MELAHIRKAN DAN MEMBESARKAN ANAK
Anak pertama kami lahir di tahun pertama kami tinggal di Oxford. Bisa dibilang, tahun pertama itu adalah masa terberat sepanjang sejarah hidup kami. Kenyataan bahwa ini bukan pertama kalinya bagi saya hidup di luar negeri tidak juga membuat keadaan awal tinggal di sini menjadi lebih mudah. Mungkin, karena dulu saya masih sebagai mahasiswa single. Sekarang sebagai Ibu degan suami dan anak yang harus diurus, ternyata pengalamannya sangat jauh berbeda.
Rasa berat itu kami rasakan berdua. Suami mempunyai peran baru sebagai kepala keluarga, seorang ayah, dan masih harus beradaptasi dengan budaya di Inggris, ditambah pressure yang tinggi di awal masa pendidikannya di kampus. Sedangkan saya sebagai first-time-mom tanpa didampingi siapapun kecuali suami, cukup membuat saya stress dan kewalahan.
Kami beruntung, ada keluarga yang menemani hingga sekitar 2 minggu paska persalinan. Selain itu, semua tenaga medis, dokter, bidan, suster, health visitor, memberikan dukungan baik sebelum, saat, dan paska persalinan. Beruntungnya lagi, kami tidak lagi harus membayar biaya persalinan maupun segala tindakan operasi. Tidak ada biaya konsultasi dengan dokter, biaya rumah sakit, biaya obat, dan lain sebagainya. Bahkan sejak lahir sampai anak kami berusia satu tahun, semua keperluan obat, program keluarga berencana, juga termasuk konsultasi ke dokter gigi bisa didapatkan secara gratis. Semuanya itu sudah ditanggung oleh asuransi yang kami bayarkan saat membuat visa.
Dukungan pemerintah sangat kami rasakan. Terlebih ketika paska persalinan, petugas kesehatan dan bidan secara rutin datang ke rumah kami untuk memeriksa kesehatan (baik fisik maupun mental) Ibu dan bayi.
Seiring berjalannya waktu, keadaan mulai membaik. Suami sudah bisa beradaptasi dengan pendidikannya, juga bisa bekerja dengan jam yang mulai teratur dan pembagian pekerjaan rumah tangga yang jelas. Kami mendiskusikan pembagian tugas ini dengan jelas, sehingga jadwal menjaga anak, memasak, cuci piring, cuci baju, buang sampah, membersihkan rumah sampai jadwal me-time bisa terpolakan dengan baik dan kehidupan baik di kampus dan di rumah bisa berjalan dengan seimbang.
Tidak lupa juga kami menyisipkan waktu bersantai di setiap akhir pekan. Kadang kami pergi ke luar kota saat liburan atau long weekend.
Berlibur ke Branksome Beach.
Sejak anak kami lahir, ada banyak kegiatan yang saya ikuti, dari kelas memijat bayi, sekolah musik untuk balita, dan lain sebagainya. Ada banyak klub bayi dan anak (biasanya disebut Stay and Play di sini) di berbagai tempat di Oxford. Ada yang di sekolah, di gedung serbaguna, di tempat peribadatan, dan lain-lain. Rata-rata Stay and Play tersebut tidak dipungut biaya. Kalaupun dipungut biaya, biayanya angat murah hanya sekitar £1-2 untuk pengganti snakcs dan minum kita selama di sana. Taman dan playground pun banyak dan mudah sekali dijumpai.
Tahun ini, anak kami sudah berusia tiga tahun. Di Inggris, anak yang sudah menginjak usia tiga tahun sudah bisa mendaftar Nursery, dengan waktu bermain dan belajar 15 jam dalam satu minggu, Senin sampai Jumat, 3 jam per hari. Biayanya gratis, ditanggung oleh pemerintah. Sayang sekali, anak kami belum bisa memulai kelasnya di masa pandemi ini karena semua sekolah masih diliburkan.
Selama kurang lebih 3.5 tahun di Oxford, ada banyak pengalaman yang kami lewati bersama. Merantau di luar negeri tentu tidak mudah, tapi kami percaya bahwa semua kesulitan akan bisa dihadapi bersama. Kami hanya butuh waktu untuk beradaptasi. Kami pun percaya, perjuangan kami selama bertahun-tahun di tanah rantau ini banyak membawa perubahan dalam hidup dan diri kami.
“Once the storm is over you won’t remember how you made it through, how you managed to survive. You won’t even be sure, in fact, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm you won’t be the same person who walked in. That’s what this storm’s all about.”
Haruki Murakami-
Last but not least, selamat merantau!
—
Mega bisa dijumpai secara virtual di Instagram (@mega_ai) dan Youtube channel (Mega Aisyah).
Foto-foto pada laman ini adalah karya Mega dan beberapa di antaranya terhubung langsung dengan link asli dari image yang digunakan.
Hallo nama saya Vivi Nowotny, asal Bandung. Menikah seorang laki-laki dari Austria. Pernikahan kami di Bandung tepatnya 12 tahun lalu, setelah 6 bulan menikah saya pindah ikut suami pindah ke kota Steyr di Upper Austria.
Merantau di Steyr
Steyr termasuk salah satu kota terindah di Austria, jadi banyak turis datang kesini. Selain kota bersejarah, pemandangan yang sangat indah dan objek wisata menarik lainnya.
Sekilas pemandangan di Kota Steyr
Oh ya, kembali lagi cerita tentang saya, satu tahun setelah pernikahan. Lahir anak perempuan kami yang pertama. Awal tinggal disini saya harus banyak beradaptasi. Seperti kebanyakan perantau tentunya, baik beradaptasi dengan bahasa, lingkungan, budaya, cuaca dsb. Lambat laun semuanya terbiasa. Biarpun begitu ada yang susah untuk di adaptasi dengan diri sendiri yaitu saat kangen keluarga, teman, juga wisata kuliner di Indonesia, haha.
Biasanya kami setahun sekali pulang kampung, tapi di tahun 2012 dan 2015 kami pindah dan tinggal di Jakarta karena kebetulan suami harus tugas kerja lama di Jakarta. Saat di Jakarta saya melahirkan anak perempuan yang kedua. Tiga tahun itu terasa cepat sekali, karena di saat anak-anak sudah terbiasa dengan Jakarta, dekat dengan keluarga dan teman teman, kami harus kembali lagi ke Austria.
Sedikit flashback tentang saya, sebetulnya tidak ada yang istimewa, jadi sebelum menikah saya pernah berkerja di salah satu Event Organizer – Promotion Services di Bandung selama kurang lebih 8 tahun. Dunia dapur sudah tidak asing bagi saya, sejak kecil terbiasa melihat dan membantu nenek yang kebetulan berjualan makanan dan catering. Jadi buat saya memasak itu pengobat kangen. Kembali lagi ke awal pindah ke Austria, karena masak adalah obat kangen. Hampir tiap hari saya memasak.
Let’s Get Baking Together
Saat di waktu senggang suka browsing internet (waktu itu belum zamannya smartphone). Dan tentu punya di salah satu media sosial yang booming waktu itu Facebook. Saya mulai berkenalan dengan teman-teman di tanah air dan mulai posting foto, saya lebih suka memosting hasil foto masakan di FB dan tidak disangka dengan begitu bisa banyak berkenalan untuk sharing resep dan pengalaman di dapur. Buat saya itu hobby yang sangat positif. Singkatnya saya berkenalan dengan teman teman satu hobby. Kami berempat sepakat membentuk group baking online LBT (Let’s Get Baking Together ) salah satu grup baking yang ada di FB.
LBT grup adalah wadah untuk para pecinta dunia baking. Kita berbagi resep, tips and trick, bahan bahan kue, juga order Kue untuk para bakulers dsb. Lebih dari itu kami seperti keluarga besar. Bermula dari 4 orang hingga sekarang anggota kami 300 orang lebih ( kami meyeleksi terlebih dahulu yang ingin bergabung ) dan sekarang LBT pun ada di Instagram.
Dan disini saya sekarang bekerja dan sekolah di bidang Gastronomi. Tidak jauh dari dunia perdapuran. Dapur adalah tempat yang paling saya senangi, bagi saya cooking and baking is my passion. Perdapuran membuat saya relaks dan memacu saya untuk beraktivitas, berkreasi dan kreatif, terutama menghidangkan untuk keluarga tercinta.
Saya ingin sharing juga beberapa hasil kreasi dari dapur yang mungkin bermanfaat dan step by stepnya bisa lihat di YouTube channel saya melalui tautan ini.
Scallion Flower Rolls
Adalah satu satu jenis Dimsum dengan bentuk yang menarik. Bahan bahannya hampir sama, dalam cara membuat atau membentuk ada 2 versi, menurutku lebih mudah menggunakan bantuan sumpit untuk membentuknya.
Bahan :
300 g Tepung serba guna
170 g Susu hangat kuku
3 g Dried Yeast ( Ragi kering )
15 g Gula pasir ( kurleb 3 Sdm )
1/2 sdt Garam
1 batang Daun Bawang
Minyak untuk olesan
Garam untuk taburan secukupnya
BENEDICT BARS
Benedict Bars berasal dari Afrika Selatan, lapisan shortbread dengan topping selai raspberry dan irisan almonds. Teksturnya yang lumer di mulut dan dengan rasa manis raspberry jam, mmm bikin nagih :D. Pembuatannya sangat mudah dan cepat.
Bahan shortbread :
150 g Unslated butter (room temperature) + extra untuk olesan loyang
225 g Tepung serba guna
25 g Maizena
1/2 sdt baking powder
Bahan Topping :
80 g Unslated butter
30 g Gula pasir
1 sdt Vanilla essence
150 g Flaked almonds ( almond iris )
3 sdm Susu cair
Raspberry Jam – secukupnya
BAEURNKRAPFEN
BAUERNKRAPFEN adalah salah satu kue / makanan khas dari Austria. Kebetulan saya tinggal lama disini jadi mengenal makanan khas disini.
Untuk Bauernkrapfen sendiri mungkin sudah tidak asing karena bahan dasarnya hampir sama dengan bahan pembuatan roti goreng lainnya. Karena bentuk yang berbeda dan asal daerah, Nama makanan itu pasti berbeda pula. Bauern yang berati Farmer / petani. Krapfen yang berarti kue Donat. Jadi.. BAUERNKRAPFEN artinya Donatnya para Petani dari Austria 😀
Bahan kering :
255 g : 120 g Tepung serba guna + 135 g tepung protein tinggi
40 g Gula pasir
1/2 sdt Garam
1/2 sdt Cinnamon bubuk
1/4 sdt Pala bubuk / parut
Bahan Basah :
120 g Susu hangat suam-suam kuku
40 g Butter cair
1 butir Telur kocok lepas
5 g Ragi Instant
Mie dari Tepung Hun Kwe
Bahan :
1 bungkus Hun kwe ( 120 gram )
250 gram Air suhu ruang
1 Liter Air
1 batang Mentimun, iris korek api
1 batang Worten, iris korek api
Bahan Saus :
1 sdm Kecap kikkoman
1 sdm Air jeruk nipis ( atau Balsamico vinegar )
1 sdt Minyak wijen
1 sdm Madu
1/4 sdt garam
1/4 sdt penyedap ( optional )
Bahan taburan :
Irisan bawang daun
Wijen secukupnya
Flaky Biscuits
Bahan:
255 gram tepung serbaguna
1 1/2 sdt baking powder
1/4 sdt soda kue
1 sdt garam
90 gram unsalted butter beku, parut dan kembali di bekukan sebelum digunakan.
150 ml buttermilk (* lihat catatan.
2 sdm butter cair dingin, untuk olesan.
Stik Kipas
Takaran bahan sudah pas untuk membuat Stik ini ringan, renyah, dan tahan lama. Cocok untuk isi toples hari raya nanti !
Resep Stik Kipas
Bahan :
255 gram Tepung terigu serba guna
6 gram Tepung tapioka / sagu tani
18 gram Olive oil ( bisa memakai Sunflower oil / Minyak Sayur )
75 gram Air suhu ruang
28 gram Telur yang sudah di kocok lepas
1 sdt wijen
1 sdt Mushroom / Veggie powder ( chicken powder )
1/2 sdt Bawang putih bubuk
1/2 sdt Garam
Selamat mencoba! Semua resep dapat disimak tutorialnya di YouTube Vivi Nowotny dan IG @vivi_nowotny ya!
Nurul Asyifa Munawar – 𝗦𝘆𝗶𝗳𝗮 – 𝗧𝗿𝗮𝘃𝗲𝗹 𝗩𝗹𝗼𝗴𝗴𝗲𝗿. Indonesian Living in Switzerland, accompanying her husband pursuing a Ph.D. in ETH Zurich. Syifa loves photography, explores her current country and also makes youtube about travel inspiration in Switzerland
Saya dan suami sudah 4 tahun merantau dari Indonesia, sejak tahun 2016. Sebelumnya kami adalah sahabat sejak berkuliah S1 di ITB. Kemudian kami melanjutkan studi S2 di Inggris, saya di University of Birmingham dan suami di University of Edinburgh. Setelah lulus S2 kami menikah. Saya pindah dari Inggris ke kota Zürich, Swiss karena setelah lulus S2, suami langsung meneruskan ke jenjang PhD, dia mendapatkan posisi S3 di ETH Zürich. Saya pun ikut mendampingi.
Tentang Zurich
Zürich adalah kota terbesar di Swiss dan memiliki airport & stasiun kereta terbesar dan tersibuk di negara ini. Zürich merupakan salah satu pusat keuangan terbesar di dunia dan ibukota keuangan Swiss. Karena itu, tidak mengherankan bahwa kota ini sering dicap sebagai kota termahal dunia.
Foto di atas saya ambil dari lantai teratas St. Peter Kirche saat musim panas di hari yang cerah, sayangnya ini bukan tempat yg bebas untuk dimasuki, saya ke sana saat tour bersama women integration course.
Suasana Winter di Kota Zürich. Tahun ini salju lebih sedikit turun dibandingkan tahun kemarin. Salju yang turun di perkotaan Swiss seperti di Zurich, biasanya hanya turun sebentar dan tidak tahan lama, maksimal 1-3 hari. Berbeda dari salju2 yang turun di desa dan pegunungan Swiss, mereka awet dan tahan selama berbulan-bulan.
Kota lokasi film Crash Landing On You ini terkenal dengan gaya hidup dan belanja mewah. Akibatnya harga apapun di sini mahal-mahal, kecuali air minum, terdapat 1200 water fountain tersebar di kota ini siap minum.
Objek wisata di Zurich diantaranya ; Zurich Bahnhof, Bahnhofstrasse, Old town, Lindenhof Hill, Munsterbrucke, Lake Zurich. Rata-rata terkonsentrasi di pusat kota (zona 110) bisa jalan kaki atau naik tram dgn harga tiket transport 24jam, 8.8chf 133ribu rupiah/orang.
Hal yang Paling Disukai Selama Tinggal di Zurich
1. Transportasi Umum
Kendaraan umum di sini bersih, nyaman dan sangat tepat waktu, jarang sekali telat. Jarak antar kota pun tidak begitu jauh; dari Zurich ke Luzern, Bern, dan Basel dapat ditempuh 1 jam dengan kereta. Penduduk disini biasanya hanya membayar setengah dari harga tiket transport, karena berlangganan half-fare card seharga 185 chf yang bisa diperpanjang setiap tahun.
2. Suasana kota dan alamnya indah, bersih, dan kualitas airnya terjamin.
Kota-kota di Swiss, terutama di Zurich sangat bersih, bisa dibilang hampir tidak ada sampah di jalan, danau-danaunya pun airnya sangat bersih dan jernih. Selain itu Swiss juga terkenal dengan keindahan alammya yang dramatis, pedesaan dan gunung alpennya pun mudah dijangkau dengan bus, kereta ataupun kereta gantung. Kualitas airnya pun terjamin aman, tidak perlu khawatir minum air keran disini. Di kota Zurich tempat saya tinggal terdapat 1200 air mancur siap minum.
3. Lokasi negara sangat strategis, diapit oleh berbagai negara.
Jika kita lihat di Google Maps atau peta, lokasi Swiss diapit oleh berbagai negara, diantaranya Prancis, Jerman, Italia, Leichesten, dan Austria. Dalam beberapa jam perjalanan kita dapat sampai di Negara lain.
Contoh; dari Kota Geneva, Swiss ke Annecy, Prancis hanya 2 jam dengan bus. Saya dan suami pun suka berlanja kebutuhan sehari hari di kota perbatasan di Jerman yg hanya 1 jam dari Zurich, karena harga barang dan makanan di Jerman jauh lebih terjangkau dari Swiss. Untuk lebih lengkap/detailnya mengenai enaknya tinggal di Swiss bisa ditonton di youtube saya di sini ya.
Tantangan Selama Tinggal di Kota Zurich
1. Serba mahal
Hal yang paling sulit diterima ketika pindah ke sini adalah mahalnya semua harga dibandingkan dengan negara tempat saya tinggal sebelumnya. Apalagi saya tinggal di Kota Zurich, kota termahal di Swiss.
Saya kaget mengetahui harga nonton di bioskop untuk film berbahasa inggris di sini mencapai 20 Swiss Franc /orang (chf = swiss franc), 1 chf sekitar 17000 IDR. Harga makanan yang paling mahal di Supermarket Swiss adalah daging sapi harga sekilonya disini 25-75 chf per kg (384-1,1 juta/ kg) sedangkan di negara tetangga, Jerman hanya 6,5-12 euro per kg. Harga makan di restaurant biasanya diatas 60 chf untuk berdua, harga kebab termurah pun di swiss diatas 15 chf. Belum lagi harga apartemen studio di kota diatas 1000 chf/ bulan, kita wajib bayar iuran TV walaupun kita tidak pakai 400 chf/ tahun dan tiap bulan harus bayar asuransi diatas 350 chf/orang.
2. Kendala Bahasa
Di Swiss terdapat 4 bahasa official, yaitu Jerman, Prancis, Italia, dan Romansh. Kota Zurich terletak di wilayah Swiss yang berbahasa Jerman, walaupun demikian untuk sehari2 orang lokal berbicara dengan dialect Swiss-Jerman. Awal mula ke sini saya tidak mengerti dengan bahasanya (sampai sekarang saya masih belajar) beberapa orang disini sangat tersinggung jika kita berbicara dengan mereka langsung menggunakan bahasa Inggris.
3. Orang lokal cenderung tertutup, toko-toko tutup di hari libur dan Minggu, sedikit pilihan.
Hal menantang ketiga yang saya alami selama tinggal di Swiss adalah orang local cenderung tertutup; rata-rata tidak suka dengan kebisingan/ keributan, butuh proses untuk bergaul dengan mereka, yang pasti kita harus berbicara dengan bahasa Jerman.
Berbeda dengan di UK, salah satu negara surganya belanja, banyak sekali pilihan toko dan barang, toko-toko di Swiss pilihannya sangat terbatas di Swiss hanya ada 3 jenis Supermarket utama yang paling sering ditemui, yaitu Coop, Migros, dan Denner. Supermarket tambahan yang biasanya ada di kota besar, yaitu Aldi dan Lidl. Semua toko pukul 20.00 malam sudah tutup dan setiap hari libur dan hari Minggu supermarket tutup. Untuk lebih lengkap/detailnya mengenai kendala tinggal di Swiss bisa ditonton di YouTube saya berikut.
Keindahan Pemandangan Alam di Swiss
Zermatt – Desa bebas kendaraan bermotor terletak di Swiss Kanton Valais yang dapat ditempuh 3,5 jam naik kereta dari kota Zurich. Dari sini kita bisa melihat puncak Gunung Matterhorn.
Gunung Matterhorn
Suasana desa Zermatt saat musim gugur
Bangunan di atas adalah Chalet yang merupakan rumah tradisional Swiss. Bangunan-bangunan tua yang mendominasi desa Zermatt terbuat dari larch, pohon konifer, banyak ditemukan di daerah dingin belahan bumi utara. Kaya akan getahnya dan kayunya sangat tahan terhadap hama. Paparan sinar matahari dan cuaca bertahun-tahun menggelapkan kayu membuat warnanya menjadi hitam. Akibatnya, bangunan menjadi jauh lebih efektif dalam menyerap dan menyimpan panas.
Lauterbrunnen
Desa bak negeri dongeng, yang terdiri dari 72 air terjun, destinasi wisata wajib bagi para turis di Swiss, saya suka dengan desa ini karena jika menggunakan Swiss Day Pass atau travel pass kita gratis naik funicular (kereta gantung) dan cable car (biasanya naik cable car/funicular ada tambahan biaya) ke Gimmewald dan Murren yang merupakan desa di atas tebing Lauterbrunnen.
Jangan lupa untuk mencoba makanan khas Swiss yaitu cheese fondue.
Makanan khas Swiss Cheese Fondue di Lauter Brunnen
Gunung Bettmeralp dan Gunung Rigi
Gunung Bettmeralp terletak di Kanton Valais. Gunung Rigi terletak di dekat kota Luzern, kota tercantik di Swiss. Gunung Rigi terkenal sebagai the Queen of Switzerland Mountain. Dua gunung ini favorit saya di Swiss karena selain pemandangannya yang indah, kita tidak perlu tambahan biaya untuk naik ke puncak gunungnya, gratis dengan swiss day atau travel pass, biasanya untuk ke puncak gunung di Swiss kita perlu tambahan biaya.
Suasana winter di Bettmeralp
Desa Grindelwald
Grindelwald, salah satu desa gunung terbesar di Jungfrau Region. Lokasinya hanya 38 menit naik kereta dari Lauterbrunnen, di sini suasana lebih ramai turis dan banyak pertokoannya. Pemandangannya sangat indah dan dramatis karena desa ini dikelilingi berbagai gunung. Di luar pusat desa, terdiri dari chalet-chalet di padang rumput berbukit, tersebar di area yang cukup besar. Di Grindelwald kita dpt berkunjung puncak Grindelwald First, banyak aktivitas outdoor yang bisa dilakukan disana. Sayangnya kesana tidak dicover day/travelpass. Harga return ticketnya 72chf, 634 ribu/orang (disc 50% u/travelpass).
Foto ini diambil pada akhir April, saat musim semi dimana rerumputan berwarna hijau, cuaca sejuk dan salju di gunung masih ada dan tampak jelas.
Mürren
Salah satu desa yang menggambarkan desa sempurna di Pegunungan Alpen Swiss: tidak ada mobil, gunung di sekelilingnya, dan lereng serta hutan hijau. Pemandangan inilah yang kita lihat sesampainya di Desa Mürren setelah perjalanan 40 menit di udara dengan gondola lift.
Desa kecil & tertinggi di Jungfrau Region ini sangat cocok untuk pendaki, keluarga atau siapapun yang mencari ketenangan & kedamaian di Alpen. Saat winter di sini terdapat banyak salju.
Museum Einstein
Museum favorit saya di Swiss, di museum ini kita bisa melihat sejarah Albert Einstein, ilmuwan terkemuka dunia, penemu teori relativitas, peraih nobel fisika yang tinggal dan bersekolah di Swiss, riwayat hidupnya dari lahir hingga akhir hayatnya diceritakan dengan jelas di Museum ini.
A must-visit museum in Switzerland, Museum of Einstein, the world’s most prominent scientist. Einstein’s Inventions best known for his theory of relativity and the equation E=MC2, which foreshadowed the development of atomic power and the atomic bomb. He won the Nobel Prize for Physics in 1921 for his explanation of the photoelectric effect. Einstein is generally considered the most influential physicist of the 20th century.
Museum ini terletak di Kota Bern, 1 jam dari Kota Zurich dengan kereta. Tempat wisata terindah di swiss lainnya dapat dilihat di Youtube saya berikut.
Aktivitas di Zurich
Aktivitas saya selama tinggal di sini adalah mengikuti sekolah bahasa Jerman program dari pemerintah kota Zurich terdiri dari level A1 hingga B1, kelas yang saya ikuti adalah khusus untuk wanita dan menyediakan tempat penitipan anak.
Bersama teman-teman di kelas bahasa Jerman
Kemudian, saya juga mengikuti sekolah integrasi yang dikhususkan untuk seluruh wanita yang berada di kota Zurich. Rata2 yang ikut kelas ini adalah para istri dari suami yang bekerja di Kota Zurich. Salah satu aktivitasnya berkunjung ke Balai Kota Zurich menonton rapat parlemen pemerintah kota Zurich. Dari kedua sekolah tersebut saya mendapatkan teman dari berbagai negara.
Di waktu senggang saya juga membuat youtube channel – Syifa in Switzerland Vlog – seputar kehidupan dan informasi destinasi wisata di Swiss.
Kia Ora…! – yang artinya ‘hai’ atau ‘hello’ dan berasal dari bahasa asli Māori. Salam kenal dari keluarga rantau di Auckland, Selandia Baru atau New Zealand (NZ). Namaku Nurhayati (Yanti), tapi sapaan akrabku sejak menjadi ibu adalah ‘Amih’ so hampir semua orang memanggilku dengan sebutan Amih Yanti.
Kepindahan ke Auckland
Hijrahku ke ujung dunia ini sesuatu yang sepertinya tidak pernah terpikirkan oleh aku yang anak mama papa banget (boro-boro kepikiran merantau ke luar negeri, ke luar pulau waktu masih tinggal di Indonesia aja ngga deh). Kami merantau kurang lebih sudah 3 tahun sejak 2017 (suami sudah 5 tahun karena duluan pindah ke sini). Lalu kenapa harus ke New Zealand? Kenapa gak negara lain? dan apa latar belakang kami harus kesini? apakah sekolah S2, S3, atau??? Yess jawabannya yang atau itu hehe…
Suami awal ke sini hanya untuk belajar Bahasa Inggris (otomatis mendapat visa student). Nah, awal kisah hidup merantau bermula di sini (cerita lengkap ada di KALA Podcast, berikut jika mau menyimak:
Kenapa NZ? Tepatnya Auckland? Awalnya karena sudah ada sepupu yang tinggal di Auckland, pikirku setidaknya suami tidak akan merasa sendirian banget di sini, dan setelah banyak cari tahu tentang NZ, negara ini memang menarik hati. Singkat cerita, akhirnya suamiku bisa mendapatkan working visa (Alhamdulillah ada tempat kerja yang mau kasih sponsor).
Long Distance Marriage
Lalu bagaimana nasibku? Aku dan anakku tinggal di Bogor, artinya kami menjalani Long Distance Married selama 2 tahun (jangan ditanya susah ga jauh ama suami? jawabannya susah bangeet hihi) dan aku masih bekerja sebagai pegawai di salah satu perusahaan telekomunikasi di Jakarta.
Setelah 2 tahun LDM, akhirnya aku memutuskan menyusul suami ( saat itu statusku Cuti di Luar Tanggungan Perusahaan selama 2 tahun), masih galau melepaskan status ibu yang berkarir, hehe.
Tapi sejak kedatanganku di Auckland pada saat usia anakku 5,5 tahun, baru kuketahui bahwa anakku kesulitan belajar spesifik (dyslexia minor) akhirnya karena alasan untuk dapat fokus kepada tumbuh kembang anak, maka aku putuskan untuk pensiun dini menjelang masa cutiku berakhir.
Kehidupan di Perantauan
Syukurnya aku dapat menikmati peran menjadi IBU seutuhnya untuk mengurus anak, di mana hal ini tidak aku alami selama di Indonesia. Karena di Indonesia ada support system (keluarga besarku) dan ada yang selalu siap membantu, tapi kini selama tinggal di luar negeri mengajarkanku bahwa value hidup yang berharga adalah menjadi mandiri (yang merantau pasti tau rasanya mandiri di luar negeri hehe) dan aku sangat bersyukur karenanya.
Lalu apa aktivitasku selama di Auckland? Sejak dulu selalu beraktivitas dan berkarir sepertinya membuatku menjadi seseorang yang aktif, dan aku tetep pada prinsipku bahwa aku akan mengurus anakku, tapi tidak dipungkiri jiwa aktifku ini membuatku ingin berperan lebih di ranah publik, dan Qadarulloh Allah mudahkan aku menemukan pekerjaan yang jam nya mengikuti jadwalku (jadi aku bekerja saat anakku sekolah, sehingga nyaris anakku tidak menyadari bahwa ibunya bekerja, karena di pagi hari aku mengantarkannya, lalu pulang sekolah aku sudah siap menunggunya di depan kelas, dan aku juga aktif menjadi volunteer di sekolah).
Jenis pekerjaannya adalah menjadi asisten supervisor di salah satu hotel yang lokasinya 3 menit jalan kaki dari apartmentku (ini tips mau cari kerja, gak usah apply yang jauh, selain irit ongkos juga tidak menghabiskan waktu kita)
Lalu bagaimana jika school holiday ( setiap 1 term akan selalu ada libur 2 minggu lalu di akhir tahun liburnya 6 minggu), apakah aku bekerja? Yes, aku tetep mendollar (istilahnya), yakni dengan cara menjadi salah satu orang yang bersedia menjaga anak-anak (baby-sitting) di area apartementku saat orang tua mereka sibuk bekerja atau berkuliah.
New Zealand
Negeri di ujung dunia dengan keindahan alam yang selalu membuatku tak berhenti berdzikir atas ciptaanNya, kadang hasil foto tidak bisa mewakili karya nyata sesungguhnya yang sangat indah. Menghirup udara sejuk setiap hari membuatku bersyukur tiada henti. Kami tinggal di New Zealand bagian North tepatnya di kota Auckland dan ini saja tiap hari selalu dibuat takjub dengan birunya langit dan indahnya alam, apalagi kalo berkunjung ke southnya New Zealand seperti Queenstown aduhaaaai mata seakan dimanjakan dengan lukisan alam yang dijamin bikin speechless.
Auckland
Auckland ini dikenal dengan city of sails (kota pelayaran)
Auckland adalah kota yang bisa dibilang penduduknya lebih banyak dari kota lainnya di NZ karena disini adalah kota bisnis
Auckland terkenal dengan Sky Tower yang menjulang tinggi di tengah kota
Auckland itu multi etnis ( beragam sekali pokoknya, jadi ga aneh kenapa toleransi disini menurutku bisa dibilang cukup tinggi, karena mereka menerima dengan baik keberagaman dan perbedaan)
Auckland juga terkenal dengan pantai pantai yang indah dan gunung gunung
Alasan Memilih untuk Tinggal di Auckland
Setiap bertanya kepada siapapun yang kutemui kenapa memilih Auckland? jawabannya hampir seragam, karena pendidikan sekolah dan tempat untuk tinggal bagus untuk tumbuh kembang anak.
Yap betul, itu jadi alasan utama akhirnya memutuskan tinggal di Auckland, karena :
Lingkungan nya bagus untuk sekolah anak
Playground dan regional park banyak sekali
Park luas sangat mudah ditemui
Banyak FREE FAMILY EVENT yang diselenggarakan disini
Pantai tersebar dimana mana
Ada tempat berenang yang dibawah auckland council untuk usia anak dibawah 17 th FREE, untuk spectator (cuma mengawasi) cukup 1 dollar
Water fountain yang banyak ditemui di public place, jadi ga hanya perlu bawa botol kosong untuk selalu refill air minum
Library yang selalu punya daya tarik untuk semua pengunjungnya karena design dan atmosphere yang bikin betah berdiam lama lama
Sekolah untuk anak bisa dibilang FREE, karena sistem bayar sekolahnya adalah donasi
Lokasi sekolah dan rumah dekat ( karena pemilihan sekolah disini berdasarkan area tempat tinggal)
Ruangan di kelas sekolah selalu di design dengan FUN (kelas primary tapi suasana kelasnya kaya anak TK fikirku di awal awal), anak belajar bukan di kursi mereka bisa berbaur duduk di bawah dan melakukan aktifitas yang kreatif.
Tidak ada ranking di sekolah, anak tidak dibandingankan dengan anak lain, tapi kualitas anak dibandingkan dengan diri nya sendiri ( jadi no pressure kan ya)
Alasan lain :
Family time yang banyak ( sang ayah kerja nya 8 jam dimulai 5 subuh jam 1 or 2 siang sudah dirumah )
Sistem kesehatan yang sudah terintegrasi dengan baik
Kesehatan untuk anak gratis
Sistem transportasi yang terintegrasi baik di bawah AT
Toleransi yang tinggi
Hangatnya warga lokal
Alam yang bersih ( pelestarian alamnya yang bagus, contoh dilarang membuang sampah sembarangan), awan yang indah dan langit biru hampir setiap harinya
Mudah ditemukan makanan halal
Penduduk yang ramah
Komunitas muslim yang cukup banyak tersebar ( contoh ada kegiatan TPQ untuk anak anak dan ada pengajian untuk family)
Kendala Hidup di auckland :Biaya hidup yang mahal dibandingkan dengan kota lainnya.
Contoh : Sewa apartment di city area sepertiku 450 dollar per minggu (beruntung kami tinggal di apartment yang terkenal paling murah di City area karena sudah termasuk air dan listrik) tapi di sekitar sini banyak sekali yang d iatas 500 dollar per minggu. Pilihan lain adalah tinggal di sub urban (agak jauh dari city) sewa per minggu itu dengan harga 600 dollar bisa dapetnya sewa rumah
Contoh lain harga cabai untuk musim tertentu bisa 1 biji cabai itu 1 dollar alias Rp9.000-an. Untuk biaya makan diusahakan masak sendiri, karena kalo sering makan diluar dompet bisa tongpes hehe.
Untuk yang tinggal di city area kendala adalah di parkiran mobil, sulit mendapatkan tempat parkir jadi rata rata memilih untuk menggunakan bus atau kereta dan jika masih dekat berjalan kaki
Tapi untuk kami sekeluarga, sangat favorite menggunakan scooter listrik (anter jemput anak aja menggunakan scooter)
Semisal pengen les in anak, nah ini harus jeli hitung-hitungan karena semua les itungannya itu per jam atau kadang per 30 menit (contohnya les renang hitungannya 14 dollar per 30 menit)
Barber shop alias cukur rambut yang bisa dibilang mahal sekitar 20 s.d 25 dollar NZ (selama 3 th disini pak suami jadi tukang cukur untuk dirinya dan anak hehehe, pinter-pinter kita ngirit aja sih, hehe, dan jadi menemukan bakat terpendam kan yaaa)
Keunikan Kota Auckland
Penduduk asli aktif melestarikan budaya asli suku Maori
Pejalan kaki yang jarang menggunakan alas kaki (jadi ga aneh liat orang jalan gak pake sepatu or sandal, cuek aja gitu)
Masih adanya pasar tradisional yang bukanya seminggu sekali
Toko-toko akan tutup sekitar jam 4 or 5 sore
Cuaca yang mudah berubah dalam satu hari ( hujan ibaratnya bisa kita tunggu, setelahnya sering muncul pelangi, lalu panas sepanas-panasnya. Dan ini cuaca dalam 1 hari loh!)
Kontur jalanan yang unik, jadi naik turun naik turun gitu deh
Tempat Unik di Auckland
10 Golden Frame yang tersebar di Auckland
Stasiun yang dijadikan apartment dan namanya adalah Apartment Railway (heritage building), jadi apartment ini memang dahulunya adalah stasiun dan sepertinya bangunanya tidak banyak dirubah jadi tetap berasa aura stasiunnya, unik bukan? Dan di tempat ini banyak sekali mahasiswa Indonesia bersama keluarganya tinggal di sini jadi kadang suka dibilang kampungnya orang Indonesia hehe..
Harbour bridge (swtiap ada kapal yang lewat jembatan akan berubah naik ke atas seakan-akan patah, ini jadi kesukaan anak-anak hehe)
Tips merantau ala kami :
1 . Jangan semua hal di convert dari dollar ke Rupiah bisa pusing kepala Barbie, bayangin aja 1 biji cabai kalo lagi musim summer begini harganya 1 dollar sebiji (kurang lebih kalo di kurs kan ke rupiah 9000, puarah kan :D)
2. Jangan lupa kemana-mana di tas selain banyak perlengkapan wajib yang aku yakini setiap ibu punya senjata wajib versi masing masing, nah sempilin juga botol kosong, kalo kalo mau kebelet ke toilet dibawa deh si botol itu, karena di sini kan toiletnya tidak ada spray airnya (kurang afdol aja gitu rasanya kalo ga dibasuh air, LOL)
3. Sebagai Muslim jika pada saat waktu shalat tiba, jika tidak menemukan tempat shalat biasanya kita mampir ke mall lalu cari parents room (disini kan parents room nya dibuat kaya kamar kamar gitu, nah bisa ikut shalat di situ deh karena kan kamarnya ditutup hehe), atau bisa juga shalat di taman.
Sekian kisah singkat dari keluarga rantau di Auckland, NZ. Adakah yang tertarik ingin mencicipi tinggal di Auckland, NZ?
Vinka Maharani – Hallo! Saya Vinka, ibu dari satu anak perempuan. Sejak Juni 2019 tinggal di Leeds, UK karena mengikuti suami yang sedang studi di sini. Saya bekerja paruh waktu sebagai Resident Assistant di salah satu student housing bernama Unipol. Bersama kawan, saat ini saya membuat & menjalankan VIP Talks podcast yang berbicara tentang perempuan, pernikahan & keluarga. Saat di Indonesia saya mengajar rajut knitting & crocheting. Di saat senggang saya belajar lagi & melatih skill merajut saya.
Pindah ke Leeds
Saya dan keluarga berpindah ke Leeds karena suami menempuh pendidikan S3 di University of Leeds. Selama hampir setahun tinggal di sini, Alhamdulillah pengalamannya baik-baik semua.
Di Leeds, atau mungkin lebih tepatnya Yorkshire, orangnya ramah-ramah sekali. Panggilan yang lazim digunakan untuk menyapa orang lain (asing maupun yg sudah kenal) adalah Love, Darling, Sweetheart, Mate & Lad. Hal ini sangat umum, dipakai oleh siapa pun kepada umur berapa saja. Kalau ke pasar, tempat-tempat umum yang dikelola oleh native, maka kalian akan mendapat sapaan hangat ini. Malah tidak jarang ditambah dengan kedipan mata. Dan mayoritas semua orang ya gini, nggak orang jual di pasar, pak-ibu tukang pos, tukang ledeng, security, siapa saja.
Bekerja di Unipol
Unipol adalah sebuah student housing, menyediakan akomodasi untuk pelajar di Leeds, Bradford & Nottingham. Saya bekerja di salah satu development complex yang kira-kira mengakomodir 250an orang, sebagai Resident Assistant. Tugas saya kira-kira seperti ibu kos lah, menyiapkan kedatangan mahasiswa, menerima komplain, cek untuk perbaikan, dan menjalankan event untuk gathering. Pekerjaan yang menyenangkan bagi saya, karena bertemu dengan berbagai macam pelajar dari berbagai bangsa & negara.
Podcast
Karena sering ditanya & dicurhatin tentang pernikahan, saya berpikir sepertinya lebih baik jika problem & solusi dari pembicaraan tersebut bisa di-share ke lebih banyak orang agar bermanfaat. Kemudian saya berpikir, jika hanya berdasarkan pengalaman pribadi saya rasanya akan terlalu subjektif, maka saya mengajak kawan saya Cahya Haniva yang sedang menempuh master di jurusan Family Studies University of Minnesota untuk bergabung. Dari situlah kami memulai VIP Talks (Vinka Iphip Pillow Talks). Topik yang kami bahas adalah perempuan, pernikahan, keluarga dan hal-hal yang ada di sekitarnya. Episode yang paling banyak didengar saat ini berjudul “Is he the one? Panduan Tak Wajib untuk Mempertimbangkan Calon Pasangan Seumur Hidup”.
Untuk mengaksesnya bisa langsung ke anchor.fm/viptalks atau search di Spotify, Google Podcast, Apple Podcast “VIP Talks”.