Ontel – I am a housewife and mother who love outdoor activities. I am actually a serious one but people said that I smile and laugh a lot. I love british accent, watching football and I am a biggest fan of Manchester United FC.
Bagi sebagian warga di dunia, tahun baru merupakan sebuah perayaan di mana seluruh warga akan bersuka cita menyambutnya. Namun, kali ini tidak bagi warga Prancis. Mengawali tahun 2015, tepatnya tanggal 7 Januari 2015 pukul 11.30 waktu setempat, warga Prancis dikejutkan melalui serangan bom yang ditujukan kepada kantor majalah Charlie Hebdo. Kejadian pemboman disulut dari konten majalah satir ini yang kerap membuat gerah para politisi. Selain para politikus yang menjadi ‘bahan’ satiran, majalah ini juga kerap menampilkan gambar ‘nyeleneh’ dari berbagai agama. Serangan terhadap Charlie Hebdo ini dianggap sebagai simbol dari belenggu kebebasan berekspresi oleh warga Prancis.
Untuk mendukung Charlie Hebdo, seorang Art Director asli Prancis yang bernama Joachim Roncin, membuat slogan “Je suis Charlie” yang kemudian digunakan dalam berbagai manifestasi untuk mendukung Charlie Hebdo dan kebebasan berekspresi.
Kejadian kelam di tahun 2015 bagi Warga Prancis bukan hanya itu, pada Pertengahan bulan November 2015, serangan bom kembali pecah di daerah sekitar tempat konser Le Bataclan, Paris (10-11 Arrodisement). Tahun 2015 bagi Prancis mungkin menjadi tahun yang cukup kelam akibat adanya serangan teroris.
Je (ne) suis (pas) Charlie
Setelah serangan terhadap Charlie Hebdo, siaran televisi Prancis lalu banyak menghadirkan Imam besar agama Islam yang ada di negara ini. Mereka bertugas untuk menjawab pertanyaan mengenai aksi teroris yang kemudian dikaitkan dengan Islam. Akan tetapi, jalan yang ditempuh ini belum sepenuhnya tercapai. Islam masih dipandang negatif bagi beberapa kalangan. Padahal, Islam sebagai agama memiliki pandangan tersendiri tentang bagaimana menyikapi kebebasan berekspresi.
Masih di acara berita televisi. Sang Imam bercerita bahwa salah satu murid di sebuah sekolah mendapat hukuman dari gurunya. Ia dikeluarkan dari kelas karena berkata kepada sang guru “Je ne suis pas Charlie” (baca: aku tidak mendukung Charlie). Cerita sang Imam kemudian memancing sebuah pertanyaan. Apakah sikap guru tadi sudah sesuai dengan tujuan dari slogan “Je suis Charlie” dalam hal kebebeasan berekspresi?. Menurut saya pribadi, sepertinya momentum terjadinya aksi teroris terhadap Charlie Hebdo, hanya dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan popularitas pemerintah yang sebelum kejadian ini tingkat popularitasnya cukup menurun.

Je Ne Suis Pas Charlie
#PrayforParis
Kejadian pemboman di Paris cukup mengejutkan banyak warga Perancis. Mereka dibuat shock dan takut untuk keluar rumah. Saya membaca komentar – komentar para pembaca di Lefigaro.fr dan Yahoo.fr. Kebanyakan dari mereka mengaitkan kejadian pemboman ini sebagai akibat dibukanya perbatasan Eropa untuk membebaskan warga suriah masuk ke negara-negara Uni Eropa.
Pro dan kontra dari warga Prancis bermunculan akibat adanya kebijakan tersebut. Lagi – lagi agama sebagai salah sau alasannya. Mayoritas warga Suriah menganut agama Islam. Agama tersebut tidak cocok dengan nilai – nilai agama Katholik yang merupakan agama dasar di Prancis. Jika semakin banyak umat muslim yang berada di Prancis, nilai – nilai agama Katholik akan memudar lalu menghilang. Kekhawatiran – kehawatiran itulah yang mendasari sehingga warga Prancis kurang mendukung masuknya para pengungsi Suriah.
Pernah suatu hari ketika saya sedang di sudut pusat perbelanjaan, secara tidak sengaja saya mendengar sebuah percakapan beberapa warga Prancis yang isinya seperti ini. “Kejadian ini adalah kesalahan pemerintah sendiri”. Pemerintah dinilai kurang berusaha secara maksimal dalam menghentikan teroris di tanah Prancis pasca aksi teror terhadap kantor majalah Charlie Hebdo.

Edisi Khusus Charlie Hebdo: “Di mana Sekulerisme?”
Akibat dari aksi teroris ini berdampak pada ditutupnya perbatasan Prancis dengan negara-negara lain sebagai bentuk antisipasi masuknya teroris secara bebas. Pengamanan Prancis diperketat. Jika ingin bertandang ke Prancis, para pengunjung harus melalui perbatasan dengan proses pemeriksaan yang sangat keteat dan memakan waktu berjam-jam lamanya. Peraturan juga diberlakukan di pusat perbelanjaan. Sebelum masuk, para pegunjung harus memeriksakan tasnya kepada petugas. Dampak yang paling terasa adalah dari segi turistik. Jumlah wisatawan di pusat-pusat turistik di paris mengalami penyusutan hingga 30%.
Tentunya kami semua berharap agar tidak ada lagi kejadian-kejadian terorisme seperti ini baik di Prancis maupun di negara-negara lain.
Written by Ontel. Images in this page linked to its URL’s sources.
Edited by Ummul Masir, Mamarantau’s Content Editor.