Fathiannisa Gelasia (Icha) – Seorang litigator yang sekarang beralih profesi mendedikasikan waktu serta tenaga untuk merantau bersama suami ke Bangkok dan menjadi stay at home mom.
PENGALAMAN MERANTAU
Pertama kali saya mulai merantau itu pada tahun 2013, dimana saya menempuh pendidikan master hukum di Leiden, Belanda. Tapi saat itu saya belum menikah dan belum jadi seorang mamarantau. Setelah menikah dengan suami pada tahun 2015, kami sempat merantau dan tinggal di Bali selama 7 bulan, sebelum akhirnya suami mendapatkan panggilan kerja di Bangkok pada awal tahun 2016.

With husband: Agantara Juanda
Awalnya hanya suami yang berangkat ke Bangkok karena saya sedang hamil kedua dan ketika kehamilan pertama saya mengalami kegagalan, dokter menyarankan saya untuk berangkat ke Bangkok ketika kehamilan kedua saya ini sudah berumur 5 bulan.
MERANTAU DI BANGKOK
Pada tanggal 15 Agustus 2016 saya tiba di Bangkok dan memulai perantauan saya kembali, kali ini bersama suami saya. Walaupun sudah terbiasa tidak tinggal serumah dengan orangtua (saya sejak kuliah sampai akhirnya menikah dengan suami tidak tinggal bersama orang tua), mungkin karena saya sedang hamil dan hormon yang berantakan, bulan-bulan pertama saya di Bangkok lumayan membuat saya depresi, tertekan dan sedih. Sejak lulus kuliah Sarjana Hukum pada Januari 2012, saya sudah terbiasa bekerja, menghasilkan pendapatan sendiri dan memiliki hari-hari yang aktif.
Namun, karena kondisi saya yang sedang hamil 5 bulan ketika tiba di Bangkok, maka sangat tidak mungkin ada kantor hukum atau perusahaan yang mau menerima saya bekerja karena toh dalam waktu 3 bulan saya sudah akan mengambil cuti melahirkan. Maka dimulailah hari-hari saya dimana saya benar-benar belajar menjadi ibu rumah tangga dan belajar menikmati kesendirian saya di Bangkok.
TENTANG BANGKOK
Tinggal di Bangkok hampir mirip dengan Jakarta. Cuacanya, kondisi jalanannya, bahkan tekstur makanan pun sedikit tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Yang cukup mengejutkan adalah kemacetan di Bangkok; sama persis dengan Jakarta. Untungnya apartemen saya dan suami berada persis di depan stasiun BTS (Bangkok Mass Transit System) yang berupa kereta cepat, hampir sama dengan MRT. Karena kemacetan yang berlebihan itu, terkadang saya dan suami sangat menghindari berkunjung ke tempat-tempat yang hanya bisa didatangi dengan menggunakan kendaraan pribadi.

Bangkok via Lonely Planet

The Bangkok Mass Transit System, commonly known as the BTS or the Skytrain
Lebih menarik lagi, ojek disini juga merupakan sebuah transportasi yang cukup umum dan sangat murah. Jadi, terkadang saya dan suami menyiasati jalanan macet dengan menggunakan ojek. Misalnya, sewaktu shalat Ied pada Idul Adha kemarin. Jarak antara rumah kami dengan KBRI cukup jauh, dan di daerah sekitar KBRI tidak terdapat BTS. Ditambah KBRI berada di tengah-tengah kawasan perbelanjaan, jadi biasanya sangat jarang taksi yang mau mengantarkan penumpang dengan tujuan ke daerah-daerah sekitar KBRI tersebut. Shalat Ied di Bangkok dilaksanakn pukul 07.00 pagi, bersamaan dengan jam sibuk para pegawai Bangkok yang harus berebutan untuk bisa masuk ke dalam BTS. Setelah mengantri di BTS lebih dari 30 menit, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk naik ojek ke KBRI. Dengan waktu tempuh sekitar 30-35 menit ke KBRI, kami harus membayar ojek sekitar 80.000 per orang. Tapi ya hampir sama dengan di Jakarta, kalau pake ojek, sudah pasti akan bisa menghindari macet di Bangkok.

Motorcycle Taxi (a.k.a Ojek) dan ada UberMOTO juga
Hal menarik lainnya yang kami alami disini adalah ketika Raja Thailand, King Rama IX Bhumibol Adulyajed, meninggal dunia pada bulan Oktober 2016 yang lalu. Kami menyaksikan sendiri bagaimana seluruh warga Thailand secara bersama-sama berkabung atas kematian Raja mereka tersebut. Stasiun TV lokal hanya menggunakan warna hitam putih, hampir seluruh website Thailand pun hanya berwarna hitam putih, tidak ada lagi iklan dan musik-musik yang terdengan di TV umum di dalam BTS, dan hampir 90% warga Bangkok menggunakan baju berwarna hitam, abu-abu atau putih. Sangat jarang kami melihat ada warga Bangkok yang tidak menggunakan ketiga warna tersebut. Minggu-minggu pertama setelah kematian Raja Thailand tersebut, suasana berkabung benar-benar terasa di seluruh jalanan-jalanan Thailand.
Saya dan suami pun berusaha mengikuti peraturan berkabung tersebut. Sampai-sampai kami kehabisan pilihan baju berwarna hitam, abu-abu atau putih untuk digunakan sehari-hari.
KEHIDUPAN DI BANGKOK
Untuk mengurus rumah di Bangkok saya dan suami seringkali mengalami kesulitan, khususnya dalam hal bahasa. Rata-rata pegawai yang bekerja di apartemen kami tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, termasuk pula asisten rumah tangga harian yang membantu saya membersihkan rumah, ataupun pekerja yang biasa memperbaiki AC atau masalah listrik kami. Jadi benar-benar semuanya menggunakan bahasa Inggris yang sangat singkat dan kebanyakan menggunakan bahasa isyarat. Saya dan suami tidak mempekerjakan asisten rumah tangga bulanan, tetapi hanya mingguan. Seminggu sekali, ada 2 orang asisten rumah tangga yang membantu saya membersihkan rumah. Sisanya saya sendiri yang membersihkan. Sampai detik ini saya masih belajar dan berusaha beradaptasi dengan peran baru saya sebagai ibu rumah tangga. Mengurus rumah dan mulai Desember, mulai mengurus anak pertama kami. Akan tetapi, kemauan saya untuk bekerja sepertinya sangat sulit untuk dihilangkan sehingga sudah sebulan belakangan ini saya akhirnya memulai profesi baru saya sebagai konsultan hukum freelancer, yang mana sejauh ini pekerjaan tersebut sangat pas dengan saya di Bangkok ini.
Karena kondisi sedang hamil sewaktu pindah ke Bangkok, jujur saya tidak terlalu banyak mengeksplorasi kota Bangkok, kecuali berkunjung ke tempat2 perbelanjaan yang memang harganya sangat jauh lebih murah dibanding Jakarta. Menariknya, di Bangkok ini sangat banyak dan terkenal dengan Night Market, yaitu tempat-tempat perbelanjaan dan hiburan yang buka dari sore hingga dini hari. Dari mulai yang khusus untuk belanja seperti Chatucak Weekend Market, sampai kawasan hiburan malam seperti yang ada di Patpong.

The Chatuchak Weekend Market is the largest market in Thailand. Also known as JJ Market, it has more than 8,000 stalls, divided into 27 sections.

Food galore via migrationology
Sisanya hampir sama seperti Jakarta, Bangkok dikelilingi oleh mall-mall besar yang menjadi tempat hiburan utama.
PENGALAMAN HAMIL DAN MELAHIRKAN
Pada 22 Desember 2016 yang lalu, saya melahirkan anak pertama saya di Bangkok. Perjalanan kami untuk bisa menemukan dokter yang sesuai tidak terlalu susah sepertinya. Hal tersebut dikarenakan kriteria saya dan suami dipersempit dengan keharusan memilih rumah sakit yang jaraknya dekat apartemen kami dan mudah aksesnya (akses BTS terutama, karena seperti yang sudah tulis, kemacetan di Bangkok tidak jauh berbeda dengan Jakarta). Pilihan kami akhirnya jatuh pada rumah sakit St. Louis, yang jaraknya hanya 3 stasiun BTS dari apartemen kami. Untuk akses dengan uber maupun taksi pun cukup mudah dan dekat, sehingga tidak perlu khawatir mengenai waktu tempuh. Dokter kandungan yang kami temui pun ternyata sangat pro persalinan normal dan kemampuan berbahasa Inggris-nya mempermudah kami untuk berkomunikasi.

St. Louis Hospital – Women’s Health Center
Due date persalinan saya Desember kemarin adalah tgl 26 Desember 2016. Namun, sejak awal Desember rupanya saya sudah mengalami pembukaan 1, dan pembukaan 1 mentok hampir 10 hari. Dua minggu sejak dokter saya memeriksa bukaan 1 saya tersebut, akhirnya keputusan untuk diinduksi kami ambil karena rupanya saya sudah ada di bukaan 4, akan tetapi kontraksi yang saya rasakan tidak cukup kuat. Pada 22 Desember 2016 pukul 3 sore, saya masuk ruang persalinan.
Pengalaman melahirkan saya yang pertama ini cukup traumatis untuk saya pribadi, walaupun terhitung cukup cepat. Saya mulai diinduksi pukul 15.00 sore, dan putri kami lahir pukul 23.36 malamnya. Akan tetapi, proses persalinan yang saya alami cukup jauh berbeda dengan persalinan di Indonesia. Pukul 20.00 dokter menyatakan bahwa saya sudah memasuki bukaan 8, dan sepertinya pukul 21.00 saya sudah akan mempunyai bukaan penuh dan bisa mengejan untuk melahirkan anak saya. Akan tetapi, sejak bukaan 8 tersebut, rupanya saya sudah disuruh untuk mengejan. Dokter bilang untuk mempercepat naiknya bukaan. Saya pun mengejan ditemani suami dan ibu saya, dibantu oleh beberapa bidan, dokter saya ada di ruangan sebelah membantu pasien lain yang juga sedang bersalin.
Pukul 21.00 tiba, tetapi dokter saya tidak juga datang. Beberapa bidan juga sudah sibuk keluar masuk sehingga terkadang saya mengejan hanya didampingi suami dan ibu saya. Rasa sakit dan mulas karena kontraksi serta obat induksi bercampur jadi satu, ditambah juga rasa panik karena dokter yang kami andalkan tidak datang-datang ke ruang bersalin. Pukul 22.30 akhirnya dokter masuk ruang bersalin sambil meminta maaf karena sebelumnya tertahan di ruang bersalin lainnya dengan pasien yang juga sedang melahirkan. Suami dan ibu saya sudah habis tenaga untuk protes dan saya pun sudah tidak bisa fokus lagi. Proses persalinan pun dimulai, saya mulai mengejan dan kepala putri kami mulai perlahan-lahan terlihat. Namun, mungkin badan saya sudah terlalu lemas dan tidak bertenaga karena tiba-tiba saya kejang-kejang dan akhirnya dokter pun memutuskan untuk emergency c-section karena kondisi saya cukup berbahaya untuk persalinan normal. Pukul 23.05 kami masuk ruang operasi dengan keadaan saya yang masih gemetar tidak bisa diberhentikan, dan baru bisa tenang setelah disuntikkan obat penenang. Setelah itu proses operasi pun dimulai dan tak lama kemudian putri saya lahir. Alhamdulillah dengan keadaan sehat, selamat dan sempurna.

Putri pertama kami “Kakak Dhaula”
Secara keseluruhan, kebiasaan-kebiasaan di rumah sakit ini hampir sama dengan di Indonesia. Saya diajari cara menyusui yang baik dan benar, bahkan suster-suster pun tidak keberatan membantu saya melakukan breast massage di hari-hari awal untuk memperlancara produksi ASI. Saya diberikan minuman jahe dan gingseng 3 kali sehari untuk memperbanyak ASI dan memulihkan tenaga. Setelah 4 hari observasi di rumah sakit, akhirnya kami sekeluarga bisa pulang ke rumah. Yang unik adalah rumah sakit di Bangkok tidak mengenal tindik menindik pada bayi perempuan, jadinya putri kami baru bisa ditindik ketika kami pulang ke Indonesia sebulan kemudian.
HAL SEPUTAR ANAK
Sejauh ini mengurus bayi hanya berdua dengan suami di negara orang merupakan tantangan tersendiri. Selain dari asisten rumah tangga yang datang untuk membersihkan rumah seminggu sekali, kami melakukan yang lain-lainnya sendiri. Untungnya Bangkok sangatlah baby friendly. Rata-rata stasiun BTS memiliki eskalator dan elevator sehingga mempermudah kami menggunakan stroller. Di mall-mall pun sudah disediakan nursery room, walaupun terkadang masih menjadi satu dengan disable bathroom, tapi setidaknya privasi ketika menyusui atau harus ganti popok bisa terjaga dengan baik.
TUJUAN WISATA DI BANGKOK
Tempat favorit saya dan keluarga, terutama apabila ada keluarga atau teman yang berkunjung ke Bangkok, adalah Asiatique Riverfront. Night Market yang satu ini letaknya ada persis di sebelah Sungai Chao Phraya. Menariknya, toko-toko di sini buka sampai malam dan dikelilingi dengan jajanan yang menarik di sekitarnya. Untuk kami yang mempunyai bayi kecil, night market yang satu ini sangat ideal. Udaranya enak karena letaknya di pinggir sungai, banyak restoran-restoran yang bisa jadi pilihan untuk makan, dan tersedia nursery room di beberapa bagian.

Asiatique The Riverfront is an expansive open-air mall with river views and a cutting-edge ‘festival market and living museum’ concept.
Merantau bertiga bersama suami dan anak saya adalah pengalaman hidup yang mengajarkan saya banyak hal. Bagaimana harus bekerja sama dengan suami, membagi tugas dan berkomunikasi dengan baik, dimana hingga saat ini saya dan suami masih harus terus belajar dan belajar. Apalagi ditambah, kami jauh dari keluarga dan kerabat dekat kami, sehingga sangat minim yang namanya bala bantuan. Hampir semua pekerjaan rumah tangga saya lakukan sendiri, 2 minggu sekali ada yang datang kerumah untuk membantu membersihkan rumah dari tungau-tungau, dan di weekend, saya dan suami kerja bakti berdua mengurus rumah sambil menjaga Dhaula. Begitu pula dalam hal mengurus Dhaula, setiap mandi pagi dan malam, bapaknya selalu meluangkan waktu untuk memandikan Dhaula sebelum berangkat kerja dan ketika pulang kerja. Baru ketika malam hari, saya dan suami bisa bersantai, makan malam dan beraktifitas lainnya. Siang harinya kadang saya harus putar otak untuk meng-entertain Dhaula, kadang saya ajak Dhaula jalan-jalan untuk groceries shopping atau sekedar bermain sore hari di taman atau apabila suami sedang tidak sibuk dan bisa pulang on time, saya ajak Dhaula jalan kaki menjemput suami ke kantornya yang memang jaraknya tidak jauh dari rumah.
Sekian sekilas cerita-cerita tentang kehidupan di Bangkok. Nanti akan saya sambung lagi mengenai liburan keluarga kami ke Koh Mui dan Seoul beberapa waktu lalu dengan si bayi kecil Dhaulagiri. Saya akan berbagi tips berpergian dengan bayi 40 hari 🙂
———-
Foto-foto terlampir adalah foto pribadi Icha dan keluarga. Beberapa foto lainnya terhubung dengan tautan asli foto atau dicantumkan dalam picture credit.
Article written by Icha and edited by Mamarantau’s content editor: Mita Rangkuti.
Instagram Icha: ichagelasia. More info about living in Bangkok or contact Icha personally please contact to mamarantau@gmail.com.
Luar biasa. tq sharingnya.
LikeLike
Seru banget bacanya, pengalaman menarik melahirkan di negeri orang. Seru juga ya biisa merantau .. sekarang tinggal dimana? sukses untuk keluarganya
LikeLike
Seputar kehidupan sebagai Muslim di Bangkok (balasan dari email pembaca 🙂 ):
Di Bangkok sejauh ini Alhamdulillah kami sekeluarga tidak begitu kesulitan untuk adaptasi, karena memang tidak begitu banyak bedanya. Dari cuaca dan makanan, hampir mirip dengan Indonesia. Yang cukup susah itu dari segi bahasa. Kemampuan orang Thai dalam berbahasa Inggris tidak begitu bagus, jadi memang harus sedikit berusaha untuk bisa berkomunikasi dengan mereka.
Untuk Muslim sendiri sejauh ini tidak ada masalah mas. Ibu saya beberapa kali berkunjung ke Bangkok tidak pernah bermasalah walaupun beliau berhijab. Untuk suami saya, setiap Jumat suami saya shalat Jumat di masjid yang ada di kawasan Surasak mas. Ada beberapa masjid mas di Bangkok, ada yang letaknya di seberang Asiatique dan ada yang di Krung Thon Buri. Mungkin untuk lebih lebih jelasnya, mas Ari bisa google alamatnya, karena saya kurang hapal mas. Penduduk Muslim lumayan banyak di Bangkok, beberapa kali saya ikut suami hari Jumat ke masjid, jamaahnya penuh 1 masjid dan sampai ke jalanan. Di beberapa mall seperti Platinum dan Mega Bangna juga sudah disediakan mushalla mas, tapi memang tidak di semua mall.
Nah kalau untuk makanan memang agak susah mas. Karena disini hampir dimana-mana ada babi. Yang aman memang makan seafood, atau sebaiknya langsung ke foodcourt di mall2 dan cari counter yg ada label halal-nya. Kalo makanan di pinggir jalan, susah untuk kita tau yang mana ada babi dan tidak. Sekedar info, Mu itu bahasa Thai untuk babi, jadi nanti mas Ari bisa bilang Mai Mu (jangan babi), hehe, itu bahasa simple kami kalau mau tanya yg ayam yg mana. Nanti biasanya penjual akan tunjuk daging Kai (ayam).
Mudah-mudahan bisa membantu mas Ari ya.
LikeLike
Hi Mbak, interesting story 🙂
Aku belum pernah ke Bangkok but for some reason, I’m in love with this country.Pengen kerja dan tinggal permanen di Bangkok. Would it be possible hanya bermodal ijazah S1 PTN Jogja dan kemampuan bahasa Inggris yang pas pasan untuk bisa cari kerja dan menetap di sana. If so, how? Please give me some advice Mbak. Any info would be much appreciated 🙂
Hopefully, I’ll see you soon there 🙂
Thanks.
LikeLike
Hi kak, nama aku david, sebelumnya aku tertarik untuk bisa kerja di thailand, apa bisa buat orang indonesia kerja part time atau full time di thailand? mohon penjelasannya, terimakasih 🙂
LikeLike
artikel yang bagus kak
LikeLike
Hai mom.. sy beserta anak dan suami ada rencana untuk menetap di bangkok… tp sy kesulitan mencari informasi mengenai apartemen murah yg bisa membawa bayi .. apa harus mencari langsung atau bs melalui online ? Thx mom
LikeLike
Hallo mamarantau, hallo juga mom Dhaula (mama icha) salam kenal sy linda. Alhamdulillah di saat sedang mencari-cari informasi gambaran ttg kehidupan di negeri orang sy menemukan blog ini. Artikel kisah mom Dhaula juga sangat menarik perhatian sy krn kebetulan insyaa Allah awal tahun depan februari 2021 suami berangkat k Thailand tepatnya di provinsi Nakhon Rathcasima, dalam rangka study. sy bersama anak kami insyaa Allah berangkat menyusul bulan juni – juli, menunggu anak kelulusan Sekolah Dasar. Ada banyak hal yang menghampiri pikiran sy dalam hal persiapan, terutama perihal kepindahan sekolah anak sy.
Mamarantau dan mom Dhaula, mohon sharingnya perihal apa saja yg harus kami persiapan berkenaan dg kepindahan sekolah anak sy dari Indonesia ke Thailand dokumen-dokumennya apa saja? Mohon sarannya mom Icha yg sdh tinggal di Bangkok, sekolah di Thailand yg cocok utk perantau seperti kami sebaiknya sekolah yg spt apa? Atau barangkali mom Icha ada sekolah di nakhon Rathcasima yg bisa direkomendasikan utk anak sy. Anak sy berarti nanti d grade 7. Sejauh ini persiapan sy baru membuat paspor dan searching-searching sekolah melalui internet sj. Untuk visa dll apakah ada syarat khusidi Thailand atau sm saja mom?
Maaf byk sekali ternyata curhatan sy padahal ini baru sedikit dr yg sedang sy pikirkan saat ini. Terimakasih sebelumnya atas informasinya mamarantau dan mom icha.
LikeLike