Beth Agustina, wanita kelahiran Agustus 1977 yang tidak bisa berenang meskipun lahir dan tinggal di kota yang terkenal dengan pantai-pantainya, Pacitan, hingga usia 16 tahun. Menetap di Kerpen Jerman sejak tahun 2007. Bekerja sebagai fotografer yang saat ini sedang menikmati masa-masa tiga tahun parental leave yang akan segera berakhir dua bulan mendatang.
Pengalaman Merantau
Saya tinggal di Jerman sejak tahun 2007, mengikuti suami yang memang warga negara Jerman. Culture shock saya adalah ketika kami harus tinggal di kota yang sepi, berbeda dengan Duesseldorf , kota tempat suami saya dulu tinggal ketika masih masa-masa pacaran, apalagi dengan Jakarta tempat saya tinggal sebelumnya yang hingar bingar dan ‘hidup’ 24 jam.
Pada pertengahan tahun 2011 sampai pertengahan 2013 kami sempat tinggal di Berlin. Di sini saya langsung merasa jatuh cinta dan men-claim: this is my city! Here, I feel home!
Sayangnya karena tuntutan tugas suami, kami harus pindah lagi ke Kerpen yang di kemudian hari justru saya syukuri karena setelah mempunyai seorang putri yang lahir pada bulan Juni 2013, saya merasa bahwa Kerpen memiliki suasana dan fasilitas yang lebih baik untuk tumbuh kembang anak.
tinggal di kerpen
Untungnya Kerpen berada tak jauh dari Cologne, berjarak hanya 20 km yang bisa dengan mudahnya ditempuh dengan kereta api. Bahkan banyak Kerpener yang mengaku-aku sebagai Koelner bila ditanya di mana tinggalnya. Aktifitas sayapun kurang lebih ada di dua kota ini. Di Kerpen, pada tahun 2009 saya memberanikan diri membuka foto studio kecil-kecilan karena saya melihat di Kerpen memang belum memiliki foto studio untuk portrait atau foto keluarga.
Saya memang lulusan S1 Fotografi dari Institut Seni Indonesia-Yogyakarta, namun setelah lulus dari kuliah justru kerja saya lebih banyak di bidang desain grafis, oleh karena itu saya harus kembali mengasah kemampuan fotografi saya dan juga belajar mengurus bisnis dengan birokrasi Jerman yang terkenal ribet. Alhamdulillah suami banyak men-support dan membantu saya dalam hal ini, mulai dari konsultasi tentang set up awal bisnis sampai urusan pajak dengan finance consultant hingga akhirnya ‘Agustina Photography’ pun mulai resmi dibuka pada bulan November 2009.
Selain mencari uang dengan kamera, sesuai dengan passion saya akan fotografi, saya juga aktif mengikuti kegiatan fotografi seperti hunting foto bersama maupun ikut andil dalam beberapa pameran foto bersama rekan-rekan fotografer yang lain dan pameran tunggal. Saya juga bergabung dengan komunitas Cologne Instagramers yang rutin mengadakan photowalk setiap 3 bulan sekali.
Setelah saya lulus kursus bahasa Jerman hingga level B1 di Kerpen, di sela-sela kegiatan saya dengan fotografi, untuk memperlancar kemampuan berbahasa saya, sayapun melanjutkan ke level berikutnya di Cologne. Selain itu saya juga mengambil kursus melukis 6 bulan di Freie Kunstschule Köln. Jadi wira-wiri Kerpen-Cologne sudah biasa buat saya namun saya tetap lebih suka menyebut diri sebagai saya Kerpener dari pada Koelner 🙂
Stammisch
Dari pertama tinggal di Jerman, saya rajin mengikuti kegiatan Stammtisch (artinya kurang lebih adalah kumpulan orang-orang yang sama yang duduk di meja yang sama, regularly) sebulan sekali di Cologne. Stammtisch yang saya ikuti ini merupakan perkumpulan yang didirikan dan dikelola oleh sepasang suami istri asal Spanyol. Kami bertemu setiap Kamis pertama di setiap bulan di sebuah bar di kawasan Ehrenfeld Cologne. Stammtisch bernama Multikulti Cologne ini memang ditujukan untuk pendatang baru, international people yang tinggal di Cologne, yang merasa kesepian dan mencari teman sesama pendatang karena memang untuk berteman dengan orang Jerman itu tidak mudah. Saya adalah satu-satunya yang berasal dari Indonesia, yang lainnya berasal dari Australia, Amerika, Spanyol, India, Rusia, berbagai negara lain dan…Jerman. Peserta dari Jerman, surprisingly berjumlah 80% dari seluruh peserta Stammtisch. Ya ternyata para Jerman pun juga merasa kesulitan menjalin pertemanan dengan sesama Jerman.
Menurut saya itu memang bagian dari karakter kebanyakan orang Jerman, mereka selalu hati-hati dan tidak spontan dalam segala hal termasuk dalam berteman. Bila di Indonesia, sebuah percakapan ringan dengan strangers yang berada di antrian masuk konser musik bisa langsung menjadi pertemanan, di Jerman meskipun mereka ngobrol ramah, tertawa-tawa, belum berarti mereka lalu berteman. Pertemanan perlu proses lama, bisa saja akhirnya menjadi teman atau tetap dalam status ‘acquaintance’ . Banyak yang bilang, baik dari Jerman maupun non-Jerman, bahwa bila kita sudah diundang ke rumah seorang Jerman, itu baru berarti bahwa dia sudah menganggap kita sebagai temannya.
Sayangnya Stammtisch ini sudah tidak aktif lagi sejak 3 tahun lalu.. Sejak dua pendirinya memiliki anak dan memindahkan jam dan tempat Stammtisch ke lokasi yang lebih children friendly, tidak banyak yang mau datang ke Stammtisch sehingga akhirnya Stammtisch pun dibubarkan. Kenyataan yang sangat menyedihkan, di mana pada saat ini untuk pertama kalinya saya merasa bahwa di negara ini kehadiran anak-anak tidak se-welcome di Indonesia.
Kegiatan Anak Preschooler di Jerman
Mila akan masuk Kindergarten pada bulan Juni nanti, beberapa hari sebelum dia merayakan hari ulang tahunnya yang ke-3. Selama ini, dari mulai usia 4 bulan, Mila sudah saya ajak belajar bersosialisasi dengan aktif mengikuti kegiatan buat baby dan orang tuanya seperti senam bayi, berenang, playgroup, dll. Saat ini kegiatan rutin mingguan yang masih diikuti adalah menari, playgroup, dan children gymnastic.
Meskipun banyak kegiatan, tidak berarti orang tua harus mengeluarkan banyak uang untuk balitanya. Playgroup yang diikuti Mila saat ini gratis dan bisa diikuti oleh semua anak dari usia 1 sampai 3 tahun. Youth Centre yang mengadakan acara mingguan ini bahkan menyediakan kopi dan camilan untuk para orang tuanya. Selain itu setiap sebulan sekali Youth Center juga mengadakan acara makan pagi bersama untuk para mommies dan balitanya.
Kegiatan gratis lainnya adalah pergi ke perpustakaan. Beruntung sekali ada dua perpustakaan di dekat rumah kami yang memiliki koleksi buku anak-anak yang bagus-bagus dan Mila selalu menikmati waktunya di sana. Play date dengan beberapa teman toddlernya juga menjadi acara rutin mingguan kami. Beruntung orang tua di sini, berhak mengambil parental leave selama 3 tahun supaya bisa bermain, berkegiatan bersama serta mengikuti perkembangan buah hatinya dari dekat.
berkeliling di cologne
Meskipun bukan ibu kotanya, Cologne merupakan kota terbesar di provinsi North Rhine-Wesphalia (NRW) dan merupakan kota terbesar ke-4 di Jerman setelah Berlin, Hamburg dan Munich.
Bangunan yang menjadi landmark kota Cologne adalah gereja Katolik Koelner Dom (Cologne Cathedral) yang berada persis di depan stasiun kereta api pusat, Koeln Hauptbahnhof. Ketika pertama kali ke datang ke Cologne sebagai turis pada tahun 2005, begitu keluar dari gate depan stasiun, saya langsung frozen, ternganga dengan kemegahan bangunan raksana Dom.
Koelner Dom merupakan gereja Gothic terbesar di Eropa utara yang mulai dibangun pada tahun 1248 dan setelah beberapa kali mengalami delay akhirnya bangunan ini komplet selesai pada tahun 1880. Akibat serangan bom pada perang dunie ke dua, Koelner Dom mengalami kerusakan berat. Renovasi besar-besaran dilakukan untuk memperbaiki Koelner Dom dan baru selesai pada tahun 1956. Kata ‘selesai’ sebenarnya tidak terlalu tepat, karena meskipun Koelner Dom kembali berdiri megah namun sampai sekarang renovasi selalu diadakan di bangunan ini. Faktor cuaca dan umurnya yang sudah tua menyebabkan kerusakan kecil di sana-sini yang bila tak segera dirawat akan berakibat fatal. Tak heran bila di ‘badan’ Koelner Dom selalu terlihat scafffolding (perancah) yang berpindah dari sisi satu ke sisi lainnya.
Pada tahun 2009 saya berkesempatan melihat Koelner Dom bebas dari scaffholding. Event itu hanya berlangsung beberapa menit, diiringi tepukan meriah para pengunjung yang datang khusus untuk melihat event bersejarah tersebut. Setelah beberapa menit, scaffholding pun kembali dirapatkan ke badan bangunan.
Selain Koelner Dom, banyak lagi yang bisa dikunjungi di Cologne, salah satunya museum. Untuk penggemar museum, Cologne adalah surga dunia. Di sini terdapat lebih dari 30 museum dan beberapa gallery seni. Tiga museum yang terbesar adalah Museum Ludwig dan Wallraf-Richartz-Museum yang merupakan museum seni serta Roemisch-Germanisches Museum yang merupakan museum arkeologi.
Berkunjung ke museum adalah salah satu acara me-time favorit saya. Minimal 3 bulan sekali saya selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Museum di Cologne dan di kota-kota sekitarnya. Ini adalah salah satu highlight saya tinggal di Eropa di mana saya merasa bersyukur sekali bisa melihat dan mengapresiasi karya-karya seni maestro dunia seperti Roy Lichtenstein, Pablo Picasso, Salvador Dali, Andy Warhol, Henri Matisse dan lain-lainnya secara langsung. Alhamdulillah.
Admission untuk masuk museum sayangnya tidaklah murah, rata-rata €10,-. Diskonan bisa didapat untuk beberapa event misalnya late night museum day atau khusus untuk pemegang KTP Cologne pada hari tertentu dan pemegang tourist card. Anak berusia di bawah 18 tahun rata-rata mendapat akses bebas untuk masuk museum. Asyiknya lagi, hampir semua museum juga memiliki program untuk anak-anak, baik untuk usia balita maupun usia sekolah yang tidak hanya melihat-lihat seni karya maestro dunia saja namun juga aktivitas seperti melukis, membuat kerajinan, membuat film pendek, dll. Nanti setelah berusia 3 tahun, Mila anak saya sudah boleh ikut mengambil kegiatan anak-anak di museum, yay! Semoga dia bisa menikmatinya.
EVENT KARNAVAL DAN PASAR NATAL di cologne
Acara-acara di Cologne yang tak boleh dilewatkan setiap tahunnya adalah karnaval dan Weihnachtsmarkt (pasar natal). Cologne merupakan ‘ibu kota’nya karnaval di Jerman. Season karnaval setiap tahunnya dimulai pada bulan 11, tanggal 11 pukul 11.11 siang. Pada hari ini di Cologne dan sekitarnya hari kerja hanya sampai pada jam 12 siang. Mulai tanggal ini jangan bingung kalau melihat orang-orang yang berpakaian aneh di jalanan. Ini belum seberapa dibanding nanti pada acara puncak karnaval yaitu Rosenmontag.
Ketika Natal mulai mendekat, pelan-pelan atmosfir karnaval mulai tertutup oleh atmosfir natal. Saya menyukai suasana natal di Jerman di mana meskipun cuaca saat itu dingin dan matahari jarang muncul namun dengan warna hijau dan merah yang mendominasi kota serta harumnya aroma kue lebkuchen (ginger bread/cookies) serasa menghangatkan hati dan suasana.
Weihnachtsmarkt dibuka mulai pada Advent pertama hingga beberapa hari menjelang tanggal 25 Desember. Selama ada Weihnachtsmarkt maka toko-toko di Cologne pun ikut buka di hari Minggu. Iya, di Jerman semua toko tutup biasanya di hari Minggu, kecuali restaurant atau tempat wisata.
Di Cologne terdapat beberapa pasar natal yang wajib kunjung yaitu pasar natal di halaman Koelner Dom, pasar natal di Cologne old town, di Angel’s Market (Neumarkt) dan di tepian sungai Rhine di mana masing-masing pasar natal memiliki tema yang berbeda-beda, misalnya di tepian sungai Rhine temanya adalah middle age dan di Neumarkt lebih bertema kerajinan tangan.
Beberapa teman Jerman saya mengeluhkan bahwa nafas Weihnachtsmarkt yang sekarang berbeda dengan yang dulu dimana suasana tradisi Jerman masih sangat kental. Sekarang kebanyakan stand didominasi dengan barang atau makanan makanan berasal dari Thailand, Indian, Mexico, etc. Bukan berarti bahwa mereka tidak suka makanan internasional, hanya saja atmosfer German Christmas serasa tak ada bedanya dengan pasar malam. Saya sendiri senang dengan banyaknya makanan non Jerman yang dijual namun memang patut disayangkan, tradisi setahun sekali yang harusnya sangat Jerman menjadi lebih ke arah pasar internasional.
Di bulan Januari ketika suasana natal yang disambung tahun baru mulai usai, semangat karnavalpun kembali muncul ke permukaan. Mulai Fat Thursday hingga Ash Wednesday, adalah what so-called crazy days di mana banyak karakter dari tikus hingga alien Avatar bersliweran di penjuru kota, keluar masuk bar sambil menyerukan slogan ‘Köln Alaaf!’ , slogan wajib karnaval yang artinya ‘Cologne is the best’.
Puncak dari tradisi karnaval adalah Rosenmontag (Senin mawar), yaitu dua hari sebelum Ash Wednesday. Di sini berlangsung arak-arakan konvoi kendaraan hias ala Mardi Gras dari beberapa instasi dan karnaval clubs dengan tema-tema yang sedang hype saat itu. Tahun ini Rosenmontag jatuh pada tanggal 8 Februari dan tema yang banyak diusung adalah pengungsi dan ekonomi Jerman. Meskipun Rosenmontag bukalah hari libur nasional, namun di Köln dan kota-kota sekitarnya yang merayakan karnaval, sekolah dan perkantoran diliburkan. Di sini hampir semua penduduk Cologne dari anak-anak sampai kakek nenek keluar rumah, pesta di seluruh penjuru kota dengan kostumnya. Bila ingin menikmati Rosenmontag di Cologne, saya anjurkan untuk minimal memakai topi lucu atau paper mask sederhana supaya tidak merasa ‘sendiri’ dan terisolir atau bahkan menyesal karena tidak mengenakan kostum. Believe me, pilihannya hanya dua, ikut berpesta sambil mengenakan kostum atau diam di rumah saja 🙂
tempat-tempat lainnya di sekitaran cologne
Tempat tinggal kami berada di komplek perumahan yang masih banyak lahan hijaunya dan children friendly. Hanya dengan jarak 1km dari rumah terdapat 8 playgrounds, sebuah kemewahan tersendiri! Bila ingin keluar dari lingkungan sehari hari, banyak pilihan yang bisa dituju. Favorit kami untuk perkotaan adalah Duesseldorf . Untuk yang lebih ke suasana alam, Eifel National Park adalah pilihannya. Untuk yang mixed, perkotaan dan natur ada kota Bonn yang dulu merupakan ibukota Jerman Barat. Mau ke Belanda atau Belgia pun dekat, 2-5 jam-an tergantung kota yang dituju. Di Jerman, menurut saya semua kota pasti punya sudut menarik yang bisa dikunjungi. Saya sendiri sayangnya belum khatam mengunjungi kota-kota terkenal di Jerman. Semoga suatu saat nanti bisa terwujud.
Toko Asia di Cologne
Belanja bahan makanan Indonesia dan halal termasuk mudah di sini. Semua bahan untuk masak masakan Indonesia bisa saya dapatkan di toko Asia. Toko Asia langganan saya adalah Toko Heng Long di Aachenerstr, Cologne. Kalau yang dekat rumah, tinggal 5 menit naik mobil ada juga toko Asia yang khusus men-stock tempe untuk saya karena saya memang satu-satunya orang Indonesia yang tinggal di Kerpen. Alhamdulillah, baiknya si ibu asal Sri Lanka yang punya toko itu. Namun sayangnya produk barang Indonesia mereka tidak selengkap yang di Cologne.
Untuk daging halal, saya selalu membelinya di Turkish supermarket. Karena imigran berasal dari Turki merupakan imigran terbesar di Jerman, maka supermarket Turki banyak terdapat di hampir semua kota di Jerman. Jangan lupa untuk memastikan bahwa mereka mempunyai sertifikat halal (biasanya sertifikatnya ditempel di dekat counter daging), karena tidak semua toko Turki menjual daging segar yang halal.
tempat makan masakan Indonesia di Cologne
Meskipun saya tidak jago masak namun saya rajin memasak makanan Indonesia, apalagi suami juga suka makanan Indonesia sehingga makanan Jerman tidak begitu ‘laku’ di rumah. Kalau sedang malas masak dan tetap ingin makan makanan Indonesia, di Cologne ada 3 pilihan restoran Indonesia yang enak yaitu Warung Bayu, Haus Java (favorit kami!) dan Bali Restaurant. Kalau bosan dengan makanan Indonesia, maka favorit kami adalah restoran Thailand, Mexico, Spanish atau Turkish.
—–
*This post is written in collaboration with LivingLoving. Do check out the other side of Beth on LivingLoving’s blog
Blog: http://zbethz.wordpress.com dan http://autumnisokay.worpress.com
Instagram: @frausie dan @milolalil
*Foto-foto terlampir dengan watermark adalah karya Beth – beberapa foto tambahan (Berlin Art dan feature foto terhubung dengan link asli image)
Semua fotonya bagus sekali Beth 😍 Aku suka juga ke Museum di Köln. Ditunggu cerita selanjutnya.
LikeLiked by 2 people
Makasih mbak Yoyen, kalau ke Köln lagi kabar-kabar ya… Muterin museum lagi 🙂
LikeLiked by 1 person
Iya, nanti aku halo-halo. Biasanya selalu ke Weihnachsmarkt disana sih 😀
LikeLiked by 1 person
Congrats mbak,kereeeen potonya😍😍😍
LikeLiked by 1 person
Makasih banyak mba 🙏🏼😊
LikeLike
3 years maternity leave? Wow, I envy you 🙂
Is that paid leave or unpaid leave? Hihi
LikeLike
Unpaid 😁 Tapi bisa dibagi sama suami, misalnya masing-masing 1,5 tahun 🙂
LikeLike
Aww Beth! Baru tahu cerita seutuhnya dirimu disini. Dan seperti biasa, foto-fotomu luar biasa apik. Ayok, belajar renang 😀 btw, alamat blogmu yang kedua salah Beth, error kalo dipencet.
LikeLiked by 1 person
Yah Den, aku kan orangnya sebenarnya tertutup dan pemalu…*halah! Langsung dilempar tempe sama Deny 😄
Oh iya itu salah kurang ‘n’… Chica Mamarantau deh yang bisa meralat. Yang bener http://autumnisokay.wordpress.com
LikeLike
Btw aku udah pernah ambil kursus berenang tp tetep nggak bisa 🙈 Suwun Den pujiannya. Pas milih-milih foto Cologne aku jd ingat dengan kunjunganmu waktu itu 🙂
LikeLike
Kyaaa maap, udah diperbaiki yaaa link yang benarnya xD
LikeLiked by 1 person
Makasih Chica cantik! 😘
LikeLike
Salam kenal… nama saya purnama. saya baru pindah 3 hari ke berlin dari bandung karena harus ngikut suami .
Belum punya teman, belum bisa pergi2an keluar sendiri, belum bisa bahasa jerman dengan pd.
Karenanya.. saya mencari teman yang bisa berbagi pengalamannya tentang jerman, khususnya berlin. Saya tinggal di sekitar Schoneberg.
LikeLike
Menarik sekali pengalamannya Mba, sampai bisa mendirikan usaha sendiri..keren :). Saya tertarik banget ingin belajar tetek bengek pendirian usaha di Jerman.
Salam kenal dari Osnabrück
LikeLike
Hi Mbak salam kenal, saya made santi dari Bali. Saya rencana bulan depan akan pindah ke Kerpen. Akan senang sekali kalau bisa berteman dengan orang indo disana. Saya juga punya putri seumuran anak mbak.
LikeLike
Senang juga baca kisahmu di Jerman mbak. Salam kenal dari kota kecil Oschatz.
LikeLike